Ahda Imran Yakin Pulang
Rumah, bagi seorang sastrawan Ahda Imran (51) yang suka berkelana, memberikan keyakinan bisa dan akan selalu bisa untuk pulang walau sedang berada di ujung dunia sekalipun. Rumah, bagi Ahda, menenteramkan hati ketika disinggahi, menenteramkan jiwa walau sekadar menjadi pengisi ruang imajinasi ketika berada jauh darinya.
Saya kadang merasa tersiksa ketika bawah sadar ingin pergi, tetapi ketika pergi seketika itu pula ingin pulang. Walaupun saya tahu ketika di rumah, saya ingin pergi lagi," kata Ahda, Selasa (13/6/2017), di rumahnya, di Cilame, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat.
Rumahnya memiliki suasana perkampungan dengan udara yang sejuk. Rumahnya di atas tanah seluas 108 meter persegi. Ahda mengaku betah tinggal di rumah paling lama hanya dua minggu. Setelah itu, ia selalu ingin pergi.
Ahda selalu ingin pergi dan singgah beberapa hari di luar kota walau sekadar untuk menemui rekan sejawat. Atau pergi untuk berbagai kegiatan yang terkait dengan sastra. Bisa juga pergi untuk suatu tujuan penulisan.
Di rumah Ahda ada satu bilik kamar di lantai dua. Bilik kamar inilah yang menjadi ruang kerja Ahda untuk menulis. Sepotong anak tangga dari bawah sering menjadi ruang rehatnya untuk menyeruput secangkir kopi sambil duduk memandangi istrinya, Sri Wahyuni Jatmiko (52), yang bekerja menjahit.
"Saya dan istri sering sama-sama bekerja sampai larut malam. Saya menulis, diiringi irama mengayuh pedal mesin jahit oleh istri saya," kata Ahda.
Roman biografi
Ahda dilahirkan di Kanagarian Baruhgunung, Kabupaten 50 Kota, di Sumatera Barat. Pada usia tiga tahun dibawa orangtuanya untuk merantau ke Cimahi, Bandung.
Ahda termasuk penulis sastra yang produktif. Puisi-puisinya dituangkan di sejumlah buku kumpulan puisi, antara lain Tangan Besi (1998), Graffiti Gratitude (2001), Kitab Puisi Horison Sastra Indonesia (2002), Nafas Gunung (2003), Festival Mei (2006), dan Tangue in Your Ear (2007).
Puisi-puisinya sendiri pernah dibukukan, di antaranya puisi-puisi yang dibuat antara 2008-2013 dibukukan sebagai antologi Rusa Berbulu Merah (2014). Sebelumnya, Ahda menerbitkan dua buku antologi atau kumpulan puisinya sendiri, yaitu buku Penunggang Kuda Negeri Malam (2008) dan Dunia Perkawinan (1999).
Naskah drama juga digarap Ahda, antara lain Monolog 3 Perempuan, yang ditulis bersama dengan Gunawan Maryanto dan Djenar Maesa Ayu. Ahda juga pernah menulis naskah monolog Inggit Garnasih pada 2013, kemudian diperankan Happy Salma dan disutradarai Wawan Sofwan.
Selama melahirkan karya-karya sastra itu, Ahda mengandalkan relasi psikologisnya dengan ruang. Ini yang menuntut Ahda untuk selalu pergi dari rumah mengejar ruang-ruang untuk mengerem daya khayali atau justru ingin memperkaya daya khayalinya tentang ruang.
"Karya sastra terakhir yang masih saya kerjakan sekarang berupa novel roman biografi. Ini roman dengan sosok perempuan penggemar seni dan art dealer Indonesia yang cukup lama pernah menetap di Paris, Perancis," kata Ahda.
Penulisan novel roman biografi itu menuntut Ahda untuk menjejakkan kaki dan hidup beberapa lama di Paris. Sepanjang tahun 2016, dua kali Ahda harus pergi ke Paris. Pertama, ia datang di musim panas selama beberapa minggu. Ia meriset salah satu galeri, yakni Lansberg Gallery di Paris, yang menjadi latar penting obyek novelnya.
Kedatangannya kedua di Paris, pada musim gugur 2016 selama dua bulan lamanya. Ahda mengunjungi dan meriset beberapa lokasi di Paris, antara lain Belleville, Bibliotheque, dan Tarbes di Perancis Selatan. Lokasi-lokasi itu terkait dengan novelnya. "Seperti itulah ketika saya mengerjakan sebuah karya sastra. Tidak bisa selamanya saya berada di rumah untuk menuntaskan sebuah karya," kata Ahda.
Ahda pun bercerita. Suatu ketika dalam sebuah percakapan antara istrinya dengan kedua anaknya, Mita Septi (30) dan Meditasi Samudra (21), menyebut dirinya orang yang kos di rumah itu. Itu karena saking seringnya Ahda pergi meninggalkan rumah.
Pajangan dinding
Ahda menghuni rumah itu sejak 1997. Sebuah kursi panjang terbuat dari bambu ada di teras kecil di depan. Seperangkat kursi ada di ruang tamu. Di antara bidang-bidang dinding terpampang pajangan dinding yang menarik.
Di ruang tamu, Ahda memajang sebuah litografi yang menggambarkan kota Budapest, ibu kota negara Hongaria. Litografi itu ia peroleh dari seorang pengarang novel dari Budapest pada 2010.
Di sebelah litografi itu dipajang sketsa wajah Ahda yang dibuat rekannya, pelukis Totok WS, pada 2005. Di bidang dinding lainnya, masih di ruang tamu itu terdapat lukisan karya pelukis Tisna Sanjaya.
Lukisan Tisna berangka tahun 2010. Ada tulisan "No War" di bagian atasnya. Tisna melukiskan suasana mencekam. Ada pasukan yang menodongkan sepucuk senapan.
Sketsa Tisna berjudul "Pesta Pencuri" juga terpampang di situ. Sketsa itu dibuat antara tahun 1997-1998. Sebuah lukisan pensil karya anak kedua Ahda, "Meditasi Samudra", juga dipampang di dinding ruang tamu.
Tidak kalah menariknya, pajangan dinding di ruang kerja Ahda di lantai dua. Selepas anak tangga terakhir, di dinding kiri terpampang sebuah pigura kosong yang tembus ke dinding. Tetapi, di tengahnya dilekatkan sebuah patung Buddha kecil ke dinding itu. "Patung Buddha ini yang paling saya sukai," kata Ahda.
Ada lagi pajangan berupa gambar wajah Tan Malaka. Sosok Tan Malaka rupanya banyak memberi inspirasi karya-karya sastra Ahda. "Tan Malaka memiliki mata rusa yang harus selalu waspada. Itu karena selama hidupnya, Tan Malaka menjadi buruan berbagai pihak yang terusik dengan tulisan-tulisan ideologisnya," kata Ahda.
Sosok Tan Malaka rupanya banyak memberi inspirasi karya-karya sastra Ahda.
Puisi-puisi Ahda yang terinspirasi Tan Malaka antara lain dituangkan ke dalam buku antologinya, Rusa Berbulu Merah, antara lain puisi "Sajak Tan Malaka Kepada Harry A Poeze" (2012).
Di ruang kerja itu, Ahda meletakkan komputer jinjing atau laptopnya di suatu meja. Di belakang laptop, Ahda memajang cermin besar. Cermin itu bukan untuk mematut diri atau berdandan. "Saya merasa mendapatkan teman, ketika melihat wajah saya sendiri di cermin," kata Ahda.
Ahda selalu tahu arah kemauannya di rumahnya sendiri. Seperti ia tahu perjalanan hidupnya di mana pun yang akan selalu pulang dan pulang ke rumah itu.
Bercengkerama dengan cucu."