Serangan Iran ke Israel, Puncak Perseteruan Negara Adidaya Timur Tengah
Serangan Iran ke Israel merupakan puncak perseteruan selama puluhan tahun di antara dua negara adidaya Timur Tengah.
Untuk pertama kalinya dalam sejarah, Iran melakukan penyerangan ke tanah Israel lewat tembakan misil dan serbuan drone. Rekam historis Iran-Israel menunjukkan, serangan ini adalah puncak dari perseteruan selama puluhan tahun di antara dua negara adidaya Timur Tengah tersebut.
Idul Fitri tahun ini rupanya belum mampu membawa kedamaian bagi Timur Tengah. Bukannya padam, kobaran api konflik di kawasan itu malah kian membara. Empat hari setelah Idul Fitri, Iran akhirnya melancarkan serangan balasan terhadap Israel.
Pada Minggu (14/4/2024) dini hari, dalam serangan yang bertajuk ”Operasi Janji Jujur (Honest Promise)”, Teheran meluncurkan lebih dari 170 pesawat nirawak, 30 rudal jelajah, dan 120 misil balistik ke arah barat, menuju Israel. Pada saat yang bersamaan, kelompok milisi yang didukung Iran juga ikut menembakkan puluhan roket dari Lebanon, Irak, Suriah, dan Yaman ke negara zionis tersebut.
Israel, yang telah siaga penuh sejak sepekan belakangan, mengklaim berhasil menjatuhkan 99 persen proyektil dan drone Iran sebelum memasuki wilayah negaranya. Kemampuan mereka menghalau serangan ditopang oleh sistem pertahanan udara canggih Iron Dome dan Arrow. Tak hanya itu, militer Amerika Serikat, Inggris, Perancis, dan Jordania juga turut berperan mempertahankan langit Israel dari serbuan misil dan pesawat nirawak Iran.
Baca juga: Setelah ”Perang Bayangan” Iran-Israel Pecah
Walau demikian, sejumlah misil dan rudal Iran tetap mampu lolos dan mencapai wilayah Israel. Tujuh rudal dilaporkan mengenai pangkalan udara Ramon milik Israel di Gurun Negev. Namun, Israel mengatakan bahwa serangan itu hanya menimbulkan kerusakan ringan pada sejumlah infrastruktur militer.
Sejauh ini belum ada keterangan bahwa serangan menimbulkan korban dari pihak militer Israel. Dilaporkan hanya seorang anak berusia tujuh tahun terluka akibat terkena serpihan peluru kendali yang dihancurkan sistem pertahanan udara Israel.
Meski kerusakan yang ditimbulkannya relatif kecil, serangan Iran ke Israel ini menjadi babak baru dalam sejarah konflik antara dua negara adidaya Timur Tengah tersebut. Pasalnya, hal ini merupakan kali pertama Iran menyerang langsung wilayah negara Israel. Banyak pihak mengkhawatirkan, serangan ini adalah dapat membawa eskalasi di kawasan ke tingkat yang lebih pelik.
Awalnya harmonis
Sekalipun banyak kalangan memandang Iran dan Israel sebagai musuh bebuyutan, sejatinya hubungan antarkeduanya sempat harmonis. Sejarawan University of Oxford, Eirik Kvindesland, mengatakan kepada Al Jazeera, Iran merupakan negara mayoritas Muslim kedua setelah Turki yang mengakui kedaulatan Israel secara de facto pada 1948.
Dekade 1950-1970 awal menjadi masa keemasan hubungan antara Israel dan Iran. Hal ini tak terlepas dari doktrin diplomasi ” tepian” dari Perdana Menteri pertama Israel David Ben-Gurion. Doktrin itu berisikan kebutuhan untuk mencari sekutu di luar negara-negara Arab yang kala itu sangat memusuhi Israel. Selain Turki dan Etiopia, Iran juga dipandang Gurion sebagai kandidat yang cocok untuk dijadikan sekutu.
Marta Furlan, dalam jurnalnya yang dipublikasikan pada 2022, menjelaskan, relasi Israel dan Iran kala itu dipersatukan oleh kesamaan kepentingan geopolitik. Beberapa di antaranya yang terutama adalah kebutuhan untuk menekan kekuatan negara-negara Arab, menghalangi pengaruh Uni Soviet di kawasan, dan mendekatkan diri terhadap Amerika Serikat.
Baca juga: Timur Tengah dan Dunia Tak Mampu Hadapi Satu Perang Lagi
Iran, yang kala itu masih berada di bawah rezim monarki wangsa Pahlevi, juga merasa Israel adalah rekan bisnis yang cocok dalam menambah pundi melalui ekspor minyak. Apalagi, Israel saat itu cukup kesulitan mendapatkan sumber energi akibat boikot masif yang diinisiasi Raja Arab Saudi Faisal bin Abdulaziz.
Kerja sama di bidang ekspor-impor minyak bumi ini lantas diwujudkan melalui pembangunan bersama jalur pipa Eilat-Askhelon yang menghubungkan Laut Merah dengan Laut Tengah. Furlan menyebutkan, fasilitas tersebut mampu meningkatkan penjualan minyak bumi Iran ke Israel dan Eropa secara dramatis. Kala itu, suplai dari Iran mencakup hingga 70 persen dari kebutuhan minyak bumi Israel.
Selain energi, Iran dan Israel rupanya juga pernah bekerja sama dalam urusan persenjataan. Sebuah dokumen rahasia Badan Intelijen AS (CIA) tahun 1985 yang telah dideklasifikasi mengungkapkan, Israel secara reguler menjual senjata ke Iran selama masa rezim Shah Mohammad Reza Pahlavi.
Persenjataan tersebut mencakup senjata dan artileri ringan beserta amunisinya. Tak hanya itu, Israel juga disebutkan membantu perawatan mesin tempur angkatan udara dan angkatan darat Iran. Steven Simon, pakar hubungan internasional Oxford University, dalam makalahnya menyebutkan bahwa pada medio 1970-an, transaksi senjata Israel-Iran mencapai 500 juta dollar per tahun.
Lebih lanjut, Furla menjelaskan, pada akhirnya Iran dan Israel turut menjalin kerja sama di bidang-bidang strategis lainnya, mulai dari pembangunan, pertanian, eksploitasi sumber daya air, hingga intelijen. Puncak hubungan antara Tel Aviv dan Teheran ditandai dengan saling membuka kedutaan besar pada medio 1970-an.
Revolusi Iran 1979 dan retaknya hubungan dua negara
Namun, hubungan manis itu harus berakhir ketika revolusi Iran meletus pada 1979. Gerakan yang dipimpin Ruhollah Khomeini berhasil melengserkan pemerintahan monarki dan melahirkan Republik Islam Iran.
Furlan menyebutkan, rezim baru yang dipimpin oleh Ruhollah Khomeini itu memiliki ideologi politik antizionisme sebagai haluan kebijakan negara. Khomeini disebutkan sangat bersimpati pada kemerdekaan Palestina dan menyebut Israel sebagai ”Setan Kecil” yang merampas tanah umat Muslim secara ilegal.
Baca juga: Setelah Serangan Iran, Israel Intensifkan Gempuran di Gaza
Tak pelak, Teheran kemudian memutus semua hubungan diplomatik dengan Israel yang telah terjalin selama tiga dekade. Iran juga mulai menggencarkan kampanye untuk menghancurkan Israel dari eksistensinya di muka bumi.
Namun, pecahnya perang Iran-Irak pada 1980 rupanya membuat Khomeini harus berkompromi dengan ideologi yang dibangunnya sendiri. Menyadur dari buku Israel and Iran: A Dangerous Rivalry, kekuatan Irak kala itu berada di atas angin karena dilengkapi peralatan militer buatan Amerika Serikat dan Uni Soviet.
Di tengah embargo senjata AS, Iran pun akhirnya harus kembali berpaling kepada kawan lamanya, Israel. Di sisi lain, Tel Aviv memiliki kepentingan untuk menjatuhkan Irak pimpinan Saddam Hussein. Ini tak terlepas dari ambisi Hussein untuk mengembangkan kemampuan teknologi nuklir Irak. Israel lantas memandang kemenangan Irak dapat lebih mengancam keamanan negaranya ketimbang Iran.
Kesepakatan pun akhirnya tercipta antara kedua negara. Pada awal 1980, Perdana Menteri Israel saat itu Menachem Begin menyetujui pengiriman roda pesawat tempur Phantom beserta sejumlah paket senjata lainnya untuk tentara Iran. Sebagai balasannya, Khomeini mengizinkan sejumlah besar kaum Yahudi Iran untuk pergi menuju AS atau Israel.
Kerja sama itu terus berlanjut dalam sebuah kesepakatan antara Iran, Amerika Serikat, dan Israel. Dalam kerja sama rahasia yang kelak dikenal sebagai skandal “Iran-Contra” tersebut, Iran berhasil membujuk Washington kembali menyuplai senjata untuk mereka. Sementara itu, AS meminta Iran membantu melepaskan sandera di Lebanon dan membiayai gerakan pemberontakan Contra di Nikaragua. Israel hadir sebagai perantara bagi keduanya.
Perang proksi Iran-Israel
Sekalipun Iran memiliki kerja sama dengan Israel, mereka tetap mempertahankan narasi melawan negara Zionis itu di depan publik. Narasi itu bahkan diwujudnyatakan melalui pembentukan kelompok milisi Hezbollah pascainvasi Israel atas Lebanon pada 1982.
Saat itu, Iran disebutkan mengirim pasukan Garda Revolusi untuk menjadi instruktur milisi Hezbollah. Peran serta Iran dalam pendirian ini sekaligus mengawali perang proksi antara Iran dan Israel di Timur Tengah yang berlangsung hingga hari ini.
Iran kemudian benar-benar memutus hubungan dengan Israel pada awal 1990-an. Menurut Simon, berakhirnya perang dengan Irak pada 1988 menjadi alasan utama di balik perubahan sikap Iran ini. Pasalnya, dengan berakhirnya perang, Iran tidak lagi membutuhkan pasokan senjata secara mendesak. Mereka pun dapat kembali fokus pada narasi permusuhan dengan Israel demi meraih simpati negara-negara mayoritas Muslim di kawasan.
Baca juga: Harga Minyak Dunia Menuju Keseimbangan Baru
Perseteruan antara Israel dan Iran benar-benar mulai terasa pada awal dekade 2000. Hal ini tak terlepas dari kekalahan dua musuh utama Teheran lainnya, yakni Saddam Hussein dan Taliban dalam perang di Irak dan Afghanistan. Dengan demikian, Iran dapat semakin menguatkan pengaruhnya di kawasan.
Terpilihnya Mahmoud Ahmadinejad sebagai presiden Iran pada 2004 menjadi katalis eskalasi ketegangan antara Israel dan Iran berikutnya. Ahmadinejad adalah seorang konservatif garis keras. Selain berulang kali menyatakan bahwa Israel harus dilenyapkan, ia juga memiliki ambisi untuk mengembangkan teknologi nuklir Iran. Pada 2011, Iran berhasil menjadi negara pertama di Timur Tengah yang mendirikan pembangkit listrik tenaga nuklir untuk sipil.
Tak pelak, Israel pun mulai menganggap serius Iran sebagai salah satu ancaman eksistensial negaranya. United States Institute for Peace mengatakan, sejak 2010, Israel telah melakukan lebih dari 20 operasi rahasia terhadap Iran, seperti pembunuhan, serangan pesawat nirawak, dan serangan siber.
Sebagian besar di antaranya ditujukan secara spesifik untuk menghalangi upaya pengembangan nuklir Iran. Setidaknya terdapat lima ilmuwan dan insinyur nuklir Iran yang tewas akibat dibunuh agen Israel dalam kurun 15 tahun terakhir. Tak hanya itu, Israel juga diduga kuat melakukan sejumlah aksi sabotase terhadap berbagai fasilitas nuklir Iran. Salah satunya yang terbaru adalah peledakan fasilitas pengayaan uranium Iran di Natanz pada April 2021. Sejumlah sumber The New York Times menyebutkan bahwa Israel adalah dalang di balik sabotase itu.
Menghadapi berbagai serangan itu, Iran tak tinggal diam. Mereka lantas menggunakan pengaruhnya terhadap sejumlah kelompok bersenjata di kawasan untuk memberikan tekanan pada Israel. Hal ini terutama ditempuh melalui operasi-operasi yang dilakukan oleh pasukan Quds, sayap IRGC yang dikhususkan untuk membentuk kekuatan proksi Iran di kawasan.
Berdasarkan hasil analisis Council on Foreign Relations, Iran menjadi negara sponsor bagi sedikitnya 12 kelompok bersenjata yang tersebar di Yemen, Bahrain, Irak, Suriah, Lebanon, dan Palestina. Dalam sebuah laporan pada 2020, Kementerian Luar Negeri AS memperkirakan Iran mengirim 700 juta dollar AS kepada Hezbollah dan 100 juta dollar AS kepada Hamas setiap tahunnya.
Selain memberikan bantuan finansial, Iran juga memfasilitasi pelatihan bagi para milisi dan menjadi pemasok utama kebutuhan senjata mereka. Beberapa di antaranya lantas terbukti menjadi sekutu andalan Iran dalam melawan Israel, yakni Hezbollah, Hamas, Palestinian Islamic Jihad, dan Houthi.
Pecahnya perang sipil Suriah pada 2011 menjadi kesempatan Iran untuk semakin meningkatkan tekanan terhadap Israel. Dengan mendukung penuh rezim Presiden Suriah Bashar al-Assad, Iran mendapat keuntungan strategis berupa akses langsung ke negara yang terletak persis di sebelah timur laut Israel tersebut.
Alhasil, Teheran dapat semakin mudah melakukan pengiriman senjata terhadap Hezbollah yang berbasis di Lebanon, tetangga sebelah barat Suriah. Tak hanya itu, Iran pun berkesempatan menjadikan mandala pertempuran di Suriah untuk dapat melatih milisi-milisi ”binaannya” secara langsung.
Tak ayal, Israel yang semakin merasa terjepit dari utara, timur, dan selatan akhirnya mengambil tindakan tegas untuk menyerang langsung Iran. Mengutip The Times of Israel, Tel Aviv mengatakan telah melakukan serangan udara terhadap lebih dari 200 target Iran di Suriah selama kurun 2017-2018. Tel Aviv mengatakan, semua serangan udara itu adalah tanda nyata bahwa mereka tidak akan pernah mengizinkan Iran menancapkan kekuatan militernya secara permanen di Suriah.
Ancaman konflik terbuka sempat mencuat tatkala Israel melancarkan serangan udara terhadap pangkalan udara Suriah di dekat kota Homs pada April 2018. The Guardian melaporkan, sebagian besar dari 14 korban jiwa adalah warga negara Iran.
Sebulan berikutnya, pasukan Quds Iran di Suriah diduga melakukan aksi balasan dengan meluncurkan lebih dari 20 roket ke pasukan Israel di Dataran Tinggi Golan. Meski Iran tidak mengakui ataupun menyangkal serangan tersebut, Tel Aviv segera bereaksi dengan kembali melakukan serangan udara terhadap beberapa obyek strategis Iran di Suriah.
Normalisasi yang mengancam hegemoni Iran
Selain di medan pertempuran, perang pengaruh antara dua negara ini juga terjadi di tataran diplomatik tingkat tinggi. Hal ini diwujudkan Israel melalui normalisasi hubungan diplomatik dengan negara-negara Arab. Strategi ini dipandang menjadi salah satu cara terbaik Tel Aviv untuk menekan Teheran. Apalagi, monarki-monarki di Teluk Arab tampak mulai khawatir terhadap meningkatnya hegemoni Iran di kawasan.
Salah satu yang dipandang paling sukses adalah tercapainya Persetujuan Abraham pada Agustus 2020, yakni Israel berhasil menormalisasi hubungan dengan Uni Emirat Arab. Perjanjian itu sekaligus menjadikan UAE menjadi negara Teluk Arab pertama yang mengukuhkan hubungan diplomatik resmi dengan Israel.
Namun, upaya normalisasi yang mulai membuahkan hasil tersebut harus kandas ketika Perang Hamas-Israel meletus pada 7 Oktober 2023. Pendekatan militer Israel yang begitu brutal terhadap warga sipil Gaza membuat negara-negara Arab lainnya menahan diri untuk berhubungan dengan Tel Aviv.
Di sisi lain, Iran pun seakan memperoleh kembali inisiatif untuk menguatkan pengaruhnya terhadap kelompok-kelompok proksi di sekeliling Israel. Pada Januari 2024, pasukan Amerika Serikat menahan sebuah kapal di Laut Arab yang kedapatan mengangkut kiriman ratusan senjata berbagai jenis dari Iran untuk Houthi di Yamen.
Menyadur dari The Times of Israel, seorang intelijen Israel menyebutkan Iran juga semakin menggencarkan pengiriman senjata ke Hezbollah di Lebanon melalui jalur pelabuhan-pelabuhan di Eropa. The New York Times turut mengungkapkan bahwa Teheran mulai memasok senjata kepada kelompok-kelompok perlawanan Palestina di Tepi Barat.
Kini, perang antara kedua negara adidaya Timur Tengah tersebut telah keluar dari bayang-bayang proksi dan operasi rahasia. Meski tidak menimbulkan kerugian signifikan bagi Israel, serangan pada 14 April telah mendatangkan keuntungan strategis bagi Iran.
Hal tersebut tampak dari ribuan warga Iran yang turun ke jalan dan bersorak-sorai menyambut serangan ke Israel. Penduduk Palestina pun bertepuk tangan melihat misil-misil Iran melayang di atas langit Israel.
Tak hanya itu, aksi peluncuran misil dari kelompok-kelompok milisi dari sejumlah negara menunjukkan bahwa Iran mampu mengorkestrasi sebuah serangan multifront berskala besar. Serangan ini pada akhirnya menjadi ajang bagi Iran mengingatkan musuh-musuhnya bahwa mereka adalah negara kuat dan berpengaruh di Timur Tengah.
Di sisi lain, walau Iran menggunakan Pasal 51 Piagam PBB sebagai justifikasi serangannya terhadap Israel, banyak negara sangat mengkhawatirkan efek domino yang dapat ditimbulkannya. Sebagaimana disampaikan AP, petinggi militer Israel mengatakan bahwa negaranya akan merespons serangan Iran pada ”waktu yang tepat”. Rekam historis menunjukkan Israel memiliki tekad sekeras batu untuk selalu membalas setiap serangan yang diterimanya dari pihak lain.
Meski demikian, masih terdapat secercah asa untuk menjaga stabilitas regional dan global yang saat ini kian hari makin rapuh. Iran mengatakan bahwa tujuan mereka telah tercapai dan tidak akan melanjutkan serangan. Lain dari itu, Presiden AS Joe Biden juga memperingatkan Netanyahu bahwa Washington tidak akan mengambil bagian apabila Israel melakukan serangan balik melawan Iran. Ia juga meminta Netanyahu untuk berpikir secara ”hati-hati” terhadap risiko meningkatnya eskalasi.
Semoga Israel berkenan memenuhi nasihat sekutu paling dekat dan setianya itu dan memilih mencegah api konflik menyebar ke belahan bumi lainnya. (LITBANG KOMPAS)