Laksa Perjuangan Asirot
Ahmad Syihabbudin (37) berkali-kali menjelaskan lauk yang habis, Rabu (18/11/2020) sekitar pukul 16.00. Sejumlah pengunjung terlihat kecewa. Tak urung, mereka memesan juga laksa atau ketupat sayur.
Rentang waktu selama hampir separuh abad tak pelak mengayakan asam garam Laksa Betawi Asirot. Tak mengandalkan rasa semata, di balik usaha itu juga tersimpan kegigihan yang tak mudah getas. Keikhlasan dan kebersahajaan menjadi kredo untuk mengelola kedai tersebut.
Ahmad Syihabbudin (37) berkali-kali menjelaskan lauk yang habis, Rabu (18/11/2020) sekitar pukul 16.00. Sejumlah pengunjung terlihat kecewa. Tak urung, mereka memesan juga laksa atau ketupat sayur. Di kedai itu, pembeli masih berdatangan meski bukan waktu yang lazim untuk bersantap.
Sekitar pukul 18.00, semua hidangan sudah ludes. Ahmad menerima telepon dari pemesan. Ia membeli sisa laksa dan ketupat sayur yang tersedia dan memintanya dibungkus. Konsumen masih juga datang karena mereka tahu, kedai itu tutup pukul 20.00.
”Saya sediakan masing-masing 100 porsi laksa dan ketupat sayur setiap hari. Habisnya enggak tentu. Pernah, dalam dua jam, semua sajian habis. Waktu itu, Sabtu,” katanya. Kata-kata Ahmad dibuktikan keesokan harinya. Baru sekitar pukul 13.00, laksa dan ketupat sayur tak bersisa.
Kedai yang buka pukul 09.00 itu sederhana saja. Terletak di Jalan Asirot, Jakarta, kedai itu hanya bisa menampung sekitar 30 pengunjung. Dinding yang berwarna biru muda tak dipasangi hiasan dan atapnya tanpa langit-langit sehingga genteng bisa terlihat.
Ahmad menunggu pembeli di belakang etalase. Ia duduk sambil memetik daun kemangi dan mengawasi tamu yang datang. Di etalase kaca, Ahmad menyajikan bermacam lauk, seperti semur daging, telur, tahu, kentang, tempe, dan jengkol, di atas rak kayu.
Laksa dan ketupat sayur ditempatkan di panci yang berbeda di samping etalase tersebut. Pembeli langsung memesan laksa atau ketupat sayur dengan menghampiri Ahmad. Pengunjung kemudian duduk, menikmati pesanan, dan membayar makanan belakangan.
Laksa yang bertaburkan bawang goreng itu terlihat meriah dengan aneka sayuran seperti kemangi, tauge, dan daun kucai. Kuah keemasan menggenangi potongan ketupat. Saat disesap, pekat bercampur aroma ebi yang kuat langsung menyentak indera pengecap.
Kunyit, jahe, dan lengkuas menyempurnakan gurihnya laksa yang sedikit pedas itu. Di setiap meja, ditaruh cawan untuk menyimpan sambal, kecap, emping, dan kerupuk. Sebagai penawar dahaga, pembeli bisa memesan teh manis dingin atau hangat dan air mineral.
Harga setiap porsi laksa dan ketupat sayur sama, yaitu Rp 20.000. Sementara harga lauk yang semur Rp 20.000 untuk daging, Rp 5.000 untuk telur, Rp 3.000 untuk tahu, Rp 3.000 untuk tempe, Rp 3.000 untuk kentang, dan Rp 5.000 untuk jengkol.
Pembeli makan di dalam dan teras rumah itu. Pelataran parkir pun hanya bisa memuat dua mobil dan beberapa sepeda motor. ”Kalau pembeli yang tanya parkirnya sempit, ya ada saja. Memang, lahannya dari dulu begini. Enggak bisa diperluas lagi,” katanya.
Ahmad memang tak ngoyo. Pernah, ia kedatangan orang yang ingin bermitra dan membuka cabang Laksa Betawi Asirot di lokasi lain. ”Enggak, biar diurus keluarga saja. Memang, sejak nenek saya, Muroni, yang memulai jualan Laksa Betawi Asirot juga begitu,” katanya.
Muroni membuka usahanya pada tahun 1972. Saat itu, ia berjualan di gubuk bambu beratapkan dedaunan. Di sekitar kedai itu pun banyak pohon bambu. ”Nenek jualan laksa karena mau anak-anaknya berpendidikan tinggi. Beliau juga pilih laksa karena enggak pengin makanan Betawi hilang,” katanya.
Masa setelahnya diwarnai dengan iktikad. Muroni punya 11 anak. Ia tak hanya membiayai pendidikan mereka, tetapi juga cucu-cucunya. ”Ada dua anak yang kuliah di UI dan dua anak di ITB. Memang, enggak semua anaknya mau kuliah. Tapi, kalau memang mau, nenek mampu,” ucap Ahmad.
Pengalaman yang menguji tekad keluarga Betawi itu terjadi pada tahun 2018. Tabung gas yang bocor memicu kebakaran di dapur sehingga lima anggota keluarga cedera. ”Kedai tutup dulu sekitar enam bulan karena mereka harus dirawat. Kalau kemauan untuk melanjutkan usaha, enggak pernah pudar,” katanya.
Paduan upaya melestarikan kuliner daerah, kegigihan mempertahankan usaha di tempat kecil, dan bangkit dari musibah sesekali membersitkan presumsi mengenai perjuangan Ahmad dan keluarganya. ”Kalau dibilang ini laksa perjuangan, ya bisa dibilang begitu. Saya bertawakal saja,” kata Ahmad sambil tersenyum.
Lapar mata
Ivano Zandra (43) merasakan sensasi keunikan Laksa Betawi Asirot, terutama kuahnya. Aroma segar daun kemangi paling terasa. ”Pertama kali nyendok langsung bisa dibedakan rasanya dengan laksa lain. Pedasnya juga menambah cita rasa kelezatan laksa itu,” ucapnya.
Warga Kelurahan Pesanggrahan, Kecamatan Pesanggrahan, Jakarta, itu juga semakin menikmati laksanya dengan lauk yang bervariasi. Ia seraya tertawa mengaku lapar mata melihat lauk yang banyak. ”Beda banget dengan laksa singapura. Saya lebih doyan Laksa Betawi Asirot. Di antara semua laksa, itu paling enak,” katanya.
Karyawan rintisan teknologi informasi itu pun berniat mengajak istri dan anak-anaknya. Ivano juga akan mengajak mertuanya yang sangat menyukai laksa. ”Biasanya, mertua saya makan laksa di Pasar Baru (Jakarta). Penjual laksa sekarang memang sedikit,” katanya.
Sony Ferdian (43) belum menemukan sajian yang sama sebagai pembanding dengan Laksa Betawi Asirot. Ia pun lebih menyukai makanan itu daripada laksa Bogor. ”Saya sudah tahu Laksa Betawi Asirot sejak SMP, sekitar tahun 1990. Tahu sendiri soalnya ’akamsi’ (anak kampung sini),” katanya seraya tergelak.
Warga Kelurahan Sukabumi Selatan, Kecamatan Kebon Jeruk, Jakarta, itu juga menganggap porsi Laksa Betawi Asirot mengenyangkan. ”Bikin wareg (kenyang) karena banyak. Kalau rasanya, tiada dua. Buat yang enggak makan banyak, lebih baik minta ketupatnya setengah saja,” ucapnya.
Peranakan Tionghoa
Berdasarkan buku 100 Mak Nyus Jakarta yang ditulis Bondan Winarno, Lidia Tanod, dan Harry Nazarudin keluaran Penerbit Buku Kompas tahun 2015, diduga laksa adalah sajian tradisional khas Nusantara yang mendapat pemengaruhan dari tradisi kuliner peranakan Tionghoa.
Pemakaian mi atau bihun dalam laksa merupakan alasan utama dugaan itu. Alasan kedua, ebi atau udang kering yang memang kuliner khas Tionghoa. Bahkan, etimologi atau asal kata laksa diduga berasal dari istilah Tiongkok. Konon, laksa berasal dari kata liet sha yang berarti pasir pedas. Penamaan itu timbul karena sensasi krenyes-krenyes mirip pasir dari tumbuhan ebi kasar dalam kuah saat disantap.
Dalam buku itu juga dicantumkan tulisan Favorit @PakBondan. Di antara penjelasan empat hidangan sejenis, Laksa Betawi Asirot masuk di dalamnya. Kuahnya yang lekoh mencuatkan rasa dan aroma ebi yang sangat cantik.