Pedagang kue klepon masih berjaya hingga kini. Resep kue berwarna hijau bertabur kelapa parut ini diwariskan turun-temurun. Klepon yang tak ada sangkut-pautnya dengan kepercayaan seseorang ini masih memikat banyak orang.
Oleh
INSAN ALFAJRI
·4 menit baca
Di kontrakan sempit di Jalan Pulo Mawar, Kemandoran I, Grogol Utara, Jakarta Selatan, Rabu (22/7/2020), dua pria bertelanjang dada sedang membuat adonan kue klepon dan kue putu. Ayah dan anak ini sudah menjual klepon dan putu secara turun-temurun.
Mereka adalah Rozikin (51) dan Syarif Hidayat (30). Rozikin menjual klepon dan putu dengan gerobak, sedangkan Syarif dengan mengayuh sepeda. Mereka menjajakan jajanan pasar itu di gang-gang di Jakarta Selatan dan Jakarta Barat. ”Pukul 15.00, kami mulai jalan. Nanti pulang tengah malam,” ujar Syarif.
Rozikin menjual klepon sejak tahun 1986. Waktu itu, ia berdagang bersama ayahnya di Tanah Abang, Jakarta Pusat. Dari sang ayah inilah, Rozikin mendapatkan ilmu meramu klepon dan putu yang nikmat. Resep itu masih dipertahankan dan diturunkan ke Syarif.
Rozikin dan ayahnya bertahan berjualan di Tanah Abang hingga menjelang era reformasi. Mereka merespons perubahan zaman dengan memilih lokasi yang lebih berpeluang ramai. ”Ketika krismon (krisis moneter), saya pindah ke kontrakan ini,” kata Rozikin, yang tinggal di kontrakan bertarif Rp 600.000 per bulan ini.
Sewaktu krismon, ujar Rozikin, kawasan Tanah Abang menjadi sepi. Biasanya, ia memarkir gerobak kue di kawasan pusat grosir garmen itu dan pembelilah yang datang. Setelah pindah ke Kemandoran, Rozikin berinisiatif menjemput pembeli dengan berkeliling dari satu tempat ke tempat lain seharian.
Kontrakan seluas 3×3 meter persegi yang dihuni saat ini menjadi tempat produksi. Rozikin dan Syarif pun membuat kamar darurat di loteng. ”Itu untuk tempat tidur, kalau kamar mandinya pakai kamar mandi umum,” ujar sang ayah.
Menjaga dari kepunahan
Bagi Rozikin, menjual klepon yang terbuat dari tepung beras ketan berisi gula merah dan bertabur kelapa parut ini tak sekadar urusan ekonomi. ”Ini untuk menjaga usaha turunan keluarga supaya tidak punah,” tambahnya.
Keinginan yang sama pulalah yang membuat Syarif berpindah profesi. Syarif merupakan lulusan SMK jurusan elektronika. Dia lulus tahun 2008. Setelah lulus, ia sempat bekerja di bengkel motor.
Menjadi anak buah orang, lanjut Syarif, punya suka duka tersendiri. Selain pendapatan yang kecil, waktu untuk libur pun ditentukan. Ini berbeda ketika dia berdikari dengan menjual klepon dan putu.
”Kalau capai, ya, libur dulu. Sekali sebulan bisa pulang jenguk keluarga di Brebes,” ujar Syarif, ayah satu anak ini.
Dari penghasilan klepon dan kue putu, Rozikin bisa membiayai kuliah anak bungsunya. Rozikin pun sudah punya rumah sendiri di Brebes, begitu juga Syarif. Di saat berdagang di Jakarta, istri mereka menggarap sawah. ”Sawah sebentar lagi panen,” ujarnya.
Rozikin dan Syarif masing-masing bisa mengumpulkan omzet sekitar Rp 400.000 per hari. Dari omzet itu, mereka mendapat untung sekitar 50 persen.
Dari penghasilan klepon dan kue putu, Rozikin bisa membiayai kuliah anak bungsunya. Rozikin pun sudah punya rumah sendiri di Brebes, begitu juga Syarif.
Tenaga uap
Kedatangan pedagang klepon dan putu keliling ini diketahui pelanggan dari bunyi khas yang dikeluarkan alat pengukus kue putu. Di dalam alat itu terdapat kompor yang selalu menyala untuk menjaga uap air. Dalam satu hari, masing-masing Rozikin dan Syarif menghabiskan satu gas melon seberat 3 kg untuk membuat penganan tradisional ini.
Dari bunyi yang khas pedagang klepon dan putu ini, Rozikin punya nama khusus untuk usahanya. ”Putu adalah pedagang unik tenaga uap, he-he-he,” katanya.
Bagi ayah-anak ini, bunyi kue putu menjadi bunyi penghidupan yang mengiringi langkah mereka mencari nafkah yang halal saban hari.
Seiring berjalannya waktu, kue klepon pun mengalami modernisasi. Di kafe ala Ritus, Pasar Baru, Jakarta, misalnya, klepon dikemas dalam bentuk kue. Ini bagian dari fusion food, yakni kuliner yang menggabungkan modernitas dan unsur tradisional (berita video Kompas, 6/5/2020).
Dalam lintasan sejarah, kue klepon tak hanya dijual di pinggir jalan. Ia pun mampir di Istana Negara. Menurut pengamat budaya Agus Dermawan dalam artikel ”Kuliner Istana Presiden” (Kompas, 8/8/2015), masakan di Istana sangatlah Nusantara. Begitu juga penganannya yang sederhana dan sangat Indonesia, seperti wajik, nogosari, lemper, lopis, semar-mendem, dan klepon. Makanan terakhir dimaknai sebagai ”negara yang berhati nan manis”.
Tiara Ramdan dalam Pelestarian Produk Klepon sebagai Obyek Gastronomi Nusantara di Kecamatan Lengkong, Kota Bandung, (2016) menjelaskan, kue klepon sudah ada di Bandung sejak 1980. Selain sebagai camilan, kue ini pun disajikan di berbagai upacara adat, seperti sepitan.
Sejumlah sumber pun mencatat, klepon sudah hadir di Indonesia sejak 1950-an. Saat itu, klepon jadi menu yang ditawarkan di restoran Indonesia-Belanda dan restoran Tionghoa.
Selasa (21/7) kemarin, warganet di Twitter sempat heboh dengan munculnya sebuah gambar klepon dengan keterangan ”kue klepon tidak islami”. Hingga artikel ini ditulis, Rabu sore, tagar klepon bertengger di posisi ke-5 dengan jumlah cuitan 16.000.
Sholahuddin Al Ayyubi, karyawan swasta, sempat jengkel dengan gambar yang beredar itu. ”Coba bantu gue, ini kenapa kue kedemenan gue mendadak jadi
kagak islami,” katanya saat dihubungi.
Baginya, klepon tidak ada sangkut-pautnya dengan urusan kepercayaan. Satu hal yang ia percaya, klepon tetap nikmat disantap setiap saat, termasuk ketika membaca medsos dengan aneka ragam isinya.