Kebiasaan nongkrong menjadi bagian dari eksistensi generasi muda. Akan tetapi, pandemi mengharuskan semua orang menegosiasikan ulang kebiasaan yang selama ini menjadi bagian dari kehidupan kita.
Oleh
INSAN ALFAJRI
·4 menit baca
Pandemi Covid-19 mengharuskan milenial menegosiasikan ulang kebiasaan. Nongkrong bersama teman-teman yang meneguhkan eksistensi mereka sebagai generasi muda dibatasi. Sementara interaksi melalui daring tak sepenuhnya bisa membayar kerinduan. Di saat bersamaan, mereka juga peduli dengan penerapan protokol kesehatan.
Bagi mahasiswa Universitas Negeri Jakarta, Michele (20), Covid-19 mengubah drastis hidupnya. Semua aktivitas perkuliahan, termasuk kegiatan organisasi di kampus, berformat daring.
Aktivitas serba daring berkorelasi dengan pengetatan uang belanja. Padahal, uang belanja merupakan salah satu syarat penting untuk nongkrong. ”Sekarang susah minta jajan. Orangtua baru mau ngasih duit kalau aku mau keluar rumah saja,” katanya, Jumat (13/11/2020).
Sebelum wabah melanda Indonesia, Michele dan teman-temannya nongkrong di kafe tiga kali seminggu. Mereka pun ngerumpi di sela-sela pergantian jam kuliah. Kini, Michele dan teman-teman berusaha menyempatkan diri nongkrong meskipun tak seintens waktu normal.
”Aku dan teman-temanku, kan, beda-beda tempat tinggalnya. Ada yang di Bekasi (Jawa Barat) ada juga yang di selatan Jakarta. Makanya kami cari kafe yang low budget di sekitar stasiun. Diusahakan kafenya tak terlalu ramai, tetapi ini jika ada waktu saja. Tidak selalu setiap minggu. Kadang sebulan cuma sekali,” katanya.
Michele dan teman-teman pernah mencoba pertemuan daring, semisal dengan ngerumpi lewat grup Whatsapp. Akan tetapi, interaksi virtual tetap tak bisa menggantikan pertemuan tatap muka. ”Kalo di grup Whatsapp, suka ada yang enggak ikut ngerumpi. Jadi, enggak partisipatif. Ha-ha-ha,” katanya.
Di Jakarta, Michele tak sendiri. Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Jakarta, Nur Hafizah (22), pun merasakan hal senada. Terlebih, dia sudah masuk tahap penyusunan skripsi. Dengan demikian, banyak waktu longgar selama pandemi Covid-19. Bimbingan dengan dosen hanya sekali sebulan. Itu pun pertemuan dilakukan lewat daring.
Michele dan teman-teman pernah mencoba pertemuan daring, semisal dengan ngerumpi lewat grup WhatsApp. Akan tetapi, interaksi virtual tetap tak bisa menggantikan pertemuan tatap muka.
Memiliki waktu luang bukan berarti Hafizah bisa keluyuran sesuka hati. Di rumahnya, ada orangtua dan anak kecil. Ia tak ingin membawa virus korona ke rumah. Jadi, dia keluar rumah untuk aktivitas penting saja, seperti membeli buku di Gramedia atau meminjam buku di perpustakaan kampus.
Sejumlah teman menawarkan bertemu di luar rumah. Di beranda media sosialnya, sejumlah teman-teman membagikan foto nongkrong. Namun, Hafizah tak tergoda meskipun tetap menyimpan kerinduan untuk bertemu teman-teman.
”Kita enggak boleh egois. Jangan hanya karena ingin nongkrong, kita mengorbankan keselamatan dan kesehatan keluarga di rumah,” katanya.
Tantangan lebih berat dialami Fitri Handayani (22), mahasiswa Universitas Negeri Padang, Sumatera Barat. Tak semua perkuliahan berlangsung daring. Ada satu mata kuliah yang dosennya menolak pembelajaran daring lantaran khawatir pembelajaran tidak maksimal.
Mata kuliah itu adalah pembelajaran mikro (micro teaching). Materinya menyiapkan mahasiswa calon guru untuk mengajar di sekolah ketika praktik lapangan. ”Di mata kuliah ini, ada simulasi mengajar. Dosen merasa enggak leluasa memberi penilaian jika perkuliahan berlangsung daring,” katanya.
Pada Juli lalu, Fitri mengikuti kuliah kerja nyata (KKN) di Kabupaten Solok, kampungnya sendiri. Selain membantu guru di sekolah, Fitri juga terlibat sosialisasi protokol kesehatan di wilayah itu.
Berhubung Solok waktu itu masih berstatus zona hijau, masyarakat sekitar tak terlalu khawatir terhadap penularan Covid-19. Ini menjadi tantangan tersendiri karena sosialisasi terbentur perilaku abai masyarakat. Bahkan, dia yang setiap beraktivitas di luar rumah mengenakan masker disindir masyarakat. ”Mereka itu selalu beranggapan Covid-19 ini terlalu dibesar-besarkan,” katanya.
Selain KKN, aktivitas Fitri yang juga bersinggungan dengan orang banyak adalah aksi unjuk rasa menolak pengesahan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja. Unjuk rasa pada Oktober lalu itu merupakan aksi pertamanya turun ke jalan. Yel-yel dan orasi pun membakar semangatnya.
”Waktu itu, enggak kepikiran Covid-19 sama sekali. Untung saja enggak ada kluster penularan dari mahasiswa yang demo di Padang,” ujarnya.
Bagi Fitri, pandemi Covid-19 mengajarkannya untuk adaptif terhadap perubahan. Sebagai ketua komisariat di salah satu organisasi ekstrakampus, dia harus memastikan organisasi tetap berjalan di tengah keterbatasan pertemuan tatap muka. Dari wabah, dia belajar cara memfasilitasi rapat daring dan diskusi daring.
”Dari Covid-19, kita juga bisa belajar untuk menahan diri, memahami bahwa pengetahuan terkait Covid-19 masih beragam di masyarakat. Tugas kita untuk sama-sama menjelaskan agar Covid-19 tak berlarut-larut,” tambahnya.
Sementara itu, mahasiswa Universitas Trisakti, Jakarta, Hengki (22), menahan diri selama pandemi. Dia tak lagi nongkrong bersama teman-teman. Hengki memilih keluar indekos ketika ada urusan penting, seperti dapat kerja sampingan.
”Saya sekarang cuma ngerjain skripsi. Kadang-kadang, ada teman ngajakin jadi kurir freelance. Tetapi, ini tak selalu setiap hari. Kalau lagi longgar saja saya ambil. Di luar itu, saya di indekos saja,” ujarnya.
Berdasarkan, hasil jejak pendapat Kompas, 14-16 Oktober, sebanyak dua pertiga dari 529 responden menilai pemuda berperan dalam mencegah penyebaran Covid-19. Ada tiga jenis kegiatan anak muda yang menonjol di lingkungan sekitar rumah, yaitu pembagian bantuan (23 persen), menyosialisasikan pencegahan Covid-19 (20,79 persen), dan menjaga lingkungan selama pembatasan sosial berskala besar (24,95 persen).
Namun, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) juga menyatakan kalangan usia 20, 30, dan 40-an berkontribusi dalam penularan virus korona tipe baru. Mereka banyak yang harus dirawat, bahkan ada juga yang berakhir dengan kematian (Kompas, 25/10/2020).
Bertemu konco-konco merupakan bagian tak terpisahkan dari eksistensi generasi muda. Namun, pandemi mengharuskannya untuk menegosiasikan ulang kebiasaan yang selama ini menjadi bagian dari kehidupan kita.