Menatap Masa Depan Bisnis Perkantoran
Pandemi Covid-19 akan berlalu, tetapi kehidupan dan kegiatan masyarakat tak akan lagi sama. Perubahan cara kerja yang lebih fleksibel dan berbasis teknologi akan memengaruhi masa depan properti perkantoran.
Pandemi Covid-19 akan berlalu, tetapi kehidupan dan kegiatan masyarakat tak akan lagi sama. Perubahan cara kerja yang lebih fleksibel dan berbasis teknologi akan memengaruhi masa depan properti perkantoran.
Sejak ada pandemi, kaum urban diperkenalkan dengan istilah remote working atau work from home (WFH). Pada prinsipnya, kedua sistem kerja ini tak mengharuskan seseorang datang ke kantor untuk bekerja. Karyawan bisa bekerja secara jarak jauh, mengandalkan teknologi untuk komunikasi, dan umumnya membuat rumah jadi tempat ”ngantor”.
Rapat, koordinasi, dan distribusi pekerjaan yang biasanya dilakukan secara tatap muka langsung berubah jadi virtual. Cara kerja ini sudah diterapkan banyak perusahaan di Indonesia ataupun di luar negeri.
Amazon, misalnya, memberi pilihan karyawan bekerja dari rumah hingga Oktober 2020. Demikian juga Spotify mengizinkan 4.000 karyawan menyelesaikan pekerjaan dari rumah hingga akhir tahun. Barclays meminta 70.000 karyawan bekerja dari rumah. Facebook dan Google memperpanjang WFH hingga 2021.
Melihat kesuksesan sistem bekerja dari rumah, perusahaan-perusahaan mulai mempertimbangkan penerapan remote working, baik secara total maupun sebagian, untuk seterusnya. Contohnya, ada sebagian karyawan yang masih wajib ke kantor secara berkala, misalnya tiga kali sepekan, sisanya pekerjaan dilakukan dari rumah.
Head of Markets JLL Indonesia Angela Wibawa mengatakan, memasuki era normal baru, kantor akan menyesuaikan fokus dan sistem kerja sesuai protokol kesehatan dari pemerintah. ”Perkantoran akan menerapkan pembatasan jarak fisik, mengatur ulang lay out kantor, menata ulang tempat duduk dan ruang pertemuan,” katanya, Selasa (9/6/2020).
Kesuksesan WFH, menurut Angela, juga membuat kantor-kantor akan mengevaluasi proses kerja mereka. ”Kebutuhan bekerja dari kantor akan disesuaikan pengalaman bekerja dari rumah. Kantor akan membuat strategi sesuai kebutuhan sekarang, apakah kondisi kantor yang ada sekarang sudah cukup atau perlu membuat ruang fleksibel,” katanya.
Di beberapa perusahaan, waktu masuk dan jam kerja karyawan dibuat berbeda untuk menghindari kerumunan. Pilihan lainnya adalah membangun ruang personal karyawan, misalnya dalam bentuk kubikel, dan mengatur ulang lay out ruang rapat. Untuk pilihan kedua ini, kantor mendapat tantangan menambah biaya renovasi yang nilainya tak sedikit.
Senior Director Office Services Colliers International Indonesia Bagus Adikusumo menambahkan, fleksibilitas bekerja akan jadi normal baru. Selain itu, ruang yang dibutuhkan kantor juga akan berkurang. Ruang rapat tertutup akan hilang dan digantikan ruangan lebih terbuka dan fleksibel.
”Mentalitas orang-orang old fashion juga akan berubah. Ke depan, kerja kita tak akan terbatas ruangan. Kalau banjir, misalnya, kita akan mudah beradaptasi,” katanya.
Mentalitas orang-orang old fashion juga akan berubah. Ke depan, kerja kita tak akan terbatas ruangan.
Sewa tertekan
Berdasarkan data Colliers International Indonesia, wabah Covid-19 membuat tarif sewa perkantoran tertekan. Di area Central Business District (CBD) Jakarta, rata-rata tarif sewa pada kuartal I-2020 adalah Rp 270.859 per meter persegi atau turun 7 persen dari tahun lalu. Permintaan sewa di gedung yang baru beroperasi juga menurun hampir 10 persen.
Bagus mengatakan, ekonomi yang terhambat selama pandemi memengaruhi okupansi perkantoran. Kegiatan sewa kantor kemungkinan akan dijadwalkan ulang atau bahkan dibatalkan karena ketidakpastian ekonomi dan bisnis.
Rencana pembangunan gedung baru juga kemungkinan terhambat dan harga sewa perkantoran juga tertekan. ”Membutuhkan waktu dua-tiga tahun hingga bisnis perkantoran ini bisa kembali normal,” ujarnya.
Sejak Senin lalu, sebagian karyawan di Jakarta mulai kembali ngantor. Seiring masa transisi menuju normal baru, gedung-gedung perkantoran yang sempat sepi kini mulai terisi lagi. Kegiatan ekonomi dan bisnis mulai bergeliat.
Karyawan pun menantikan aturan baru dari kantor terkait bentuk dan cara kerja di era baru ini. Rezi Bowo (30), pegawai swasta yang tinggal di Jatinegara, Jakarta Timur, biasanya menempuh perjalanan selama dua jam untuk berangkat dan pulang kantor di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan. Begitu ada pandemi, ia tidak perlu ngantor.
Sebagian besar pekerjaannya di bidang keuangan dikerjakan dari rumah. Waktu kerja relatif sama, yaitu pukul 09.00-18.00, tetapi pekerjaan bisa diselingi kegiatan lainnya, seperti memasak dan membereskan rumah. Walau lebih fleksibel, ia mengaku merindukan ngantor. ”Bosan juga kerja di rumah. Kangen suasana kantor,” ujarnya yang masih lanjut WFH hingga batas waktu yang belum ditentukan.
Tantangannya di rumah itu gampang mager (malas gerak). Setiap hari bawaannya ingin istirahat.
Menurut Rezi, bekerja di kantor bisa membangun mood, semangat kerja, dan memudahkan koordinasi dan sosialisasi. Namun, bekerja di kantor itu lebih boros, macet, dan lebih memperbesar kemungkinan terpapar Covid-19.
Sementara kelebihan WFH tak perlu menerobos kemacetan dan bisa lebih fleksibel atur waktu. ”Tantangannya di rumah itu gampang mager (malas gerak). Setiap hari bawaannya ingin istirahat,” ujarnya.
Adi Atmaja (30) menuturkan, kerja dari rumah memberikan fleksibilitas sekaligus tanggung jawab besar. ”Konsekuensinya jam kerja jadi panjang. Update pekerjaan bisa datang kapan pun. Kadang-kadang pekerjaan bisa datang malam hari tak kenal waktu,” katanya.
Tetap butuh kantor
Kevin (24), wiraswasta di bidang desain interior, mengatakan, meski WFH bisa dilakukan, ia tetap butuh kantor untuk bertemu klien, mengawasi kerja anak buah, dan mengecek pembangunan. ”Kalau tidak ada kantor, bagaimana bisa meyakinkan klien? Tidak mungkin klien percaya hanya dengan omongan lewat telepon atau pertemuan virtual menggunakan Zoom,” katanya.
Selama masa PSBB, Kevin menjalani bisnisnya dari rumah. Namun, kegiatan yang bisa dilakukan terbatas menagih pembayaran proyek yang sudah berjalan atau kegiatan administrasi lainnya. Adapun kegiatan pembangunan dan target untuk memperluas pasar terpaksa terhambat.
”Selama tiga bulan terakhir aku hanya menghabiskan uang tabungan. Nanti kalau sudah masuk kerja lagi, seperti mulai dari nol lagi,” ujar pria yang menyewa kantor sekaligus workshop pembangunan di Puri Indah, Jakarta Barat, itu.
Angela mengakui, kebutuhan kantor masih ada, tetapi dengan penyesuaian tertentu. Perusahaan yang biasanya membutuhkan ruang kerja 1.000 meter persegi, misalnya, kini mungkin hanya butuh 500 meter persegi karena sebagaian karyawan tidak ngantor. Permintaan akan ruang kerja fleksibel dengan waktu sewa lebih pendek juga akan meningkat.
Meski ada perubahan tren kebutuhan, keberadaan kantor tetap dibutuhkan masyarakat sebagai ruang interaksi dengan klien dan rekan kerja. Suasana kerja kantor juga membangun efektivitas dan produktivitas. ”Tetapi begitu kembali ke kantor harus diperhatikan keselamatan, kesehatan, dan kenyamanan karyawan untuk bekerja,” ujar Angela.
Pendiri Kumpul dan Presiden Coworking Indonesia, Faye Scarlet Alund, mengatakan, ada kebiasaan bekerja yang dipaksa berubah karena Covid-19. Perubahan ini menjadi kesempatan emas pertumbuhan bisnis ruang kerja bersama (coworking space).
”Meski kerja bisa dilakukan di rumah, ada kebutuhan dasar manusia yang tetap harus dipenuhi, yaitu koneksi. Kita juga butuh ganti suasana, butuh bertemu dengan rekan untuk mentoring, dekat dengan pasar dan komunitas. Ini menjadi berkah untuk coworking space,” kata Faye.
Ia memperkirakan, tempat kerja bersama ini tak akan lagi terpusat hanya di tengah kota. Daerah-daerah suburban juga akan menawarkan ruang kerja bersama untuk memenuhi kebutuhan tempat kerja yang tak terlalu jauh dari rumah, tetapi tetap menawarkan atmosfer profesional dan jaringan komunitas.
Meski diprediksi kebutuhan ruang kerja bersama meningkat, Faye menegaskan bahwa keberhasilan coworking space bukan hanya ditentukan lokasi dan fasilitas yang ditawarkan, seperti internet, meja, dan kursi, tetapi juga koneksi dan program kerja.
Meski kerja bisa dilakukan di rumah, ada kebutuhan dasar manusia yang tetap harus dipenuhi, yaitu koneksi.