Penerapan prinsip-prinsip ekonomi sirkular yang mendukung kelestarian lingkungan terkendala di sejumlah negara. Pihak-pihak terkait masih bergelut dengan sejumlah regulasi untuk mewujudkan sistem yang lebih lestari.
Oleh
ADITYA DIVERANTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penerapan konsep ekonomi sirkular yang mendukung pelestarian lingkungan dunia belum sesuai harapan. Bank Dunia mengingatkan agar negara-negara lebih responsif dalam mengejar penerapan konsep tersebut meski di tengah pandemi Covid-19.
Pada prinsipnya, gagasan ini dijalankan dengan mengubah limbah menjadi produk berguna sehingga membantu perekonomian dan pelestarian lingkungan, tetapi dianggap belum berjalan maksimal di sejumlah negara Asia. Hal ini menjadi ulasan Bank Dunia dalam diskusi virtual bertajuk ”Marine Plastics in East Asia and Pacific: Crisis and Opportunity”, Selasa (3/11/2020).
Wakil Ketua Bank Dunia untuk wilayah Asia Timur dan Pasifik Victoria Kwakwa menilik sejumlah tantangan untuk menerapkan ide ini di sejumlah negara Asia. Beberapa hal yang menjadi sorotan adalah soal regulasi, perubahan kebiasaan publik, serta sinergitas pihak pemerintah, swasta, dan warga sipil.
”Sejumlah negara masih bergelut dengan soal regulasi dan kerja sama dengan berbagai pemangku kepentingan. Dalam kesempatan ini, saya mengingatkan kalau pandemi Covid-19 juga adalah momen untuk megubah perilaku publik ke arah ekonomi sirkular,” tutur Victoria dalam diskusi yang dihadiri perwakilan dari sejumlah negara dari Asia Tenggara, Selasa siang.
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan tidak memungkiri kalau pengelolaan limbah masih menjadi persoalan tersendiri di Indonesia. Terutama saat pandemi, Luhut melihat tren kenaikan penggunaan plastik yang merujuk pada survei Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Mei 2020. Dari 715 responden di lingkup Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi, mayoritas responden mengatakan lebih banyak membuang sampah plastik di rumah.
Permasalahan serupa juga melanda Vietnam. Ta Dinh Thi, perwakilan dari Kementerian Sumber Daya Alam dan Lingkungan Vietnam, menyatakan, sampah plastik turut mencemari kawasan perairan seperti di Indonesia. ”Perubahan perilaku pemakaian plastik sekali pakai menjadi tantangan tersendiri bagi Vietnam,” ujarnya.
Beberapa perwakilan dari sejumlah negara yang hadir berkomitmen untuk bisa mewujudkan ekonomi sirkular setidaknya sebelum tahun 2025. Namun, Direktur Eksekutif Gerakan Diet Kantong Plastik Indonesia Tiza Mafira memandang masalah sampah dan limbah di berbagai negara masih belum teratasi karena sirkulasi daur ulang yang belum berjalan dengan baik.
Tiza memaparkan, baru sekitar 10 persen limbah plastik dunia yang didaur ulang, sementara sekitar 90 persen lainnya belum terolah dengan baik. Dia menilai hal tersebut karena kurangnya sirkulasi daur ulang di tingkat korporasi.
Keadaan itu juga diperparah dengan perilaku daur ulang di kalangan masyarakat yang belum terbentuk. Meski begitu, perilaku masyarakat perlahan mulai bergeser seiring kebijakan pengurangan kantong plastik di beberapa kota. ”Kebijakan pengurangan kantong plastik di 35 kota di Indonesia juga patut diapresiasi. Setidaknya, makin banyak orang yang kini membawa kantong belanja sendiri,” tutur Tiza.
Victoria mengatakan, prinsip ekonomi ini perlu segera dijalankan oleh berbagai negara demi kelestarian lingkungan. Sebab, Bank Dunia memprediksi produksi sampah perkotaan di negara berkembang mencapai 0,8-1,8 kg per kapita per hari. Sementara sampah yang diproduksi itu tidak diimbangi dengan upaya pengelolaan memadai.
Prinsip ekonomi ini dipercaya dapat mengurangi produksi limbah dunia hingga 50 persen pada 2030. ”Selama didukung dengan kerja sama seluruh pihak serta regulasi yang tepat, prinsip ekonomi sirkular bisa terwujud di belahan negara manapun,” ucap Victoria.
Model ini menjadi arah pembangunan negara-negara di dunia. Mengacu dalam ulasan Forum Ekonomi Dunia (WEF), gagasan ekonomi ini mengarahkan negara kepada penggunaan energi terbarukan, menghilangkan bahan kimia beracun, dan limbah melalui desain bahan, produk, sistem, serta model bisnis yang unggul. WEF memprediksi, manfaat ekonomi yang bisa dihasilkan dari penerapan sirkular ekonomi mencapai 4,5 triliun dollar AS.
Gagasan ini mendukung pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). Prinsip ini pun terus didengungkan meskipun negara-negara di dunia sedang menghadapi pandemi Covid-19. Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa bahkan telah mendesak berbagai negara untuk memperlakukan pengelolaan sampah sebagai layanan publik yang esensial. Ini dilakukan untuk meminimalisir risiko kesehatan, selain dampak lingkungan.
Prinsip ekonomi ini juga mungkin menjadi jawaban untuk pengolahan limbah di Jakarta. Berdasarkan Pusat Penelitian Oseonografi LIPI pada Desember 2019, terdapat estimasi rata-rata 97.098 buah sampah masuk ke Teluk Jakarta yang bermuara dari sembilan sungai. Dari jumlah total, estimasi rata-rata sampah jenis plastik mencapai 57.668 buah dengan bobot rata-rata 8,32 ton per hari.