Habis-habisan demi Sekolah Daring
Tak hanya membahas strategi mengajar di kelas agar guru dan siswa bahagia jiwa dan raga, perbincangan juga membahas hal di luar sekolah, seperti hobi.
Di tengah intaian pandemi Covid-19, para guru tak surut terus memberi yang terbaik. Demi kecintaan kepada anak-anak didik, mereka rela habis-habisan mengeksplorasi diri agar suasana belajar daring tetap hidup dan menyenangkan. Lelah kadang bukan halangan.
Pemandangan mengharukan terlihat saat anak-anak berkebutuhan khusus dari kelas taman kanak-kanak, sekolah dasar, dan PKBM merayakan hari guru yang digelar secara virtual di Learning Support Division (LSD) Sekolah Tunas Indonesia, Rabu (25/11/2020) pagi. ”Aku kangen Pak Meldy,” seru beberapa anak dari layar Zoom yang ditujukan kepada guru kelas 1 SD, Meldy Nugraha.
Dinamika belajar yang melulu secara virtual, tak pelak membawa kejenuhan bagi anak-anak. Proses belajar tatap muka dan interaksi bersama teman menjadi hal yang paling dirindukan.
Saat ada kesempatan, kata-kata kangen pun berhamburan.
Selama pandemi, acara seperti perayaan Hari Guru dan perayaan Hari Pahlawan tetap digelar secara virtual di LSD STI. Tak sekadar merayakan hari besar nasional, anak-anak sekaligus belajar tentang banyak hal. Ada juga ”ruang” untuk mempertontonkan kepiawaian mereka.
Anak-anak itu antara lain bermain musik, menjadi pengisi suara untuk gambar animasi bergerak berbahasa Inggris, hingga menggambar karakter animasi. Tak jarang, para guru dibuat menangis ketika anak-anak dengan beragam kekhususan, seperti anak yang memiliki hambatan autis, ADHD, ADD, tunarungu dan tunagrahita, mempertontonkan kepiawaian mereka.
”Bukan sekadar memperingati, itu proses pembelajaran. Anak-anak jadi lebih kreatif. Dorongan mencari tahu jadi lebih tinggi,” ujar Kepala Sekolah LSD STI Moch Yudia Riyanto.
Demi memberi pembelajaran yang menyenangkan, para guru pun mempersiapkan setiap pergelaran hari besar dengan serius. Seperti terlihat hari itu, sejak pagi mereka sibuk menyiapkan komputer jinjing, layar besar, hingga penutup kain hijau yang digantung di dinding sebagai latar belakang para guru yang bertugas mengisi pidato, menyanyi, dan baca puisi.
Di kelas virtual, Meldy membebaskan anak bercerita, termasuk tentang binatang peliharaan di rumah hingga menu sarapan pagi, sebelum memulai pelajaran.
”Kesulitan mengajar adalah kalau anak cranky. Mute Zoom enggak menyelesaikan masalah. Diinfo ke orangtua nanti malah dimarahin. Beda kalau di kelas, itu sepenuhnya tanggung jawab saya,” kata Meldy.
Meski tak sama ideal dengan pembelajaran tatap muka, belajar virtual ternyata memberi ruang bagi anak-anak mengekspresikan fantasinya. ”Bisa membaca menulis itu biasa. Mencari skill yang bisa diekspresikan itu yang paling susah. Saat punya kesempatan tampil virtual, mereka malah terinspirasi penampilan teman-temannya,” kata Guru Pra-SD Epi Hastiana.
Menurut Yudia, ada perbedaan kurikulum di mana anak-anak tak harus mencapai hal yang sama dalam pendidikan. Setiap anak melalui proses pembelajaran yang berbeda-beda. Guru juga harus memahami indikator pencapaian tak harus nilai, tetapi juga kematangan emosi dan tanggung jawab.
Eksplorasi
Seperti halnya Epi dan Meldy, pengajar di KB-TK Tarakanita Cita Raya Tangerang, Dewi Wulandari (40) pun berjibaku dengan sekolah daring. Selama 17 tahun menjadi guru, tak pernah terlintas di benak Dewi akan jadi ”segila” delapan bulan terakhir. Dewi seperti ”dipaksa” mengeksplorasi diri habis-habisan demi menghadirkan suasana belajar mengajar semenyenangkan mungkin.
Saat pandemi melanda pada Maret 2020, Dewi harus memutar otak karena benar-benar hanya memiliki grup percakapan sebagai sarana sekolah daring. ”Belum kenal Zoom, belum kenal aplikasi membuat video. Videonya dikirim ke orangtua lewat Whatsapp,” ujarnya.
Suatu kali, Dewi membuat video sederhana tentang tema astronot. Dia lantas mencari jas hujan warna putih, menulisinya dengan kata NASA menggunakan spidol, memakai helm, dan memeragakan diri sebagai astronot.
Setelah pelajaran berpindah ke ruang Zoom dan bisa berinteraksi dengan siswa secara virtual, tuntutan untuk semakin kreatif justru lebih besar untuk menciptakan suasana layaknya di kelas. Video dibuat semenarik mungkin melalui beragam aplikasi. Kegiatan-kegiatan menarik terus dibuat agar siswa tak bosan dan bisa menangkap materi pelajaran.
Ruang kelas disulap menjadi ”studio” lengkap dengan kamera, pencahayaan, layar hijau, juga meja dengan beragam alat peraga. Para guru mengenakan headset saat menghadapi layar dan berinteraksi dengan siswa. Dewi bersama guru-guru lainnya lalu menyanyi, menari, berbicara, dengan tetap mengenakan pelindung wajah.
”Setiap Rabu kami bikin agenda kelas sains. Anak-anak bisa ikut praktik bersama. (Kelas) itu jadi dinanti anak-anak karena mereka ikut mencoba. Kami juga kolaborasi dengan jurusan tata boga SMK Tarakanita di Magelang untuk cooking class. Besok ada story telling dari guru SMP yang anggota teater,” kata Dewi.
Saat peringatan HUT Kemerdekaan, Dewi dan guru-guru lain mengenakan pita merah putih sebagai ikat kepala. Adapun, saat Hari Pahlawan, mereka berpakaian loreng ala tentara, lalu berpose di taman bermain tengah hormat pada bendera.
Ketika ada siswa yang terkendala internet atau kesulitan mengikuti pelajaran, sekolah membuat program kunjungan ke rumah atas izin orangtua. Semua dilakukan sesuai protokol kesehatan, terlebih Tangerang berada di zona merah.
Itu sebabnya, saat ada rencana pembukaan sekolah semester genap, Dewi perlu mempertimbangkan banyak hal.
”Karena yang diperlukan anak TK itu sosialisasi, saya lebih senang tatap muka. Tapi tentu pertimbangan kesehatan paling utama. Kami masih mengajukan sarana pendukung agar bisa mengajar daring dan luring. Kalau gantian, output siswa bisa beda, energi guru pun habis,” tuturnya.
Pengalaman guru SMA Negeri 1 Ngarun Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur, Novan Hardyanto (42), tak jauh berbeda. Di awal pandemi, Novan sempat bingung saat harus melakoni sekolah virtual. Maklum, sekolah tempat Novan mengajar ada di puncak bukit, sekitar 20 kilometer dari kota. Urusan sinyal jadi kendala.
”Ya enggak stres sampai tertekan batin, tapi sempat bingung. Kita pengin variatif supaya anak-anak tidak bosen. Pakai Zoom, segala macam, tapi sinyal tidak ada. Makanya di awal pandemi kehadiran online juga sedikit,” kata Novan.
Di awal pandemi, bantuan kuota dari pemerintah belum ada. Begitupun dengan dana BOS, belum bisa dimanfaatkan untuk bantuan kuota. ”Anak-anak banyak yang lari ke tetangga yang punya wifi. Padahal di sini tetangga jauh. Kadang harus lewat kebun,” kata Novan.
Saat melakukan videocall untuk presentasi tugas kelompok, tak jarang anak-anak berada di warung kopi karena tak ada sinyal di rumah. Sebagian ke sekolah agar bisa menangkap sinyal lebih bagus. Novan akhirnya kerap memberi materi pelajaran dalam bentuk fotokopian menggunakan dana pribadinya.
Enam bulan ini, karena lokasi sekolah berada di kecamatan zona hijau, SMAN 1 Ngarun sudah menerapkan blended learning. Setiap hari, 50 persen siswa masuk sekolah, 50 persen daring. Kerepotan muncul saat ada jadwal mengajar bersamaan.
Solusinya, sebelum berangkat menuju sekolah yang jaraknya sekitar 57 kilometer dari rumahnya di perbatasan Madiun, Novan memasukkan materi belajar daring ke google class room. Setelah itu fokus mengajar tatap muka.
”Soal kurikulum, selama pandemi ada kurikulum baru yang diringkas dari Kemendikbud. Jadi lebih ringan,” kata Novan.
Sebagai guru, dia berusaha memahami kondisi siswa. Sebisa mungkin pembelajaran daring tak memberi tekanan psikis. ”Kadang lewat WA grup kelas kita kasih wejangan,” imbuh Novan.
Dia berharap infrastruktur telekomunikasi bisa dipacu agar anak-anak di kawasan pegunungan atau pinggiran bisa bersekolah daring lebih baik. ”Supaya blended learning makin fleksibel. Guru sudah belajar IT. Tapi kalau siswa nggak bisa akses ya sia-sia,” kata Novan.
Jaga fisik dan mental
Dengan usaha yang begitu besar, sekolah daring menuntut kesehatan fisik dan mental yang baik. Demi menjaga kesehatan fisik dan mental guru dan siswa, Sekolah Kembang di Jakarta Selatan menggelar bincang-bincang live di Instagram dengan beragam tema. Bincang-bincang pada Rabu (25/11) bertepatan dengan Hari Guru Nasional bertajuk ”Dari Balik Kelas: Strategi Guru Tetap Waras”.
Tak hanya membahas strategi mengajar di kelas agar guru dan siswa bahagia jiwa dan raga, perbincangan juga membahas hal di luar sekolah, seperti hobi. ”Kami berpesan kepada rekan-rekan guru agar melakukan hal-hal yang menyenangkan diri sendiri juga, karena pasti sudah jenuh sekali. Kalau hati kita senang, mengajar pun akan senang,” kata Kepala SD Sekolah Kembang Diajeng Andina.
Di kelas, pembelajaran menggunakan metode problem-based learning. Lebih banyak diskusi, dilengkapi proyek untuk menyelidiki atau mengulas suatu hal.
Sekolah Kembang masih menanti keputusan untuk membuka kembali sekolah semester genap nanti.
”Kami ingin berhati-hati dan menimbang semua risiko. Kesehatan dan keselamatan warga sekolah jadi prioritas utama. Sekolah sudah mempersiapkan satgas, perangkat, tapi harus ada izin dari orangtua juga,” ujar Andina.