Kekerasan Seksual Mengintai Anak-anak Perempuan di Mentawai
Perlindungan anak-anak perempuan di komunitas adat dari kekerasan seksual sangat minim sehingga rentan jadi korban.
Program pembangunan yang menyasar wilayah adat di suatu daerah bisa menjadi petaka baru bagi masyarakat adat ketika terjadi perubahan sosial. Hal ini seperti yang dialami sejumlah komunitas masyarakat adat di Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, seusai mengikuti program membangun permukiman kembali (resettlement).
Sejak 1970-an, sejumlah masyarakat adat Mentawai yang sebelumnya tinggal turun-temurun di rumah besar (uma) dipindahkan ke permukiman baru (desa) yang dibangun pemerintah. Uma yang dibangun di tengah ladang/kebun itu didiami satu keluarga besar yang memiliki hubungan kekerabatan dan garis keturunan yang sama.
Di permukiman baru, mereka menjalani kehidupan yang berjauhan dengan ladang/kebun yang menjadi sumber penghidupan mereka. Untuk menjangkau ladang, mereka membutuhkan waktu sehingga meninggalkan rumah dan anak-anak dalam rentang waktu lama. Mereka berangkat pagi dan pulang sore hari.
Baca juga: Bertahan di Tengah Kuatnya Patriarki
Dampak lain yang dialami, pola pengasuhan dan perlindungan terhadap anak pun mengalami perubahan. Ketika masih tinggal di uma, orangtua bisa mengawasi anak-anaknya. Ladang/kebun yang menyatu dengan tempat tinggal memungkinkan hal tersebut dilakukan.
Namun, ketiadaan pengawasan dari orangtua menyebabkan anak-anak rentan mengalami kekerasan. Hal ini terutama pada anak-anak perempuan yang rentan menjadi korban pemerkosaan dan kekerasan seksual lain. Ironisnya, pelakunya adalah kerabat terdekat, seperti kasus-kasus pada umumnya.
Ketika kasus tersebut terjadi di masyarakat adat, hal itu kerap tersembunyi rapat-rapat. Kalaupun terbongkar, pelaku tidak mudah disentuh, apalagi sampai dibawa ke pengadilan.
Riset Kekerasan Seksual pada Masyarakat Adat dan Etnis Minoritas yang dilakukan lembaga Partnership (Kemitraan) bersama Laboratorium Antropologi (Laura) Universitas Gadjah Mada (UGM) di Desa Malancan, Kecamatan Siberut Utara, Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, menemukan fenomena tersebut. Temuan tersebut ialah terjadinya sejumlah kekerasan seksual yang menimpa anak-anak masyarakat adat saat mereka ditinggal sendirian di rumah.
Mentawai menjadi salah satu sasaran Program Estungkara (kesetaraan untuk menghapus ketidakadilan dan diskriminasi) dari Kemitraan Indonesia di wilayah-wilayah adat di Indonesia. Dalam penelitian etnografi selama sekitar tiga bulan (September-November 2023), beberapa anak perempuan di Malancan menjadi korban pemerkosaan oleh kerabat mereka sendiri saat orangtuanya bekerja di ladang/kebun.
Ada perubahan yang sangat terlihat dari mata pencarian orang-orang Mentawai pada masa lalu dengan yang sekarang.
K (13), anak perempuan penyandang disabilitas, salah satunya, diperkosa oleh kerabatnya sendiri, G (70), yang merupakan kakek satu sukunya. Korban bersama orangtuanya tinggal di sebuah perkampungan yang hanya didiami 13 keluarga. K mengalami pemerkosaan dan kekerasan seksual berulang dari kakeknya saat orangtuanya berada di ladang.
Orangtua K hampir setiap hari pergi ke ladang dalam waktu yang lama. Biasanya mereka berangkat pagi-pagi sekali, lalu kembali ke rumah menjelang senja. Kondisi K yang tinggal sendiri di rumah itulah yang dimanfaatkan pelaku. Di bawah ancaman, pelaku melakukan kekerasan seksual kepada K.
Kendati mengalami trauma, K tak berani bercerita kepada orangtua mengenai kejadian yang dialaminya. Pada suatu ketika, dia mendapat kesempatan bertemu orang lain yang dianggapnya bisa dipercaya. Namun, pengakuannya justru tidak dipercaya. Bahkan, orangtuanya sendiri sempat tidak percaya dan memukulnya.
Kasus ini akhirnya bisa terungkap dan diproses polisi setelah orangtuanya menghubungi tokoh adat yang dihormati. Kasus ini kemudian dilaporkan ke kepolisian. Korban divisum dan terbukti ada kekerasan seksual. Pelaku diproses hukum, tapi akhirnya dilepas karena pernah mencoba bunuh diri.
Pelaku sulit tersentuh hukum. Pelaku G, selain sebagai kakek suku korban, juga memiliki posisi sosial yang tinggi sebagai tokoh masyarakat, tokoh agama, dan tokoh adat. G juga seorang sikirei (ahli pengobatan tradisional).
”Jadi, betapa sulitnya seorang anak kecil berjuang sendirian,” ujar Santi Dwiningsih, peneliti dari Laura UGM, dalam diskusi hasil Riset Kekerasan Seksual pada Masyarakat Adat dan Etnis Minoritas, pekan lalu.
Baca juga: Perkawinan ”Pintu Belakang” dan Perbudakan, Jerat Kekerasan Seksual Perempuan Sumba
Kasus K hanyalah salah satu dari sekian kasus kekerasan seksual yang ditemukan dalam penelitian tersebut. Betapa rentan anak-anak perempuan di kelompok masyarakat adat Mentawai mengalami kekerasan seksual ketika masyarakat adat berpindah dari uma ke permukiman baru.
Pola kekerabatan yang sangat erat ketika masyarakat adat Mentawai masih di tinggal di uma kini nyaris tidak ada lagi. Padahal, saat mereka tinggal di uma dengan keluarga besar, ada tokoh-tokoh adat yang memegang peranan penting untuk mengontrol dan menjalankan fungsi-fungsi adatnya.
”Ada perubahan yang sangat terlihat dari mata pencarian orang-orang Mentawai pada masa lalu dengan yang sekarang,” kata Santi.
Pengawasan lemah
Di masa lalu, orang-orang Mentawai berburu dan meramu dan hidup dengan penuh harmoni. Namun, saat ini, mereka harus bersusah payah bekerja keras di ladang, di kebun, menanam padi, dan sebagainya.
”Hampir tidak punya waktu yang lama atau waktu yang cukup untuk memperhatikan anak-anak mereka di rumah. Jadi, anak-anak mereka ditinggalkan begitu saja, tanpa pengawasan, tanpa teman,” ucap Santi.
Sebenarnya di Desa Malancan sudah ada Peraturan Desa Nomor 01 Tahun 2022 yang mengatur kasus pemerkosaan dan perzinaan. Perdes tersebut disusun dengan tujuan untuk menyeragamkan perbedaan tata cara pemberian denda adat serta besaran denda adat di Desa Malancan yang sering kali memicu perselisihan antarsuku.
Baca juga: Pemulihan Perempuan Korban yang Terabaikan dalam Keadilan Restoratif
Namun, dalam praktiknya, denda adat tidak membuat pelaku kekerasan seksual jera. Denda adat juga tidak berdaya ketika harus berhadapan dengan pelaku kekerasan seksual yang memiliki kekuatan, seperti orang yang dituakan secara adat dan tuan tanah. Denda adat juga tidak berhubungan dengan perawatan dan pemulihan korban, baik secara fisik, mental, maupun sosiokultural.
Karena itulah, meski hukum adat di Mentawai sudah diformalisasi ke dalam perdes, aturan tersebut nyaris tidak pernah dipakai untuk menyelesaikan kasus kekerasan seksual. Alhasil, kasus kekerasan seksual tetap terjadi.
Direktur Eksekutif Kemitraan Indonesia Laode M Syarif berharap temuan dari penelitian tersebut menggerakkan hati semua pihak, terutama pemerintah, untuk memperbaiki kebijakan atas perlindungan anak, perlindungan perempuan, dan perlindungan masyarakat adat di Indonesia.
Kekerasan seksual yang dialami anak perempuan di komunitas masyarakat adat Mentawai juga ditemui Kompas saat mengunjungi beberapa desa di Kepulauan Mentawai, pertengahan tahun 2023. Sejumlah anak perempuan adat menjadi korban kekerasan seksual, tetapi penyelesaian kasusnya dilakukan secara adat tanpa memperhatikan kepentingan korban.
Biasanya, dalam penyelesaian kasus kekerasan seksual, pelaku dihukum membayar denda adat (tulou) dalam bentuk babi dan barang-barang yang dianggap berharga serta uang. Jumlah denda adat bergantung pada keputusan tokoh adat (yang juga pemerintah setempat).
Lihat juga: Kasus Kekerasan Seksual Setahun Terakhir
Seperti yang dialami ES (25), perempuan disabilitas di Dusun Sibeotcun, Desa Malancan, Siberut Utara, yang menjadi korban pemerkosaan pada akhir 2014. Kasus yang terjadi saat ES berusia 16 tahun itu diselesaikan secara adat. Pelaku membayar denda adat.
Pemimpin adat menghukum pelaku membayar perbuatannya dengan menyerahkan mesin pemotong kayu, dua babi jantan, dan 2 meter kubik kayu kepada orangtua ES. Setelah itu, perkara dianggap selesai dan pelaku bebas berkeliaran di kampung.
Antropolog Tarida Hernawati (49) mengungkapkan, budaya patriarki yang begitu kuat dalam budaya Mentawai membuat posisi perempuan sangat lemah. Dalam penyelesaian kasus kekerasan seksual, pembayaran denda dianggap sudah selesai, sementara pemulihan pada korban tidak pernah menjadi perhatian.
Maka, salah satu rekomendasi dari Riset Kekerasan Seksual pada Masyarakat Adat dan Etnis Minoritas adalah perlunya penguatan kapasitas tetua adat dan penengah (sipatalaga) dalam menangani kekerasan seksual dengan perspektif keadilan jender. Selain itu, diperlukan pewarisan kepemimpinan adat (termasuk pihak penengah) yang punya kapasitas penyelesaian kekerasan seksual secara adil secepatnya. Penguatan kapasitas ini juga penting diberikan bagi lembaga pendamping lokal, polisi, dan lembaga peradilan di daerah terpencil.
Pemerintah perlu membuka akses seluas-luasnya bagi masyarakat adat untuk mengakses keadilan melalui implementasi Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.