Praktik "swinger" atau bertukar pasangan dalam hubungan intim ramai menjadi bahan perbincangan warga. Lazimkah praktik semacam ini dalam konteks hubungan pernikahan?
Oleh
ADITYA DIVERANTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Jagat maya belakangan ramai membicarakan kata swinger. Pengguna akun media sosial Twitter meramaikan istilah itu karena beredarnya video pengakuan pria berinisial BA. Dalam video, BA yang mantan akademisi menyebut dirinya melakukan pelecehan seksual kepada sejumlah korban dengan kedok penelitian.
BA merekam video dalam kesadaran penuh, mengakui kerap berfantasi terhadap pasangan swinger. Istilah yang berasosiasi pada praktik hubungan intim dengan cara bertukar pasangan ini menghantui dirinya di setiap situasi. Sebagian pemerhati menganggap fantasi ini muncul karena lunturnya kesetiaan BA kepada pasangan hidupnya.
”Saya mengakui kalau rencana penelitian tentang swinger kepada banyak perempuan adalah bohong. Karena sesungguhnya saya lebih ingin berfantasi sehingga secara virtual semata. Hal itu karena kata swinger sering menghantui saya di setiap waktu dan tempat,” tutur BA dalam video tersebut.
Kasus itu pun kian ramai karena sejumlah korban turut bersuara. Pendamping korban berinisial ID (40) mengunggah ceritanya melalui Facebook 31 Juli 2020. ID yang juga mengumpulkan informasi dari korban lain mendapati modus BA beragam. Kasus ini pun terus bergulir hingga Rabu (5/8/2020) dan dalam proses pelaporan kepada kepolisian.
Karena kegaduhan itu, muncul berbagai tanggapan terhadap praktik swinger yang dikaitkan dengan hal-hal lain. Topik ”dosen swinger” pun sempat heboh dalam perbincangan medsos Twitter. Sebagian orang bahkan menganggap swinger sebagai suatu fenomena kelainan seksual.
Lantas, apakah swinger bisa diartikan sebagai sebuah bentuk kelainan seksual? Lazimkah praktik bertukar pasangan dalam konteks hubungan intim?
Bukan kelainan
Seksolog klinis Zoya Amirin menjelaskan, fenomena swinger atau bertukar pasangan dalam hubungan intim sendiri sebenarnya bukanlah kelainan seksual. Swinger lebih cocok disebut sebagai variasi dalam hubungan seksual. Hal ini karena sifat swinger bukan seperti fetish, yakni kecenderungan seseorang terangsang lewat benda atau bagian tubuh yang non-seksual.
”Praktik swinger itu lebih memberatkan pada variasi dalam berhubungan intim bagi pasangan yang telah menikah resmi. Meski bukan hal yang dilakukan pasangan secara umum, fenomena semacam ini ada dan terdapat sejumlah klub yang turut mengakomodasi,” ujar Zoya.
Fenomena swinger sendiri sebenarnya telah lama ada di beberapa negara. New York Times membuat laporan tentang munculnya fenomena swinger pada Mei 1971. Dalam artikel berjudul ”Group Sex: Is It Art Life or a Sign That Something is Wrong”, sejumlah warga dan kalangan peneliti telah mempertanyakan apakah swinger sebenarnya sebuah praktik yang wajar dilakukan.
”Hubungan seksual secara berkelompok semacam itu menjadi fenomena yang tumbuh dan orang-orang mulai membicarakannya secara terbuka. Hal ini pun mulai menyebar ke negara-negara lain,” ucap Wardel Pemroy, mantan Presiden Asosiasi Pernikahan dan Konseling Keluarga Amerika (AAMFT), seperti dilaporkan The New York Times.
Walakin, praktik swinger sendiri selalu menjadi perdebatan dalam tujuan mengharmoniskan hubungan sepasang kekasih. Ada sebagian orang yang beranggapan praktik swinger membuat mereka lebih mesra ketika kembali kepada pasangan semula. Ada juga yang menganggap swinger malah merugikan pernikahan.
Meski begitu, Zoya menekankan praktik swinger haruslah berdasarkan keputusan konsensual antar-sepasang kekasih. Zoya juga mensyaratkan swinger hanya akan baik dilakukan dengan tujuan menguatkan hubungan suami-istri yang telah terjalin. ”Hal yang kerap menjadi perdebatan dalam hubungan seksual swinger ialah apa pasangan ini semakin terbangun relasi, apa makin sayang mereka berdua setelah berhubungan seperti itu? Tetapi, kan, itu belum tentu,” tuturnya.
Dari sejumlah klien yang ditangani Zoya, sepasang kekasih kerap menilik opsi swinger ketika dalam hubungan yang sedang kacau-balau atau bosan dengan pasangan. Ada pula yang membuat pembenaran bahwa seseorang takut selingkuh sehingga menanyakan kepada pasangan mereka untuk menjalani opsi swinger.
Pada kondisi itu, praktik swinger menjadi beda tipis dengan perselingkuhan. Begitu pula dalam kasus BA, Zoya menilai, BA, yang kerap berfantasi terhadap hubungan swinger dan tidak memberi tahu istrinya, sebenarnya lebih bermotif untuk selingkuh. ”Dalam situasi tertentu, memang ada kondisi di mana seseorang yang bosan dengan pasangan dan ingin mencari selingan,” ucap Zoya.
Apabila keluhan pasangan adalah takut bosan atau sedang dalam hubungan yang kurang baik, Zoya tidak menyarankan praktik hubungan semacam swinger. Kondisi kebosanan atau ketidakharmonisan sebaiknya dikonsultasikan melalui jasa konseling keluarga. Sebab, praktik swinger dikhawatirkan memperkeruh situasi pernikahan yang sudah tidak harmonis.
Selain itu, permasalahan lain datang dari risiko kesehatan. Anne-Marie Niekamp, peneliti dari Maastricht University, Belanda, menyatakan, pasangan swinger berisiko mengalami penyakit menular seksual sebanding dengan pasangan homoseksual atau biseksual. Mereka juga berisiko terkena HIV, virus penyebab AIDS.
Pasangan swinger juga berisiko menderita klamidia, yakni penyakit seksual yang disebabkan hubungan seks tanpa kondom. Pria swinger juga berisiko terkena kencing nanah, yang kerap disebabkan bakteri Neisseria gonorrhoeae.
Zoya menyarankan sebaiknya sepasang kekasih saling menjaga kesetiaan dan terus berkomunikasi intens apabila ada masalah. Jangan lantas melarikan diri pada praktik berpasangan semacam swinger, atau kelompok hubungan lainnya, sebab hal ini belum tentu menjamin keharmonisan hubungan.
Dia menekankan, tetap setia kepada pasangan adalah seni dalam pernikahan. ”Tidak selingkuh itu adalah perjuangan dengan pasangan kita setiap hari untuk tetap setia satu sama lain. Sebab, akan selalu ada orang yang lebih baik di kemudian hari, tetapi bagaimana kita tetap setia kepada pasangan dan menjaga hubungan, itu yang utama,” ujarnya.