Di tengah gemuruh pabrik, galeri itu berdiri. Tersimpan lukisan Nasirun, Budi Ubrux, Lucia Hartini, sampai Bayu Wardhana. Ada pula koleksi batu alami dan ukir kayu. Ohana Gallery namanya, terselip di antara kompleks industri Jatake, Tangerang, menjadi penyejuk kawasan panas tempat orang membanting tulang.
Tak jauh dari Ohana Gallery berdiri pabrik sepatu merek terkenal. Ada pabrik kabel optik dan kompleks industri makanan olahan yang produknya kondang di seantero negeri. Untuk menuju lokasi dari Jakarta, kita dapat keluar dari Pintu Tol Bitung. Dari sana kita akan berkonvoi bersama kendaraan berat. Ada truk trailer pembawa peti kemas, gulungan pelat baja, beton, juga forklift yang berseliweran.
Namun, begitu masuk pintu gerbang galeri, kita akan disambut bunga anggrek, rimbun pohon cengkeh, dan rumah khas Manado dari kayu nangka. Maklum pemiliknya, Telly Liando, asal Manado, susah melepaskan diri dari kenangan masa lalu dengan rumah kayu dan pohon cengkeh.
”Kalau galeri di kota, itu sudah biasa. Di sini semua industri dan gudang-gudang. Saya kerja di sini. Dulu habis kontrol (pabrik), saya langsung pulang karena panas. Dengan galeri ini, saya senang ajak orang, ajak minum kopi, ngobrol, bahkan meeting di sini,” kata Telly.
Pabrik, rumah Manado, dan galeri. Begitu pembagian ruang di kompleks Ohana. Pembagian fungsi sangat jelas. Area mencari rezeki, tempat tinggal, dan ruang penyejuk kehidupan. Ketiganya berada dalam satu kesatuan ruang. ”Ini koleksi pelepas stres,” kata Telly.
Meja kemiskinan
Pabrik, rumah Manado, koleksi yang tersimpan dalam galeri merupakan narasi perjalanan hidup keluarga Telly. Rumah Manado adalah sangkan paraning, kisah awal dan langkah lanjut, yang empunya rumah dari Manado ke Jakarta. Rumah lantai dua itu, dari dinding, lantai, sampai tangga, terbuat dari kayu besi dan kayu cempaka. Tiang-tiangnya dipilih kayu besi yang lebih kokoh. ”Karena saya gila kayu dan batu,” ucapnya.
Ia ingin menjadikan benda seni itu sebagai bagian dari ruang dalam keseharian di tempat ia mencari uang. Di balik benda-benda itu ada kisah jatuh-bangun hidupnya.
”Ini meja kemiskinan,” kata Telly mengajak tamunya duduk mengitari meja dari limbah akar kayu. Ia bercerita tentang masa pertengahan 1990-an ketika ekonomi sedang payah. Usahanya bangkrut. ”Saya merenungi nasib, kenapa saya
bangkrut. Bagaimana caranya hidup dalam kondisi miskin,” kata Telly mengenang. Lalu, ukir kayu menjadi pelipur lara.
Koleksi batu alam diawali tahun 1985 secara tak sengaja saat berjalan-jalan ke Hong Kong. Dari ketidaksengajaan pula, Telly mendapati toko barang antik yang akan tutup usaha di Glodok Plaza, Jakarta. Toko akan menjual semua barang
berupa batu-batu suseki. ”Saya berpikir buat apa beli batu. Pemilik toko bilang beli saja semua. Saya borong semua ha-ha.”
Koleksi batu bertambah seturut perjalanan ke mana ia pergi. Di mata Telly, batu itu menawarkan keindahan yang tiada habisnya dan berubah-ubah setiap kali memandangnya. Keindahan yang tersimpan di balik batu usia ratusan tahun yang menurut dia dapat menghilangkan stres. Betapa di balik tekanan suhu, beban, dan waktu, batu justru tidak mati dalam melahirkan keindahan. ”PR” Telly adalah mengupas keindahan di balik bongkahan batu. ”Memang seperti beli kucing dalam karung. Tapi selalu ada kejutan dan keindahannya selalu tak terduga.”
Di antara bebatuan itu ada patung Jilaihud atau patung Buddha tertawa karya Lik Ji, panggilan untuk seniman Sajiono. Patung terbuat dari batu konglomerat yang merupakan kumpulan aneka unsur bebatuan. Berjenis-jenis batu indah menghuni galerinya, antara lain amethyst atau kecubung, smoky quartz. ”Ini semua harta kekayaan Indonesia sebagai negara kepulauan. Kita bangga dan harus kita apresiasikan ke banyak orang,” kata Stephanie Angela, anak Telly.
Dari batu koleksi melebar ke ukir kayu dari bahan limbah akar pohon atau bonggol. Dulu, suami Telly, almarhum Aming Phang Oesman, membuat mebel untuk ekspor. Telly memanfaatkan limbah kayunya. ”Kalau bekas akar tidak diangkat, tanah tak bisa ditanami. Kami membuatnya supaya lebih bermakna,” kata Telly.
Lukisan bicara
Telly mengoleksi karya berdasarkan apa yang baginya menarik secara visual. Dia mengoleksi lukisan Nasirun, Budi Ubrux, Erika, Wayan Tjahya, Melodia, Pupuk dan Lucia Hartini, Bayu Wardhana, Boyke, Budyana, Budi Susilo, Maman Rahman, Julikodo, dan Riyanto. ”Saya pakai hati saja, saya suka yang senang-senang. Tergantung mood,” kata Telly.
Stephanie memandang koleksi dengan perspektif berbeda. Setidaknya ia suka ”berwacana” pada setiap karya untuk memberi makna versi pribadinya. Dan, itu menambah warna koleksi Ohana. Misalnya karya instalasi ”Gerobak Nasi Bungkus” karya Budi Ubrux. ”Dulu rakyat kecil punya suara. Mereka bisa duduk dalam suasana egaliter ngomong apa saja. Sekarang, segalanya terbungkus agenda politik,” kata Stephanie memaknai karya Budi Ubrux yang berupa gerobak berbalut koran, bermuatan bungkusan dari kertas koran.
Koleksi lukisan, juga batu, dan ukir kayu itu semula semata karena kesenangan. Belakangan Stephanie merasa menemukan ”mainan” ibunya itu sebagai harta karun. Mereka ingin berbagi keindahan, nilai-nilai, dan cerita-cerita di balik koleksi itu lewat galeri.