Penulis Okky Madasari (32) menjadikan rumahnya tak sekadar sarang tinggal. Rumah yang dijuluki sebagai ”Rumah Muara” ini sekaligus menjadi wadah pengenalan sastra sejak dini. Pagi di rumah di Jalan Muara, Kawasan Tanjung Barat, Jakarta Selatan, ini selalu dihuni celoteh anak-anak yang menghidupkan bangunan mungil di sudut rumah yang disulap menjadi taman kanak-kanak.
TK ini kontras dengan rumah utama yang sunyi. Jika rumah hanya dihuni Okky; suaminya, Abdul Khalik (39); dan anak semata wayangnya, Mata Diraya (2), TK riuh oleh lebih dari 30 anak dengan nyanyian dan teriakan riang. Bergandengan tangan membentuk lingkaran kecil, anak-anak ini menyanyi, lalu bermain petak umpet di samping dinding sekolah bergambar mural wajah sastrawan pada Kamis (16/2/2017) pagi.
Ruang makan berdekatan dengan kolam renang mini.”Passion saya di bidang kebudayaan dan pendidikan. Ini laboratorium saya untuk menyebarkan nilai kesusastraan sejak kecil. Saya mendesain sendiri. Bisa sebar nilai tentang kebebasan dan kemanusiaan,” kata Okky, peraih termuda Anugerah Khatulistiwa Literary Award 2012 untuk novelnya berjudul Maryam.
Di tembok itu, tertuang mural wajah sastrawan Pramoedya Ananta Toer, Wiji Thukul, Kartini, Chairil Anwar, dan Rendra. ”Lima tokoh ini menginspirasi saya sebagai novelis. Karya-karya mereka bisa menangkap persoalan zaman dan menyuarakannya. Mereka yakin sastra harus memperjuangkan keadilan dan nilai kemanusiaan,” katanya.
Selain Maryam yang berkisah tentang mereka yang terusir karena iman, novel lain karya Okky juga meraih lima besar di ajang Khatulistiwa Literary Award. Mendirikan Asean Literary Festival dan Yayasan Muara, ia juga menjadi produser eksekutif untuk film Istirahatlah Kata-kata yang berkisah seputar kehidupan penyair Wiji Thukul. Okky juga sedang menyiapkan film Dua Pengantin berdasarkan cerita pendek karyanya yang pernah dimuat harian Kompas.
Okky mengidolakan Kartini sebagai penggugah kesadaran kesetaraan perempuan, Chairil Anwar yang membangun fondasi kokoh terhadap bahasa Indonesia, dan Pramoedya yang selalu menciptakan inspirasi. ”Apalagi ketika saya membaca lebih jauh karya nonfiksi Pram. Bagaimana memosisikan karya sastra di tengah masyarakat. Dan itu sangat membentuk keyakinan dan sikap saya sebagai penulis. Setiap tulisan dan karya harus didedikasikan menyuarakan persoalan dalam masyarakat,” kata Okky.
Cinta kepada hidup
Tak hanya lewat mural, kecintaan pada karya Rendra diwujudkan dengan menorehkan puisinya di dinding sekolah: ”kesadaran adalah matahari. Kesabaran adalah bumi. Keberanian menjadi cakrawala dan perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata....” Penggalan puisi lain karya Rendra bertajuk ”Sajak Seorang Tua kepada Istrinya” dipinjam sebagai hiasan undangan pernikahan ketika Okky menikah pada 2008.
”Kita tersenyum bukanlah kerna bersandiwara. Bukan kerna senyuman adalah suatu kedok. Tetapi, kerna senyuman adalah suatu sikap. Sikap kita untuk Tuhan, manusia sesama, nasib, dan kehidupan....” ”Puisi ini tidak hanya menjual romantisisme suami istri, tetapi juga melihat cinta dalam definisi luas. Cinta kepada hidup,” ujar Okky.
Cinta kepada hidup pula yang kemudian dituangkan Okky pada karya novelnya. Sempat menjadi jurnalis media cetak, ia memutuskan menjadi penulis novel penuh waktu sejak 2009. ”Sudah menemukan mau menulis apa. Menjadi penulis ada momentum. Momentum saya ketika mengerucut menulis Entrok terinspirasi kisah hidup nenek saya,” ujarnya
Entrok berkisah tentang Marni, perempuan Jawa buta huruf yang masih memuja leluhur. Isu- isu sosial—dan terkadang kontroversi—sering kali menginspirasi Okky ketika mencipta karya. Novel kelima sekaligus karya terbarunya, Kerumunan Terakhir, berkisah tentang kegagapan manusia di tengah zaman yang berubah cepat, yang tak memberi kesempatan setiap orang untuk diam dan mengenang, berhenti dan kembali ke belakang. ”Novelku realis. Banyak menggunakan fakta, tetap bercampur imajinasi. Karya bagi aku benar-benar pernyataan sikap atas pemikiran atas gagasan.... Sastra bukan pengantar tidur, harus mengusik kegelisahan,” ujarnya.
Sudut menulis
Menulis pula yang kini mengisi hari-hari Okky. Setiap sudut di rumah yang mulai ditempati sejak 2010 ini didedikasikan untuk sastra.
Tak hanya berfungsi sebagai TK, bangunan terpisah di sudut rumah sering kali difungsikan sebagai tempat berkegiatan sejumlah komunitas dan Yayasan Muara. Seperti ketika menggelar Asean Literary Festival. Di lantai dua bangunan TK, Okky membangun instalasi hidroponik dengan aneka sayuran segar.
Beberapa penulis dari luar negeri sering kali juga menginap di bangunan tiga lantai yang menyatu dengan rumah utama, tetapi memiliki jalan masuk sendiri lewat tangga di atas kolam ikan. Okky menyediakan dua kamar untuk tamu-tamu yang biasanya datang untuk kegiatan, seperti Sastra Masuk Kampung, dan sebagian tamu lainnya biasanya akan menginap di rumah- rumah warga di Kampung Muara.
Karena banyak kegiatan kesusastraan yang digelar dengan melibatkan masyarakat, teras yang lebih tinggi dari halaman muka bisa dialihfungsikan menjadi panggung pertunjukan. Bangunan rumah yang tinggi membuat lahan seluas 355 meter persegi yang dulunya dimiliki turun-temurun oleh keluarga Betawi ini menjadi terasa lebih luas.
Memasuki bangunan rumah, tak ada ruang tamu ataupun ruang keluarga. Ruang utama dibuat lega dengan rak-rak buku sebagai hiasan utama di dindingnya. Kursi-kursi model jengki yang empuk mudah digeser untuk digantikan tikar ketika pertunjukan sastra digelar. Ruangan ini semakin berseni dengan hiasan karya lukisan seperti karya Jeihan atau pelukis muda dari Padang.
Di samping ruang utama, Okky menyisipkan meja kerja dan menjadikannya sebagai sudut menulis. Namun kenyataannya, ia justru lebih gemar menulis di sudut kamar di lantai dua rumahnya. Sembari menunggui putrinya tidur dan menanti suami pulang kantor, ia menghabiskan hampir semua waktunya menulis di komputer jinjing sembari memandang pepohonan dari jendela kamar.