Generasi Milenial Jakarta Cenderung Tak Mau Beli Mobil
Generasi milenial mulai enggan membeli dan menggunakan kendaraan roda empat untuk aktivitas sehari-hari. Hal itu sejalan dengan penurunan penjualan mobil di dalam negeri.
Oleh
Kurnia Yunita Rahayu
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Gaya hidup serba efektif dan efisien mendorong generasi milenial atau mereka yang lahir pada periode 1980-1997 di Jakarta semakin menjauhi pembelian mobil. Kepemilikan kendaraan roda empat yang pada generasi sebelumnya menjadi penanda kelas sosial juga dinilai tidak lagi relevan.
Virdika Rizky Utama (26), peneliti lepas asal Jakarta, mengatakan sama sekali tidak berminat untuk membeli mobil. Untuk beraktivitas sehari-hari, ia lebih memilih menggunakan alat transportasi publik.
”Angkutan umum di Jakarta sudah banyak, jauh lebih baik, dan nyaman,” katanya.
Dari tempat tinggalnya di Kalideres, Jakarta Barat, kata Virdika, transportasi publik relatif mudah dijangkau, mulai dari kereta commuter line, bus kota, hingga bus Transjakarta.
Menurut dia, bepergian menggunakan alat transportasi publik juga lebih efektif dan efisien. Ia bisa menghemat waktu perjalanan dan menyimpan energi ketimbang menggunakan kendaraan pribadi, terutama pada jam sibuk di pagi atau sore hari.
Konsekuensi yang harus ditanggung juga minim, berdesak-desakan, misalnya. Namun, itu bukan masalah besar karena jarang terjadi dalam waktu lama dan jarak yang jauh. ”Yang paling penting bisa segera sampai di rumah dan beristirahat,” ujarnya.
Senada, Sherlya Puspita Sari (25), karyawan swasta asal Cilangkap, Jakarta Timur. Menurut dia, pembelian mobil saat ini tidak sebanding dengan biaya operasional yang harus dibayarkan. Selain membeli bahan bakar, biaya juga bertambah dengan durasi perjalanan yang lebih lama ketimbang kendaraan jenis lain. Pengendara mobil cenderung tidak berdaya di tengah kemacetan.
Berbeda dengan Virdika yang memanfaatkan transportasi publik, Sherlya lebih memilih untuk menggunakan sepeda motor. Perjalanan dari Cilangkap menuju Menteng, Jakarta Pusat, kantornya, belum terdukung penuh sistem transportasi publik.
”Perjalanan ke stasiun terdekat dari rumah saya bisa menghabiskan waktu 30 menit, lebih baik saya teruskan perjalanan dengan sepeda motor,” katanya.
Bukan prestise
Sherlya mengatakan, kepemilikan kendaraan roda empat saat ini juga tidak bisa menjadi ukuran keberhasilan seseorang di hadapan publik. Konsensus masyarakat tentang keberadaan mobil sebagai penanda kelas sosial dirasa mulai luntur.
Pembelian mobil saat ini tidak sebanding dengan biaya operasional yang harus dibayarkan. Selain membeli bahan bakar, biaya juga bertambah dengan durasi perjalanan yang lebih lama ketimbang kendaraan jenis lain. Pengendara mobil cenderung tak berdaya di tengah kemacetan.
Sekalipun saat ini ia merasa kondisi finansialnya belum mampu untuk membeli mobil, ia pun tidak memilih membeli kendaraan itu saat situasinya memungkinkan. ”Saya lebih memilih membeli rumah. Kalaupun ada uang, lebih baik untuk investasi,” kata Sherlya.
Virdika menambahkan, bagi generasinya, kemampuan untuk berpesiar baik ke dalam maupun luar negeri lebih membanggakan. Pengalaman bepergian dan membagikannya di media sosial cenderung lebih diinginkan oleh orang seusianya sekalipun secara ekonomi belum tentu mereka sepenuhnya mampu.
”Sehabis berlibur ke mana-mana tetap membanggakan walaupun tiketnya dibeli secara kredit,” katanya berkelakar.
Meskipun sebagian generasi milenial enggan membeli mobil, ada pula yang menganggapnya diperlukan, salah satunya Binar Murgati (26), warga Cibinong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Meskipun baru bekerja sekitar empat tahun, ia berniat membeli mobil untuk bepergian bersama keluarga di akhir pekan.
”Kalau untuk sehari-hari, enggak berminat naik mobil. Berkendara di kemacetan sangat melelahkan,” ujar Binar.
Hal serupa dikatakan Ahmad Susanto (29), warga Kota Bekasi, Jawa Barat. Ia yang sudah berkeluarga dan memiliki bayi membutuhkan mobil untuk keperluan keluarga. ”Jadi, pakai mobil itu situasional saja, biasanya untuk bepergian jauh dengan anak, atau ada keperluan mendadak pada malam hari,” kata Ahmad.
Keengganan generasi milenial untuk membeli mobil tidak hanya terjadi di Jakarta, tetapi juga terjadi secara global. Andrea Dempsey dalam studi berjudul Why are Millennials Buying Fewer Cars? di The Ohio State University, Amerika Serikat (AS), pada 2016, menunjukkan hal serupa.
Dari 259 responden yang diwawancarai Dempsey secara acak, 25 persen atau 64 orang tidak memiliki mobil. Ada dua alasan mereka tidak memiliki kendaraan roda empat, yaitu tidak mampu membeli (42 persen) dan tidak ingin membeli (58 persen).
Meskipun tidak dijelaskan apakah temuan tersebut berhubungan atau tidak, Dempsey mengatakan hal itu terjadi seiring dengan penurunan pembelian mobil oleh generasi milenial. Pada kurun waktu 2007-2014, pembelian mobil oleh generasi milenial AS turun sebesar 30 persen.
Begitu juga di Indonesia. Mengacu data Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), penjualan mobil tipe sedan dan tipe 4x2 (2WD) sepanjang 2019 turun dibandingkan pada tahun sebelumnya. Kedua tipe mobil itu ialah yang paling sering digunakan untuk kegiatan sehari-hari secara pribadi, termasuk generasi milenial.
Pada 2018 penjualan sedan mencapai 6.704 unit. Namun, turun 4 persen pada 2019 menjadi 6.412 unit.
Penurunan lebih besar terjadi pada mobil 2WD. Gaikindo mencatat, penurunan mencapai 12 persen, yaitu dari 634.380 unit pada 2018 menjadi 557.613 unit pada 2019.
”Kecenderungan generasi milenial itu turut memengaruhi penurunan penjualan, tetapi saya rasa persentasenya kecil. Lebih banyak karena pertumbuhan ekonomi yang menurun,” kata Ketua Gaikindo Jongkie D Soegiarto.