Jelang senja, suara gemuruh dari mesin speedboat terdengar di kejauhan memecah keheningan di dermaga Otakwa, Distrik Mimika Timur Jauh, Kabupaten Mimika, Papua, awal Maret tahun lalu. Tak lama kemudian, dari kejauhan sebuah perahu berwarna biru yang sarat penumpang bersandar di pelabuhan kampung itu. Beberapa perempuan penumpang perahu bergegas melompat dengan membawa tumpukan kepiting bakau Papua yang telah dibungkus daun bakau. Kepiting ini dikenal dengan sebutan karaka.
Beberapa karaka yang dibawa tadi dijual atau ditukarkan dengan makanan dan kebutuhan pokok sebagai bekal separuh perjalanan menuju kampung mereka. Masyarakat asli Papua terbiasa dengan berburu untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Mereka mengambil dari alam. Begitu juga para keluarga pencari karaka ini. Dengan menumpang perahu, mereka meninggalkan kampung selama berhari-hari menuju hutan-hutan bakau yang menjadi habitat karaka.
Sebagian besar atau bahkan hampir semua pencari karaka ini berasal dari suku Kamoro. Karaka hasil tangkapan warga dijual ke pengepul dengan harga yang bervariasi. Menurut keterangan dari La Siu, salah seorang pengepul di Desa Manasari, Distrik Mimika Timur Jauh, karaka setoran dari para warga dibelinya dengan harga mulai dari Rp 10.000 hingga Rp 80.000 per ekor tergantung ukuran. Karaka setelah dikumpulkan pengepul di kampung secara periodik disetor ke pengepul yang lebih besar di Kota Timika untuk selanjutnya diterbangkan ke Jakarta dalam kondisi hidup sehingga masih segar ketika akan dimasak. Kepiting Papua sangat digemari para pencinta kuliner di Tanah Air serta menjadi menu andalan di restoran-restoran di kota besar, seperti Jakarta.
