Penyelesaian Kasus Pelanggaran HAM, Langkah Awal Papua Damai
Kajian dari LIPI, peta jalan penyelesaian konflik Papua harus terdiri atas empat hal. Salah satunya penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM di Papua.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·6 menit baca
Konflik di Papua tak kunjung usai. Korban, baik dari warga sipil, kelompok kriminal bersenjata, maupun aparat TNI/Polri, terus berjatuhan. Dunia internasional melalui ahli hak asasi manusia di Komisi Tinggi PBB juga mempertanyakan situasi tersebut. Lalu, apa solusi untuk memutus lingkaran kekerasan di Papua tersebut?
Koordinator Jaringan Damai Papua Adriana Elisabeth dalam diskusi daring bertajuk ”Membedah Polemik Laporan Komisi Tinggi PBB dan Tanggapan Pemerintah Indonesia terhadap Situasi Kemanusiaan, Demokrasi, dan HAM OAP di Papua”, (9/3/2022), mengatakan, sejak reformasi, gerakan prodemokrasi di Papua menguat. Momentum itu digunakan sebagai konsolidasi gerakan bagi kelompok yang menuntut kemerdekaan Papua. Tuntutan kemerdekaan ini dampak dari sejarah politik yang tak tuntas, kebijakan militerisasi dan trauma warga Papua terhadap kekerasan.
”Bahkan, di dunia internasional muncul dugaan Pemerintah Indonesia telah melakukan slow motion genocide atau genosida secara pelan-pelan terhadap masyarakat Papua melalui operasi militer,” kata Adriana.
Menurut dia, ketidakpuasan atas sejarah dan status politik penyatuan Papua dan Papua Barat ke Indonesia, trauma terhadap kekerasan militer, dan dugaan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat harus menjadi prioritas pemerintah untuk diselesaikan. Apalagi, permasalahan itu semakin mengemuka dan menjadi sorotan dunia internasional.
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), yang kini berganti nama menjadi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), pernah membuat rekomendasi peta jalan penyelesaian konflik di Papua.
Ada empat agenda, di antaranya rekognisi dan pemberdayaan orang asli Papua (OAP) secara substantif, bukan sekadar simbolis. Kemudian, Papua sebagai subyek pembangunan, proses hukum dan pengadilan kasus-kasus dugaan pelanggaran HAM dan pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), serta dialog damai penyelesaian masalah HAM di Papua.
”Namun, sampai saat ini belum semua agenda itu terlaksana terutama soal penyelesaian masalah dugaan pelanggaran HAM berat di Papua,” kata Adriana.
Sebagai langkah terobosan, pemerintah perlu membuat Forum Musyawarah HAM Papua untuk mencapai kesepakatan dan landasan kerja bersama dalam penyelesaian kasus-kasus HAM di Papua. Diperlukan orkestrasi yang sinergis agar penyelesaian masalah HAM di Papua lebih jelas aktor dan penanggung jawabnya. Ego sektoral antar-kementerian dan lembaga perlu disingkirkan agar ada peta jalan yang jelas untuk Papua. Harus ada komitmen serius dari pemerintah untuk penuntasan kasus HAM itu.
Trauma
Ketua Majelis Rakyat Papua Timotius Murib di kesempatan yang sama mengatakan, persoalan dugaan pelanggaran HAM berat akibat operasi militer di Papua sudah terjadi sejak 60 tahun yang lalu, yaitu sejak 1961. Menurut dia, warga Papua mengalami kekerasan berlapis fisik dan nonfisik, baik itu operasi militer bersenjata maupun perampasan tanah adat untuk pembangunan usaha atau infrastruktur. Tanah adat diambil tanpa izin sehingga masyarakat adat kehilangan sumber penghidupan dan ikatan sosialnya. Di bidang sosial politik, ekonomi, sosial, dan kebudayaan, Papua terus bergejolak.
”Di UU Otsus yang lama sudah diamanatkan untuk penyelesaian hukum dugaan pelanggaran HAM berat dan pembentukan KKR. Namun, hal itu tidak dilakukan oleh pemerintah sampai ada revisi UU Otsus yang baru. Sekarang, kami sedang gugat ke Mahkamah Konstitusi (MK),” kata Timotius.
Ketua Pokja Perempuan Majelis Rakyat Papua (MRP) Ciska Abugau mengatakan, harapan masyarakat Papua adalah wilayah mereka bisa menjadi tanah damai. Namun, konflik bersenjata di Papua tak kunjung berakhir. Justru, catatan dia, selama enam tahun terakhir ini eskalasi kekerasan terus meluas di Papua, terutama di wilayah Pegunungan Tengah.
Warga Papua sangat berharap pemerintah pusat dapat memproses secara hukum pelanggaran HAM berat di Papua. Mereka ingin siapa pun yang bersalah dalam peristiwa itu diproses hukum. ”Pemerintah harus serius akui kekerasan di Papua. Jangan sampai hal itu terus-menerus terjadi. Kami warga Papua juga tidak ingin dicurigai. Kami mau hidup damai,” kata Ciska.
Lapang dada
Komisioner Komnas HAM Amiruddin Al Rahab menyebut, dialog perdamaian di Papua tidak bisa dilakukan selama dua pihak tangannya masih sama-sama berada di atas.
Ibarat pertarungan di ring tinju, tangan di atas artinya kedua belah pihak masih bisa saling serang. Padahal, untuk bisa duduk beriringan dan berdialog dibutuhkan sikap duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi. Pemerintah Indonesia dan KKB harus sama-sama menundukkan egonya untuk mencari solusi perdamaian.
”Dengan segala kerendahan hati, semoga kedua belah pihak (KKB dan aparat keamanan TNI/Polri) berkomitmen mencegah jatuhnya korban di wilayah konflik. Mari carikan solusi bersama atas permasalahan ini,” kata Amiruddin.
Di bukunya yang berjudul Dengarkan Papua: Catatan-catatan Politik dan Hak Asasi Manusia, 2021, Amiruddin yang hampir 20 tahun mencermati dan mengadvokasi masalah Papua itu menuliskan, di awal kepemimpinannya, Presiden Joko Widodo sebenarnya sudah melakukan terobosan di Papua.
Tahun 2015, Presiden Jokowi membuka akses Papua bagi jurnalis asing dan mengakui adanya narapidana politik atau tahanan politik. Jokowi bahkan memberikan grasi kepada lima dari 60 orang yang dikategorikan sebagai tapol itu. Dua langkah yang dianggap melompati wilayah tabu itu sebenarnya memberikan harapan baru bagi masyarakat Papua.
Sayangnya, untuk mengatasi permasalahan HAM dan konflik bersenjata di Papua, belum ada terobosan yang ampuh. Militerisasi dengan pengiriman pasukan ke wilayah konflik, serta penetapan KKB atau Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) sebagai teroris memperparah stigmatisasi dan menambah luka dan trauma masyarakat Papua.
Padahal, menurut Amiruddin, dalam menjalankan agenda percepatan pembangunan di Papua dan Papua Barat yang perlu dibangun adalah rasa kepercayaan dari masyarakat Papua. Kepercayaan adalah hal esensial karena akan menjadi perekat yang mengukuhkan bangunan kebijakan agar bisa berjalan efektif dan tepat sasaran bagi Papua.
”Di awal pemerintahannya, Presiden Jokowi telah meraih kepercayaan itu. Apalagi, dengan corak kepemimpinannya yang mau terjun langsung tiga kali ke Papua hal itu bisa menjadi langkah awal meraih kepercayaan rakyat Papua kepada pemerintah,” kata Amiruddin.
Terkait dengan pertanyaan ahli HAM di Komisi Tinggi PBB terkait dugaan pelanggaran HAM di Papua, Direktur Hak Asasi Manusia dan Kemanusiaan Kementerian Luar Negeri Achsanul Habib mengatakan, Pemerintah RI melalui perwakilan di Geneva, Swiss, sudah melayangkan jawaban atas pertanyaan mengenai dugaan pelanggaran HAM dan masalah pengungsi di wilayah Papua.
Pihak Pemerintah RI menyayangkan, ahli HAM PBB itu memuat rilis sepihak yang dianggap melanggar kode etik mereka sendiri. Pemerintah RI juga mempertanyakan motif rilis resmi yang diunggah tanpa konfirmasi dari pihak Pemerintah Indonesia itu di laman www.ohcr.org pada 1 Maret 2022.
”Ada 24 halaman surat yang sudah kami kirimkan kepada ahli HAM di Komisi Tinggi PBB. Sayangnya, mereka itu tidak cover both side. Kami menjawab semua isu yang ditanyakan mulai dari dugaan penghilangan paksa, penyiksaan, dan pemindahan warga asli Papua. Apa yang mereka tanya, semua sudah kami jawab dan bisa diakses oleh publik,” terang Achsanul.
Apa pun itu, nyatanya, api masih membara di Papua, korban terus berjatuhan, warga ketakutan mengungsi karena konflik. Perlu ada langkah riil untuk mewujudkan perdamaian. Jika itu dilakukan, tak perlu sibuk lagi menjelaskan ke dunia internasional. Dunia akan melihat dengan sendirinya.