Properti Gunung Sindur Mulai Menggeliat
Sekitar sepuluh tahun lalu, kawasan Gunung Sindur tidak banyak dilirik oleh para pengembang perumahan. Kawasan Kabupaten Bogor, Jawa Barat, yang berbatasan langsung dengan Kota Tangerang Selatan, Banten, itu lebih banyak diisi oleh perkampungan dan beberapa perumahan kecil.
Sekitar sepuluh tahun lalu, kawasan Gunung Sindur tidak banyak dilirik oleh para pengembang perumahan. Kawasan Kabupaten Bogor, Jawa Barat, yang berbatasan langsung dengan Kota Tangerang Selatan, Banten, itu lebih banyak diisi oleh perkampungan dan beberapa perumahan kecil.
Kini, seiring dengan pertambahan jumlah penduduk, kawasan Gunung Sindur berkembang dan mulai dipenuhi perumahan, tempat perdagangan, dan pergudangan. Kedekatannya dengan kawasan Bumi Serpong Damai (BSD) yang sudah jauh lebih dulu berkembang dan diperbaikinya beberapa ruas jalan turut mempercepat perkembangan properti di kawasan tersebut.
Terdapat dua perumahan berskala besar di kawasan itu, yaitu Serpong Natura City dengan luas sekitar 210 hektar dan Bukit Dago dengan luas sekitar 100 hektar. Selain itu, terdapat juga sekitar 30 perumahan dengan berbagai skala yang tumbuh di Gunung Sindur.
Tidak semua perumahan berada di tepi jalan besar. Sebagian perumahan berskala kecil atau menengah justru agak masuk ke dalam jalan lingkungan.
Sejumlah pengembang di kawasan itu memasang kedekatan dengan berbagai fasilitas yang ada di BSD sebagai sarana penarik pembeli. Selain fasilitas belanja, rumah sakit, dan sekolah, akses jalan tol dan stasiun kereta api yang berjarak 5 kilometer sampai 10 kilometer juga menjadi iming-iming bagi pembeli.
”Kedekatan dengan fasilitas-fasilitas berskala kota sangat penting untuk menjadi bahan pemasaran. Tentu, kami tidak mungkin membangunnya sendiri. Kami hanya dapat menyediakan fasilitas ibadah, taman, dan area olahraga,” kata Agus Priyono, pengembang di kawasan Gunung Sindur.
Kedekatan dengan fasilitas-fasilitas berskala kota sangat penting untuk menjadi bahan pemasaran.
Pengamat Perkotaan Universitas Tri Sakti, Yayat Supriyatna, menyebut tingginya permintaan akan perumahan membuat kawasan-kawasan yang dulu masih kosong juga dilirik oleh pengembang. Banyak pengembang mendekatkan lokasi proyeknya ke kawasan yang lebih dahulu tumbuh dan berkembang.
”Para pengembang besar lebih menyukai mengembangkan perumahan di dekat kawasan yang lebih dulu tumbuh agar mereka tidak perlu membangun fasilitas sosial dan utilitas yang baru, seperti jalan, listrik, telepon, internet, dan air. Misalnya, banyak pengembang senang berada di dekat BSD karena semua sudah tersedia,” kata Yayat.
Para pembeli rumah juga memilih kawasan Gunung Sindur karena kedekatan akses dengan berbagai fasilitas dan akses transportasi di BSD. Mereka tidak menuntut banyak fasilitas di dalam perumahan karena dinilai akan memengaruhi harga jual.
Harga jual di beberapa perumahan di kawasan Gunung Sindur sangat bervariasi, tergantung luas tanah dan bentuk bangunan, serta fasilitas yang tersedia. Rentang harga Rp 400 juta sampai Rp 650 juta tersedia untuk rumah dengan tanah kurang dari 80 meter persegi dengan fasilitas sosial berupa tempat ibadah dan taman.
Akses jalan tol dan stasiun kereta yang tidak terlalu jauh juga menjadi pertimbangan utama.
Pada perumahan berskala besar yang menjanjikan beberapa fasilitas yang eksklusif, harga rumah dengan luasan yang sama sudah lebih dari Rp 1,2 miliar per unit.
”Saya memilih rumah dengan harga di bawah Rp 600 juta. Fasilitas yang terbatas di dalam perumahan tidak menjadi masalah karena ada fasilitas di sekitar wilayah BSD yang masih terjangkau. Akses jalan tol dan stasiun kereta yang tidak terlalu jauh juga menjadi pertimbangan utama saya,” kata Andre, warga di salah satu perumahan di Gunung Sindur.
Ketua Dewan Pimpinan Daerah Realestat Indonesia Jawa Barat Joko Suranto mengemukakan, pengembangan properti perlu memperhitungkan infrastruktur.
Tren pengembangan kawasan baru yang menempel ke kawasan yang sudah mapan bertujuan untuk kedekatan akses ekonomi, sosial, dan pendidikan. Penghuni juga akan lebih nyaman karena ada akses dengan tempat bekerja dan berusaha. Kawasan baru tersebut pada akhirnya tumbuh menjadi kota penyangga.
”Faktor ekonomi yang berbicara. Minimal ada akses ekonomi, sosial, dan pendidikan sehingga walau lokasi hunian lebih jauh, (penghuni) tidak merasa terasingkan,” katanya.
Pengembangan kawasan properti di Gunung Sindur dinilai timbul seiring animo masyarakat dan daya tarik kawasan Serpong yang sudah tumbuh lebih dulu. Hal itu menciptakan simbiosis mutualisme karena kawasan baru itu akan tumbuh menjadi kota penyangga dan pertumbuhan kawasan di sekitarnya sebagai bagian tak terpisahkan. Peluang investasi baru kian terbuka.
Di sisi lain, patut diantisipasi beban baru kawasan dengan penambahan beban dari aspek infrastruktur. Dibutuhkan rencana tata ruang wilayah yang tepat dan pengendalian agar kota pendukung bisa tumbuh lebih mandiri dan tidak membebani fasilitas kota pendahulu. ”Jangan sampai kota penyangga justru membebani kawasan pendahulu,” katanya.
Dukungan fasilitas
Menurut Yayat Supriyatna, para pengembang di Gunung Sindur, terutama pengembang besar, perlu membangun fasilitas berskala wilayah, seperti sekolah, rumah sakit, pasar, dan pusat perdagangan. Dengan demikian, Gunung Sindur akan berkembang sebagai kawasan yang lebih maju dan mandiri. Tanpa tambahan fasilitas-fasilitas itu, Gunung Sindur hanya akan menjadi kawasan penyangga yang dipenuhi perumahan, tetapi warganya bergerak ke kawasan lain jika ingin beraktivitas.
Sampai saat ini, di Gunung Sindur, hanya Serpong Natura City yang menjanjikan fasilitas berskala wilayah, seperti pasar, rumah sakit, dan sekolah bertaraf internasional. Pengembang lain hanya mengalokasikan area perdagangan berskala kawasan.
”Pembagian zona untuk fasilitas-fasilitas berskala wilayah juga perlu diperhatikan agar dapat diakses oleh warga di luar perumahan mereka. Jika zona untuk fasilitas-fasilitas itu berada di wilayah yang privat dan sulit diakses warga di luar perumahan, percuma fasilitas itu dibangun,” kata Yayat. (LKT)