Deeskalasi Konflik di Papua, Siapa Tahu Rekam Jejak Prabowo Justru Bisa Menyelesaikan
›
Deeskalasi Konflik di Papua,...
Iklan
Deeskalasi Konflik di Papua, Siapa Tahu Rekam Jejak Prabowo Justru Bisa Menyelesaikan
Masyarakat optimis pemerintah baru bisa deeskalasi konflik Papua. Rekam jejak Prabowo siapa tahu bisa mengatasinya.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·3 menit baca
KOMPAS
Kondisi jalan Trans-Papua di Nduga masih berupa jalan berbatu. Proyek pembangunan jalan terhenti salah satunya karena terjadinya konflik bersenjata. Tokoh adat setempat menilai salah satu pemicu konflik disebabkan masyarakat belum merasakan kehadiran negara dan kesejahteraan masyarakat belum tercapai.
JAKARTA, KOMPAS — Masyarakat sipil berharap presiden dan wakil presiden terpilih, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka, bisa menurunkan eskalasi konflik bersenjata di Papua. Mereka menyebut konflik bersenjata di ”Bumi Cenderawasih” itu sudah semakin rumit dan sulit diatasi sehingga pendekatan keamanan perlu ditinggalkan dan digantikan dengan jeda kemanusiaan.
Direktur Amnesty International Indonesia Usman Hamid saat diskusi bertema ”Papua Pasca Pemilu 2024: Eskalasi atau Resolusi Konflik”, Kamis (25/4/2024), mengatakan, sikap politik Prabowo Subianto selama ini masih kerap berubah-ubah. Sebelum pemilu, di salah satu forum yang digelar Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Prabowo pernah menyebut bahwa perlu ada amnesti terhadap kelompok kemerdekaan di Aceh.
Namun, dalam kesempatan lain, terutama saat debat capres-cawapres yang diselenggarakan Komisi Pemilihan Umum (KPU), Prabowo justru menyebut bahwa ada intervensi asing dalam konflik tersebut. Ia juga menyebut konflik bersenjata antara Organisasi Papua Merdeka (OPM) dengan aparat keamanan di Papua sebagai gerakan separatis.
”Ini menunjukkan bahwa sikap Prabowo akan sangat tidak stabil secara politik. Satu sisi dia bisa sangat keras dengan sifat nasionalisme yang cenderung chauvinistik. Namun, di sisi lain juga ada peluang deeskalasi operasi keamanan di sana,” beber Usman.
Ini menunjukkan bahwa sikap Prabowo akan sangat tidak stabil secara politik. Satu sisi dia bisa sangat keras dengan sifat nasionalisme yang cenderung chauvinistik. Namun, di sisi lain juga ada peluang deeskalasi operasi keamanan di sana.
KOMPAS/INGKI RINALDI
Usman Hamid, Ketua Panitia Seleksi Calon Anggota Komisi Paripurna Komnas Perempuan dan Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia.
Aktivis hak asasi manusia (HAM) dan demokrasi itu menambahkan, satu hal yang perlu ditekankan untuk pemerintahan baru nanti adalah pendekatan keamanan yang selama ini digunakan di Papua tidak berhasil. Pendekatan keamanan justru membuat konflik semakin rumit dan mengorbankan banyak warga sipil. Prajurit TNI pun sudah banyak yang gugur selama konflik bersenjata berlangsung. Jatuhnya korban tak bersalah seharusnya bisa dicegah.
”Prospek pendekatan di Papua ke depan bisa sangat prospektif, bisa juga negatif. Yang jelas, jangan sampai mengedepankan tindakan balas dendam. Apalagi, jika ingin membangun investasi di sana, tidak ada investasi berjalan tanpa perundingan damai,” tegasnya.
Jeda kemanusiaan, dialog, dan pendekatan kemanusiaan akan menjembatani resolusi konflik antara kelompok adat, pemerintah daerah, dan pemerintah pusat. Izin-izin perkebunan, tambang, dan sebagainya bisa tercapai jika situasi aman dan damai.
Konflik tanah atau agraria juga rawan di sana karena masyarakat adat merasa tanahnya dirampas oleh negara. Itu lalu dianggap sebagai gangguan investasi, padahal perundingan adalah salah satu prasyarat sebelum investasi berjalan di Papua.
Dialog OPM dan negara
Kepala Biro Papua Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) Ronald Rischard Tapilatu menambahkan, cara yang tepat dipakai di situasi saat ini adalah dialog di antara dua pihak yang berkonflik, yaitu OPM dan negara. Tuntutan tertinggi OPM memang kemerdekaan untuk Papua. Namun, itu adalah tuntutan paling tinggi (high call). Jika ada titik temu antarkedua belah pihak, resolusi yang lain mungkin bisa diterima.
”Yang terjadi di Papua saat ini adalah krisis kemanusiaan. Eskalasi konflik yang terus-menerus bertambah membuat situasinya sudah menjadi krisis kemanusiaan. Oleh sebab itu, jangan sampai justru situasinya bertambah rumit. Harus ada resolusi terbaik,” ujarnya.
Yang terjadi di Papua saat ini adalah krisis kemanusiaan. Eskalasi konflik yang terus-menerus bertambah membuat situasinya sudah menjadi krisis kemanusiaan. Oleh sebab itu, jangan sampai justru situasinya bertambah rumit. Harus ada resolusi terbaik.
Ia mengaku miris karena saat ini satu-satunya daerah yang masih konflik bersenjata hanyalah di Papua. Papua seolah menjadi lahan pembantaian massal yang mengusik kemanusiaan bersama. Ia pun khawatir karena pembangunan dan investasi sekarang semakin ke wilayah Indonesia timur, pendekatan keamanan justru akan digalakkan. Pemerintah harus melihat persoalan Papua ke akar masalahnya terlebih dahulu sehingga tidak salah langkah dan strategi.
Sebelumnya, dalam kasus penembakan Komandan Rayon Militer 1703-04/Aradide Letnan Dua Oktovianus Sogelrey pada awal April lalu, TNI dengan tegas menyebut peristiwa itu dilakukan oleh Organisasi Papua Merdeka atau OPM, bukan lagi kelompok kriminal bersenjata atau KKB. Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto menyebut serangan dilakukan oleh OPM. Penyebutan OPM itu dilakukan karena kelompok tersebut menamakan diri sebagai Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB).
KOMPAS/NIKOLAUS HARBOWO
Direktur Pusat Studi Agama dan Demokrasi Paramadina Ihsan Ali Fauzi; mantan pelaku terorisme, Ali Fauzi Manzi; moderator; peneliti dari Pusat Penelitian Sumber Daya Regional (PSDR) LIPI, Cahyo Pamungkas; dalam diskusi publik bertema Memutus Mata Rantai Gerakan Terorisme, Mungkinkah?: Kegagalan dan Keberhasilan Deradikalisasi di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jakarta, Kamis (17/5/2018).
Sejarah penyatuan yang tak tuntas
Peneliti Papua pada Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Cahyo Pamungkas, menyebut bahwa akar permasalahan di Papua adalah sejarah penyatuan yang tidak tuntas. Lepas dari penjajahan Belanda, ia menyebut banyak tokoh di Papua ingin Merdeka. Namun, kemudian dilaksanakan jajak pendapat yang disebutnya intimidatif sehingga kemurnian suara saat jajak pendapat dipertanyakan.
Kini nasionalis Papua semakin maju dan keinginan merdeka semakin kuat karena ada masalah pelanggaran HAM berat, marjinalisasi, dan masalah-masalah lainnya.
”Nasionalis di Papua itu kemudian tumbuh dan menanamkan melalui sekolah Minggu misalnya terkait ide kemerdekaan Papua. Karena Papua merdeka sudah ada sejak sebelum Indonesia merdeka. Kini nasionalis Papua semakin maju dan keinginan merdeka semakin kuat karena ada masalah pelanggaran HAM berat, marjinalisasi, dan masalah-masalah lainnya,” jelasnya.
Sejarah penyatuan itulah yang menjadi akar persoalan di Papua sampai saat ini. Ia pun khawatir gerakan itu akan semakin membesar karena pengaruh media sosial. Medsos banyak menyebarkan propaganda dan produksi pengetahuan yang kemudian menginspirasi semakin banyak generasi muda Papua.
”Konsekuensi dari penyebutan OPM adalah kedua belah pihak harus memanfaatkan hukum humaniter. Jika sampai ada penembakan atau penyiksaan warga sipil dan pelakunya OPM, bisa ada intervensi dari lembaga internasional,” katanya.
KOMPAS/RADITYA HELABUMI (RAD)
Wakil Direktur Imparsial Ghufron Mabruri (tengah) memberikan keterangan saat peluncuran laporan mengenai evaluasi praktik hukuman mati pada era pemerintahan Presiden Joko Widodo di Jakarta, Kamis (10/10/2019). Menurut catatan Imparsial pada kurun waktu 2014-2019, pemerintah telah melakukan eksekusi hukuman mati terhadap 18 orang terkait kasus narkoba. Imparsial juga merekomendasikan beberapa hal, antara lain penghapusan pidana mati dalam revisi RKUHP dan pemberlakuan moratorium hukuman mati.
Direktur Imparsial Ghufron Mabruri menyampaikan optimisme terhadap presiden terpilih patut dijaga. Bisa jadi, dengan sejarah dan rekam jejaknya sebagai prajurit Kopassus, Prabowo Subianto justru bisa menyelesaikan masalah Papua dengan berbeda. Optimisme dan harapan itu harus dijaga karena peluang Prabowo untuk mencatatkan dirinya dalam sejarah penyelesaian konflik bersenjata di Papua cukup besar.
”Itu yang coba kita pelihara optimisme harapan itu supaya Prabowo bisa mencatatkan dirinya dalam sejarah Indonesia yang berhasil menyelesaikan konflik bersenjata di Papua,” katanya.