Menanti Lahirnya Kabinet ”Zaken”
Pilihan untuk membentuk kabinet ”zaken” merupakan pilihan terbaik untuk menghadapi kompleksitas tantangan ke depan.
Pascaputusan Mahkamah Konstitusi atau MK yang menolak gugatan pasangan calon presiden-calon wakil presiden nomor urut 1 dan 3, perhatian publik mulai tertuju pada kabinet seperti apa yang akan dibentuk oleh pasangan terpilih, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.
Hal itu mengingat jumlah partai politik pendukung pasangan tersebut sebanyak sembilan partai, yakni empat partai yang lolos parlemen dan lima partai tidak lolos parlemen. Kemungkinan, masih akan ditambah lagi dengan 3-4 partai pendukung pasangan nomor urut 1 dan 3 yang akan bergabung.
Jadi, total bisa berjumlah 12-13 partai. Besarnya jumlah partai yang mendukung Prabowo-Gibran tentu akan berdampak pada pembagian sejumlah kursi menteri pada kabinet yang tengah disusun. Bisa dipastikan sebagian besar kursi menteri akan dialokasikan kepada partai pengusung, khususnya partai yang memiliki kursi di parlemen.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara, jumlah kementerian maksimal 34 kementerian. Mulai dari Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) di bawah pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-M Jusuf Kalla hingga Kabinet Indonesia Maju (KIM) di bawah pemerintahan Joko Widodo-Ma’ruf Amin, jumlah anggota kabinet konsisten sebanyak 34 menteri.
Sudah saatnya penyusunan kabinet menggunakan konsep kabinet ’zaken’ atau kabinet yang jajaran menterinya berasal dari kalangan ahli atau profesional di bidangnya dan bukan representasi partai politik tertentu.
Merujuk pada informasi di atas, jika partai pengusung dan pendukung pemerintahan Prabowo-Gibran berjumlah 13 partai, dan asumsinya tiap partai mendapat dua kursi menteri, jumlah menteri yang berasal dari unsur partai akan berjumlah 26 orang dari total 34 kementerian atau 76 persen.
Dengan kata lain, unsur partai akan menjadi sangat dominan dalam kabinet baru nantinya. Besarnya jumlah menteri yang berasal dari unsur partai ini dikhawatirkan akan berdampak pada kinerja kabinet. Gerbong partai akan jadi beban tersendiri bagi pemerintahan baru.
Berkaca pada pengalaman Presiden SBY dalam menyusun KIB jilid I ataupun II, komposisi kabinetnya terdiri dari 16 menteri dari partai dan 20 menteri dari unsur profesional yang tidak terafiliasi dengan partai. Total waktu itu ada 34 kementerian/menteri negara dan dua jabatan setingkat menteri, yakni Jaksa Agung dan Sekretaris Kabinet.
Begitu pula dengan pemerintahan Presiden Jokowi jilid I dan II. Jokowi mempertahankan struktur kabinet yang terdiri dari 16 hingga 17 menteri yang berasal dari partai dan 18 menteri lain dari kalangan profesional nonpartai.
Sayangnya, dari rekam jejak, jumlah menteri yang berasal dari unsur partai politik yang terkena kasus korupsi pada kabinet SBY dan Jokowi jilid I dan II cukup signifikan.
Tercatat, lima menteri terjerat kasus korupsi selama sepuluh tahun pemerintahan SBY, mulai dari Bahctiar Chamsyah, Siti Fadilah Supari, Andi Alfian Mallarangeng, Jero Wacik, hingga Suryadharma Ali. Pada pemerintahan Jokowi jilid I dan II terdapat enam menteri yang terkena kasus korupsi, antara lain Juliari Batubara, Edhy Prabowo, Imam Nahrawi, Idrus Marham, serta masih dalam proses persidangan, Johnny G Plate dan Syahrul Yasin Limpo.
Dalam menyusun kabinetnya, Prabowo-Gibran harus belajar dari pengalaman dua rezim yang berkuasa selama dua dekade sebelumnya, bahwa dari semua kasus korupsi yang menjerat para menteri, hampir semuanya melibatkan menteri dari unsur partai.
Sudah saatnya penyusunan kabinet menggunakan konsep kabinet zaken atau kabinet yang jajaran menterinya berasal dari kalangan ahli atau profesional di bidangnya dan bukan representasi partai politik tertentu. Porsi menteri yang berasal dari unsur partai politik bisa diminimalkan. Dengan demikian, performa menteri yang ditunjuk bisa all out tanpa beban atau target tertentu dari partai pengusulnya.
Baca juga: Prabowo Ajak Semua Elite Tinggalkan Perbedaan
Kabinet ”zaken”
Konsep kabinet zaken bukan hal baru dalam dunia politik di Indonesia. Pertama kali muncul pada 1955 sebagai respons terhadap ketidakstabilan politik pascapemilu, saat kabinet-kabinet bergantung pada koalisi yang melibatkan banyak partai.
Pada periode itu, kabinet zaken merupakan kabinet ekstraparlementer yang dibentuk berdasarkan keahlian atau kecakapan dari menteri yang ditunjuk, yang berasal dari kalangan profesional dan bukan representasi dari partai politik tertentu.
Dalam sejarah pemerintahan di Indonesia, pernah terdapat tiga contoh kabinet zaken yang pernah terbentuk.
Kabinet Djuanda (9 April 1957-10 Juli 1959) adalah kabinet zaken pertama dan dipimpin oleh Djuanda Kartawidjaja sebagai ketua. Kemudian dilanjutkan oleh Kabinet Natsir (6 September 1950-21 Maret 1951) dan Kabinet Wilopo (3 April 1952-3 Juni 1953). Kabinet Djuanda, walau berusia singkat, berhasil menetapkan lebar wilayah Indonesia menjadi hingga 12 mil dari garis pantai terluar.
Kompleksnya persoalan yang dihadapi oleh bangsa ke depan menuntut adanya talenta terbaik bangsa yang terbebas dari kepentingan politik tertentu selain kepentingan untuk kemaslahatan bangsa dan negara.
Kita tak hanya dihadapkan pada persoalan domestik, tetapi juga permasalahan internasional sekaligus yang kian kompleks. Mulai dari isu pendidikan dan kesehatan, pembangunan manusia, bonus demografi, stagnasi pertumbuhan ekonomi, ketidakpastian ekonomi global yang sudah berlangsung cukup lama, permasalahan geopolitik yang setiap saat bisa meledak, perang Rusia-Ukraina, Palestina-Israel, Iran-Israel, semenanjung Korea, China-Taiwan, hingga konflik kawasan Laut China Selatan.
Pemerintahan baru nanti punya beban yang berat untuk mengembalikan kepercayaan publik. Salah satunya dengan menunjukkan kinerja pemerintahan yang jauh lebih baik dan terbebas dari kasus korupsi. Pilihan untuk membentuk kabinet zaken merupakan pilihan terbaik untuk menghadapi kompleksitas tantangan ke depan, baik domestik maupun global.
Presiden baru tidak boleh lagi dibebani dengan permasalahan moral hazard yang dimiliki para menterinya. Apalagi sampai ”menyandera” pimpinan partai politik untuk bisa mengamankan kebijakannya hingga ke parlemen. Kabinet baru nanti harus mencerminkan profesionalitas dan dedikasi yang tinggi untuk mencapai kemajuan bangsa yang semakin jauh lagi.
Handi Risza, Wakil Rektor Universitas Paramadina