Sesuatu yang populer bisa datang dan pergi. Namun, pasar yang menjual komoditas berdasarkan hobi atau kegemaran tak pernah mati. Mereka bertahan karena memiliki konsumen sejati.
Oleh
INSAN ALFAJRI
·4 menit baca
Di Pasar Burung Pramuka, Jakarta Timur, Jumat (30/10/2020) siang, Syamsul (69) berhenti di sebuah toko yang menjual burung kenari (Serinus canaria). Toko Raja Fauna itu milik Sumadi (54). Tak kurang dari satu jam mereka berbincang.
”Itu yang warna hitam merah unik, Pak. Tetapi suaranya biasa saja. Kalau yang suaranya unik itu di kandang nomor 13,” ujar Sumadi sambil meniup peluit untuk memancing burung berkicau.
”Oh, ya. Itu bandel sekali yang dikandang nomor 13,” Syamsul menimpali.
Syamsul, pensiunan TNI, memelihara burung sejak 2005 atau tiga tahun menjelang pensiun. Sebelumnya, dia gemar memancing ikan. Hobi itu bergeser jadi memelihara burung setelah mendapat hadiah dari seorang keponakan.
”Saya tinggal di Bekasi, Jawa Barat. Waktu itu, keponakan dari Bogor (Jawa Barat) berkunjung ke rumah. Dia memberi saya seekor kenari. Heboh sekali kenari ini. Berkicau terus. Akhirnya hobi itu malah keterusan sampai sekarang,” ujarnya.
Di rumah, dia punya seekor murai (Copsychus malabaricus) dan dua kenari. Dia hanya ingin berkunjung ke Pasar Pramuka, tak berniat untuk membeli burung baru. Berbincang dengan penjual burung, katanya, sangat asyik.
”Saya itu selalu melihat profil pedagangnya. Coba lihat. Ini tokonya semua menjual kenari. Pasti yang punya juga suka kenari,” ujar Syamsul. Sumadi tertawa mendengar penjelasan Syamsul.
Menurut Sumadi, hubungan baik dengan pembeli harus dirawat karena pemelihara burung akan selalu kembali. ”Mereka kalau enggak beli burung, ya, beli sangkar. Kalau enggak, ya, beli makanan. Atau sekadar ngobrol seperti ini,” tutur pedagang asal Jepara, Jawa Tengah, ini.
Sumadi kecil merupakan penyayang binatang. Dulu, dia sering mencari anak burung di pohon dan merawatnya. Dia memberi burung itu makan dan membesarkannya. ”Dulu pernah burung saya dimakan kucing. Aduh, rasanya kesal sekali,” katanya.
Berangkat dari hobi itu, Sumadi merantau ke Jakarta pada 1982. Dia memulai karier sebagai penjaga toko di Pasar Burung Pramuka. Empat tahun bekerja, dia putuskan untuk buka toko sendiri. Kini, dia sudah punya dua toko. Semuanya menjual kenari.
Kenari di tokonya terdiri atas dua jenis: yang sudah pintar berkicau dan yang masih bahan atau belajar berkicau. Kenari yang sudah jadi atau sudah pintar berkicau dia jual Rp 600.000. Sementara kenari bahan dia patok Rp 400.000.
Yongki (70), karyawan toko paling senior di Pasar Burung, menjelaskan, memelihara burung merupakan hobi abadi. Jarang sekali ada yang berganti hobi setelah memelihara burung. ”Mendengar kicaunya saja bisa menghilangkan stres,” ujarnya.
Akhir pekan, lanjutnya, pasar ini akan ramai pengunjung. Ini karena pembeli turut mengajak keluarga atau temannya ke pasar ini. ”Kalau hari Minggu, yang beli seorang, tetapi yang ngikut banyak. Ha-ha-ha,” kata Yongki.
Ayah satu anak ini sudah bekerja di Pasar Burung sejak 1974. Pada masa itu, hampir semua binatang ada di tempat ini. ”Bisa dibilang lebih lengkap dari kebun binatang, dari macan dahan (Neofelis nebulosa) hingga monyet saku (Pygmy marmoset) ada,” ujarnya.
Seiring dengan berjalannya waktu, pemerintah memperketat aturan. Tak semua satwa bisa dijual bebas. Burung pun demikian. Kini, semua yang dijual di tempat ini berasal dari rumpun unggas. Binatang selain unggas tak dijual lagi.
Tren
Di Pasar Rawa Bening, Jatinegara, Jakarta Timur, pedagang dan pengasah batu akik tetap setia melayani pembeli. Pada 2014 hingga 2015, batu akik
booming dan membuat kawasan ini makin terkenal sebagai sentra batu akik di Jakarta.
Menurut pengasah batu akik Dani (36), masa kejayaan batu akik sudah berlalu. Para pengasah batu yang tak sabar memilih keluar dari gelanggang batu akik yang redup. Namun, dia tetap bertahan. Mengapa?
”Karena saya sudah mengasah batu sejak remaja dan juga senang mengoleksi akik. Sekarang, pembeli yang tersisa itu adalah orang yang sejak dulu memang hobi dengan batu. Tak ada lagi pegawai kantor yang antre setiap sore di tempat ini. Kalaupun ada, jumlahnya bisa dihitung jari,” tutur pedagang asal Sukabumi, Jawa Barat, ini.
Para pengasah batu di Rawa Bening kebanyakan orang Sukabumi. Cara mendeteksinya mudah. ”Mereka mengasah batu dengan tangan kiri. Kalau pakai tangan kanan, itu biasanya Madura atau Betawi. Mengasah dengan tangan kiri ini sudah kebiasaan sejak dulu,” tambahnya.