Pembukaan Bioskop Saat Pandemi Berisiko Besar bagi Konsumen
Konsumen dinilai menjadi pihak yang paling merugi apabila bioskop kembali dibuka. Alih-alih meningkatkan imunitas, bioskop justru membuka potensi penularan bagi mereka.
Oleh
ADITYA DIVERANTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Rencana pembukaan kembali bioskop pada masa pandemi Covid-19 dianggap sangat berisiko bagi penonton. Langkah ini dinilai sebagian kalangan dapat memicu potensi penularan yang lebih besar.
Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi memandang, bioskop tidak memenuhi syarat yang layak secara infrastruktur untuk dibuka kembali. Hal ini mempertimbangkan karakteristik ruangan bioskop yang tertutup dan perlu pengondisian sirkulasi udara. Sementara situasi pandemi belakangan ini kian parah karena ada potensi transmisi di ruangan tertutup.
”Secara infrastruktur, karakter bioskop yang ruangannya tertutup, tidak ada sirkulasi udara, tidak ada sinar matahari, dan harus berpendingin ruangan, semua itu memungkinkan potensi penularan. Penonton cenderung dirugikan karena itu,” kata Tulus saat dihubungi Rabu (26/8/2020).
Rencana pembukaan bioskop sebelumnya diungkapkan Juru Bicara Satuan Tugas Covid-19 Wiku Adisasmito. Pembukaan bioskop, kata Wiku, dilakukan untuk memberi hiburan kepada warga. Dengan hiburan, Wiku meyakini imunitas warga akan meningkat karena dapat membuat penonton bahagia.
”Karena imunitas masyarakat juga bisa meningkat saat bahagia. Bioskop, sinema, merupakan salah satu kontributor untuk itu, dalam rangka menghadapi Covid-19,” ungkapnya dalam telekonferensi pers, Rabu pagi.
Namun, Wiku menegaskan, beroperasinya kembali bioskop harus diawali dengan serangkaian persiapan ketat dari sisi sarana dan prasarana di bioskop serta pengawalan ketat penerapan protokol pencegahan penularan Covid-19.
Dalam dokumen Kajian Perencanaan Pembukaan Kembali Bioskop/Cinema di Indonesia Selama Masa Pandemi Covid-19 yang dikeluarkan resmi oleh Satgas Penanganan Covid-19, pertama, dinyatakan bahwa ada tiga kegiatan di area bioskop yang menjadi titik kritis transmisi wabah. Ketiga kegiatan tersebut ialah sebelum, saat di dalam, dan ketika usai keluar ruang teater.
Di ketiga kegiatan itu, ada kemungkinan terjadi antrean, kerumunan, orang bisa bersin, tertawa, dan lainnya yang berpotensi besar menyebarkan virus korona baru pemicu wabah. Untuk itu, Wiku menegaskan, sesuai dokumen tersebut, sejumlah persyaratan harus dipenuhi sebelum bisa membuka kembali bioskop.
Syarat usia, yakni hanya yang di atas usia 12 tahun hingga 60 tahun yang bisa menonton di bioskop. Lolos uji skrining sebelum masuk area bioskop, yaitu tidak bergejala sakit. Di dalam teater ada area jarak radius 1 meter antar-penonton.
Tidak boleh makan dan minum di dalam teater. Fasilitas penjualan makanan dan area gim ditiadakan. Ada jarak aman antrean pembelian tiket, masuk teater, hingga ke toilet.
Di dalam teater ada area jarak radius 1 meter antar-penonton.
Pengelola juga harus memastikan sarana pengondisian sirkulasi udara di seluruh fasilitas di bioskop berfungsi maksimal. Di dalam teater dan semua area bioskop pun ada larangan berbicara, tertawa, serta berkumpul. Dengan semua persyaratan itu, jika ada pelanggaran, bisa berakibat dicabutnya izin usaha bioskop terkait.
Jadi, Wiku menegaskan, ada proses panjang yang dilalui dalam keputusan membuka bioskop. Pertama, ada tahap prakondisi yang menentukan kesiapan dari fasilitas bioskop. Kedua, ada aspek waktu pembukaan yang sekiranya dinilai tepat dengan situasi saat ini.
Satgas juga melihat sektor mana yang perlu diprioritaskan pada masa sekarang. ”Tentunya, semua dilakukan dengan proses simulasi dan penyiapan yang matang. Kami berkoordinasi dengan pemerintah daerah, dalam hal ini DKI Jakarta, untuk memastikan seluruh persiapan dilakukan secara terstruktur dan terukur,” tutur Wiku.
Ketua Umum Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Ede Surya Darmawan memandang risiko saat menonton di bioskop justru lebih besar daripada manfaat imunitas itu sendiri.
Menurut dia, risiko penularan menjadi besar karena penonton tak pernah tahu apakah ada orang tanpa gejala (OTG) di dalam ruangan. Kemudian, sirkulasi udara belum tentu mengarah keluar ke ventilasi yang semestinya. Risiko akan lebih besar kalau ternyata udara hanya berputar di dalam ruangan selama berjam-jam.
Misalkan saja, ada satu orang yang ternyata OTG, lalu menularkan lewat sirkulasi udara. Dengan situasi seperti itu, orang-orang yang berada di dalam bioskop sudah tergolong melakukan kontak erat dengan pasien. Karena situasi tersebut, Ede tidak menyarankan pembukaan bioskop.
Sejumlah warga cenderung ragu dengan rencana pembukaan bioskop di tengah situasi pandemi. Azka Putri (27), pekerja di perusahaan telekomunikasi, memutuskan untuk melihat situasi dan kondisi dulu apabila bioskop kembali dibuka. ”Pasti lihat sikon dulu, sih. Aku ke mal saja masih belum berani, apalagi ke bioskop yang satu ruangan dan tertutup gitu,” tutur perempuan yang tinggal di Klender, Jakarta Timur, itu.
Alif Hudanto (28), pekerja media televisi di Jakarta Barat, juga khawatir dengan potensi penularan dari bioskop. Alif terutama waswas dengan sofa, karpet, serta lapisan kedap suara di bioskop yang mungkin menyimpan sisa droplet dari penonton sebelumnya. ”Sofa dan karpet itu bisa saja baru dipegang orang yang membawa virus. Risiko itu masih terlalu besar, saya enggak mau tertular,” kata warga Palmerah yang asli dari Jawa Barat ini.
Annis Meitiyah (29), pekerja di perusahaan transaksi tiket perjalanan digital, juga akan menghindari ke bioskop meski nanti kembali buka. ”Sebelum pandemi, nonton adalah ritual wajibku. Tapi kalau riskan jadi penularan Covid-19, aku mungkin enggak (ke sana) dulu,” ujarnya.