Tetirah di Pondok Bambu Puput
Keterbatasan dana dan rasa cinta akan alam dapat berkolaborasi menjadi sebuah karya seni berwujud rumah unik. Sebuah kompleks bangunan rumah di tepi Situ Citayam, Depok, yang sebagian besar materialnya didominasi bambu menjadi bukti kolaborasi yang indah....
Ahmad Safrudin, akrab dipanggil Puput, pegiat lembaga swadaya masyarakat berbasis lingkungan, menjadi pemilik dan perancang kompleks dengan lima bangunan dari bambu itu. Puput merancang rumahnya secara detail, mulai dari pemilihan lokasi, akses transportasi massal, bentuk bangunan, sampai material yang akan digunakan.
"Semua berawal pada tahun 2000. Saya dan istri bosan dengan keramaian di Jakarta dan mencari rumah di pinggiran kota yang tenang, tetapi dekat dengan stasiun kereta rel listrik agar lebih mudah bepergian. Saya mencari tanah kosong yang murah dan udaranya sejuk di sekitar stasiun. Setelah menelusuri tujuh stasiun, akhirnya saya menemukan tanah di tepi Situ Citayam," kata Puput.
Awalnya, Puput membeli tanah seluas 318 meter persegi dengan harga Rp 30.000 per meter. Puput yang saat itu kondisi ekonominya pas-pasan memutar otak agar dapat membangun rumah yang sesuai keinginannya, tetapi berharga murah.
Setelah membaca banyak majalah tentang rumah tropis, ia memutuskan membangun rumah dari bambu. Selain jauh lebih murah, rumah bambu juga ramah lingkungan.
"Biayanya hanya sepertiga dari rumah beton. Bambu juga cepat tumbuh dan ada banyak di sekitar wilayah ini. Di sisi lain, dengan tidak menggunakan banyak beton dan batu bata, kami turut mengurangi kerusakan alam yang disebabkan oleh industri bahan bangunan," kata Puput.
Pada tahap awal, Puput membangun tiga bangunan, yaitu bangunan utama sebagai ruang keluarga, bangunan dapur, dan bangunan untuk shalat. Ruang keluarga dibangun dengan model rumah panggung, dengan fondasi cakar ayam dari beton.
Bambu betung berukuran besar digunakan sebagai tiang-tiang utama penyangga rumah. Bambu betung itu ditanam di fondasi beton dan antarbambu besar disambung dengan bambu andong ukuran sedang. Ikatan antarbambu menggunakan tali rotan dan bambu.
Untuk dinding bagian bawah, Puput menggunakan anyaman bambu atau dalam bahasa Jawa biasa disebut gedhek. Untuk dinding bagian atas, ia menggunakan bambu apus atau bambu tali dan dibentuk kotak-kotak sebagai jendela.
Jendela itu ditutup dengan lapisan polikarbonat transparan agar cahaya matahari menembus semua ruangan. Ikatan antarbambu tak terlalu rapat sehingga udara dapat mengalir dari berbagai arah dan membuat ruangan menjadi sejuk.
Penahan rembesan hujan
Bangunan itu dibuat menjadi dua lantai. Lantai atas digunakan kamar utama. Anak tangga dan lantai juga terbuat dari bambu. Saat naik ke lantai dua, lantai sedikit bergoyang karena bambunya agak lentur.
Bagian atapnya menggunakan atap sirap dan ijuk sehingga tidak terlalu panas pada siang hari, sebaliknya tidak dingin pada malam hari.
Ruangan yang tidak bisa tertutup rapat membuat nyamuk dapat masuk pada malam hari. Oleh karena itu, Puput memasang kelambu pada setiap tempat tidur. Tiang-tiang kelambu terbuat dari bambu, tentunya.
Bangunan untuk ruang shalat dan ruang bercengkerama juga dibangun seperti bangunan untuk ruang keluarga, tetapi hanya satu lantai. Di bangunan berukuran 4 x 4 meter itu Puput dan keluarga biasa bersembahyang dan bercengkerama sambil memandang ke arah Situ Citayam.
Bangunan dapur semula dirancang dengan bambu. Namun, banyaknya aktivitas menggunakan air membuatnya mudah rusak sehingga diganti dengan beton sampai dinding bagian bawah. Namun, dinding bagian atas tetap menggunakan bambu yang dibentuk menjadi jendela berbentuk kotak-kotak.
Untuk mengatasi masuknya air hujan ke dalam bangunan, Puput menanam daun sirih dan timun Jepang yang merambat untuk menahan air.
"Di sini, sering turun hujan deras disertai angin sehingga air seperti meluncur secara horizontal. Tanaman merambat itu sangat efektif menahan air hujan," kata Puput.
Tambah bangunan
Pada tahun 2005, tetangga Puput menjual tanah yang persis berbatasan dengan miliknya. Puput membeli lagi tanah seluas 290 meter persegi seharga Rp 90.000 per meter. Di tanah itu, Puput membangun dua bangunan lagi, bangunan untuk anak- anak dan gudang.
Bangunan untuk anak-anak dengan dua lantai menggunakan struktur tiang dari beton. Penggunaan beton dimaksudkan agar bangunan lebih kuat karena anak-anak Puput saat itu suka sekali melompat-lompat di lantai dua.
Di lantai satu bangunan itu terdapat dua kamar untuk tamu, lemari-lemari buku, dan meja belajar. Dindingnya dari bambu seperti ruang keluarga. Lantainya menggunakan kayu kelapa yang dihaluskan dan dicat.
Kayu kelapa juga digunakan untuk lantai di anak tangga. Di lantai dua, kuda-kuda atap menggunakan bambu dan dindingnya juga dibuat dari bambu.
Sebuah jaring besar dibentangkan untuk menutupi ventilasi yang besar karena bagian bawah atap sering dijadikan tempat kelelawar bersarang. Rumah itu juga dilengkapi dengan penangkal petir agar listrik dari petir tidak merusak pesawat telepon kabel dan router Wi-Fi.
Sebagai pelengkap, Puput menyediakan tiga kolam ikan di halamannya yang tertata dengan baik. Halamannya cukup luas dan banyak pepohonan yang membuat rumahnya selalu sejuk.
Dari lantai satu atau lantai dua, pemandangan Situ Citayam yang masih cukup terjaga keindahan dan kebersihannya dapat dilihat dengan jelas. Jika ingin memancing, Puput dan keluarganya tinggal keluar pagar dan dapat langsung melempar umpan dari jorannya.
"Di rumah ini, saya bisa melarikan diri dari keramaian Jakarta setiap hari," kata Puput.
Di rumah bambunya, Puput dan keluarga seperti bertetirah setiap hari, tanpa perlu terlalu jauh dari Jakarta.