Raema Lisa Rumbewas, Lifter Pencetak Sejarah Itu, Berpulang
Raema Lisa Rumbewas berpulang dengan sederet prestasi dan torehan sejarah angkat besi Indonesia.
JAKARTA, KOMPAS — Lifter legendaris Indonesia, Raema Lisa Rumbewas, meninggal, Minggu (14/1/2024) dini hari, di Rumah Sakit Umum Daerah Jayapura, Papua. Sosok pencetak sejarah dari ”Bumi Cendrawasih” itu berpulang dalam usia 43 tahun. Hingga akhir usianya, Lisa masih mencurahkan diri untuk angkat besi.
Kabar duka tersebut disampaikan sesama mantan atlet angkat besi Indonesia, Hadi Wihardja. Hadi mendapatkan kabar itu pada Minggu pagi dari keluarga Lisa.
”Saya mengingat Lisa sebagai sosok yang sangat fokus di setiap latihan maupun pertandingan. Itu membawanya menjadi legenda. Dia lifter putri yang tiga kali ikut Olimpiade dan tiga kali meraih medali,” kata Hadi.
Baca juga : Lifter Kebanggaan dari Bumi Cendrawasih
Hadi mencontohkan momen menuju Olimpiade Sydney 2000. Hadi, yang saat itu sudah menjadi pengurus Perkumpulan Angkat Besi Seluruh Indonesia (PABSI), melihat Lisa sangat fokus menjadi lifter terbaik di kelas 48 kilogram.
Apalagi, itu merupakan Olimpiade perdana bagi Lisa. Untuk mewujudkan tekad menjadi lifter terbaik, Lisa selalu datang tepat waktu saat latihan dan mengikuti arahan pelatih dengan baik. Hal itu berbuah medali perak bagi lifter kelahiran Jayapura ini.
Prestasi yang diraih Lisa tersebut merupakan torehan sejarah bagi Indonesia. Lisa menyumbang medali pertama bagi tim ”Merah Putih” pada ajang tersebut. Capaian itu juga istimewa karena diraih saat nomor angkat besi putri pertama kali dimainkan di Olimpiade.
Lisa, yang kala itu baru berusia 20 tahun, sempat diragukan karena berusia muda dan minim pengalaman. Namun, anak dari mantan binaragawan nasional, Levinus Rumbewas, ini sukses membungkam keraguan itu. Ia melakukan angkatan total 185 kilogram (snatch 80 kg, clean and jerk 105 kg).
Baca juga : Tekad Bangkit Angkat Besi demi Panggung Tertinggi
Awalnya, angkatan itu membawa Lisa meraih medali perunggu. Namun, beberapa hari berselang, Komite Olimpiade Internasional (IOC) mencabut medali emas yang diraih oleh Izabela Dragneva karena atlet Bulgaria itu positif doping. Lisa akhirnya naik satu level dan meraih perak.
Kiprah Lisa kemudian berlanjut di Olimpiade Athena 2004. Pada ajang ini, Lisa kembali mengukir prestasi dengan merebut perak. Turun di nomor 53 kg, Lisa mengangkat total 210 kg (snatch 95 kg, clean and jerk 115 kg).
Lebih dari satu dekade berselang, Lisa memastikan diri meraih medali perunggu Olimpiade Beijing 2008 atau medali ketiganya di Olimpiade. Kepastian itu didapat setelah hasil uji ulang sampel Beijing 2008 pada 2016 menemukan lifter Belarus peraih perunggu, Nastassia Novikava, positif menggunakan doping.
Perjalanan Lisa untuk mencapai podium di Olimpiade tidaklah mudah. Pada Olimpiade Syney 2000, epilepsi Lisa kambuh saat perlombaan.
Medali perunggu lantas diberikan kepada Lisa yang mulanya menempati peringkat keempat. Pada Desember 2017, Lisa menerima medali tersebut di Jakarta.
Lisa akhirnya meneguhkan diri sebagai lifter putri pertama Indonesia, sekaligus pertama dari Papua, yang selalu merebut medali dalam tiga kali keikutsertaannya di Olimpiade.
Epilepsi
Perjalanan Lisa untuk mencapai podium di Olimpiade tidaklah mudah. Pada Olimpiade Sydney 2000, epilepsi Lisa kambuh saat perlombaan. Ida Aldamina KorwaI, ibunda Lisa, yang merintis angkat besi di Papua tidak bisa masuk ke ruang atlet. Alasannya, Ida bukan bagian dari ofisial tim. Padahal, dia yang paling tahu bagaimana merawat anaknya itu
Dari kejauhan, sang ibunda melihat anaknya tidak sadarkan diri. ”Saya hanya bisa berdoa. Kalau Tuhan memberi Lisa kesempatan untuk menjadi atlet, Tuhan pasti memberi perlindungan untuk anak saya,” ujar Ida pada 2017.
Beberapa waktu kemudian, Lisa sadar dan bisa melanjutkan perlombaan. Saat dinyatakan mendapatkan perak, wajah Lisa tetap datar. Dia memang dikenal sebagai lifter yang selalu tampil ”dingin”.
Baca juga : Tekad Bangkit Angkat Besi demi Panggung Tertinggi
”Tugas saya adalah mengangkat beban. Saya berusaha dengan maksimal. Setelah itu, ya, sudah, saya tidak terlalu peduli dengan hasilnya,” kata Lisa (Kompas, 16 Desember 2017).
Epilepsi sebenarnya sempat membuat Lisa dilarang keluarganya untuk berlatih angkat besi. Namun, sakit yang mulanya dianggap penghalang justru menjadi motivasi bagi Lisa untuk tampil kuat. Lisa pun terus berlatih bersama ibundanya.
Lisa menunjukkan kegemilangannya pertama kali di Kejuaraan Nasional Yunior 1997. Lisa meraih medali emas pada kelas 44 kg. Pada ajang yang sama setahun sesudahnya, ia merebut gelar lifter terbaik yunior di kelas 48 kg.
Selain mendapatkan tiga medali Olimpiade, Lisa juga berprestasi di level regional. Lifter yang melanjutkan hidup sebagai pegawai negeri sipil setelah pensiun ini mengantongi medali perak SEA Games Kuala Lumpur 2001. Ia meraih medali serupa pada Kejuaraan Angkat Besi Dunia 2006 di Santo Domingo, Dominika. Pada SEA Games 2009, Lisa mendapatkan medali emas pada kelas 58 kg.
Mengembangkan angkat besi
Hingga akhir usianya, Lisa masih mencurahkan diri untuk angkat besi. Selepas pensiun, Lisa melatih angkat besi untuk anak-anak di sekitar rumahnya di Jayapura.
Dia berharap ada lifter lain yang mengikuti jejaknya, meraih tiga medali Olimpiade. Namun, prestasi tidak jatuh dari langit. Prestasi perlu perjuangan.
”Meski ada fasilitas yang lengkap, yang paling penting sebenarnya adalah kemauan anak untuk berprestasi,” ujar Lisa. (Kompas, 16/12/2017).
Hadi Wihardja mengatakan, Lisa bersama ibundanya memang ingin sekali mengembangkan angkat besi di Papua. Kendati dengan alat seadanya, mereka terus berusaha agar ada kembali atlet Papua yang menorehkan prestasi gemilang di angkat besi.