Lifter Kebanggaan dari ”Bumi Cendrawasih”
Matahari terbit dari timur. Begitulah, lifter Raema Lisa Rumbewas terbit dan bersinar dari daerah asalnya Jayapura, Papua. Lisa merupakan lifter putri pertama Indonesia, sekaligus pertama dari Papua, yang dalam tiga kali keikutsertaannya pada Olimpiade selalu merebut medali. Semangat, dedikasi, serta cinta dan doa orangtua menjadi kunci kesuksesan Lisa.
Pada penampilan perdana di panggung Olimpiade, Lisa langsung mengukir sejarah dengan meraih medali perak kelas 48 kilogram pada Olimpiade Sydney 2000. Ketika itu nomor angkat besi putri untuk pertama kalinya dimainkan di Olimpiade.
Penampilan Lisa sempat diragukan karena usianya baru 20 tahun. Namun, dia membuktikan diri bahwa usia muda dan pengalaman minim bukan halangan untuk mengukir prestasi. Di Sydney, Lisa menjadi penyumbang medali pertama bagi tim ”Merah Putih”.
Lisa melakukan angkatan total 185 kilogram (snatch 80 kg, clean and jerk 105 kg) dan meraih medali perunggu. Beberapa hari kemudian, Komite Olimpiade Internasional (IOC) mencabut medali emas yang diraih oleh Izabela Dragneva karena atlet Bulgaria itu positif doping. Lisa yang awalnya menempati peringkat ketiga, akhirnya naik satu level dan meraih perak.
Lifter Sri Indriyani yang semula di peringkat keempat juga mendapat hasil manis dengan meraih perunggu. Lifter putri Indonesia lainnya yang mendapat medali perunggu adalah Winarni pada kelas 53 kg.
Selanjutnya, di Olimpiade Athena 2004, Lisa naik kelas dari 48 kg ke 53 kg. Lisa kembali mengukir prestasi dengan merebut perak setelah melakukan angkatan total 210 kg (snatch 95 kg, clean and jerk 115 kg).
Setelah sembilan tahun menanti, koleksi medali Olimpiade Lisa Rumbewas akhirnya bertambah dengan perolehan medali perunggu Olimpiade Beijing 2008. Lisa mendapatkan perunggu karena lifter Belarus, Nastassia Novikava, dinyatakan positif menggunakan doping berdasarkan hasil uji ulang sampel dari Beijing 2008 pada 2016 sehingga medalinya dicabut. Medali perunggu kemudian diberikan kepada Lisa yang mulanya menempati peringkat keempat.
Kabar Lisa meraih perunggu sampai ke Papua pada Oktober 2016. Barulah pada awal Desember 2017, Lisa, yang sekarang sudah pensiun dari angkat besi, diundang ke Jakarta untuk menerima perunggu Beijing 2008. Bersamaan dengan Rapat Koordinasi Akhir Tahun Komite Olimpiade Indonesia (KOI) 2017, Minggu (3/12), Ketua Umum KOI Erick Thohir mengalungkan perunggu yang tertunda.
Di atas panggung, mantan lifter yang kini bekerja sebagai pegawai negeri sipil di kantor Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Papua itu menangis bahagia. Saking bahagianya, Lisa yang berdiri di samping mantan Ketua Umum KOI Rita Subowo, pingsan.
”Melihat Ibu (Rita Subowo) aku ingat perjuangan di Beijing. Waktu itu Ibu hadir memberi dukungan,” kata Lisa.
Tubuh Lisa langsung digotong ke pinggir panggung untuk mendapatkan pertolongan pertama. Sementara ibundanya, Ida Aldamina Korwa (67), yang juga pelatih Lisa sejak kecil, mewakili anaknya menerima apresiasi simbolis dari Kementerian Pemuda dan Olahraga.
Keluarga atlet
Lisa, yang kini berusia 37 tahun, berasal dari keluarga atlet. Ayahnya, Levinus Rumbewas (69), merupakan binaragawan terbaik Indonesia. Ibundanya adalah lifter yang merintis angkat besi di Papua. Terlahir sebagai anak ketujuh dari delapan bersaudara, Lisa mendapatkan curahan perhatian dan cinta dari keluarga.
Ketika Lisa berusia tiga bulan, ibunya memangku Lisa untuk menyusui. Di dalam dekapan sang ibu, tiba-tiba Lisa tidak sadarkan diri. Ida langsung panik dan membawa putrinya ke rumah sakit dengan berjalan kaki sejauh dua kilometer.
”Waktu itu suami saya meminta agar Lisa dibawa ke rumah sakit esok hari. Namun, saya percaya insting sebagai ibu. Akhirnya saya tahu, Lisa kejang karena epilepsi,” kata Ida.
Epilepsi membuat Lisa mengalami kejang secara berulang. Terutama kalau dia mengalami perubahan emosi terlalu drastis, seperti merasa terlalu sedih, terlalu bahagia, terlalu lelah, atau terlalu marah.
”Sebagai ibu, ini tantangan saya untuk membesarkan Lisa agar kelak dia menjadi orang yang berhasil,” ujar Ida.
Meski mempunyai darah atlet, tak pernah tebersit Lisa bakal menjadi atlet dunia. Sakit epilepsi yang mulanya dianggap penghalang justru menjadi motivasi bagi Lisa untuk tampil kuat dan percaya diri.
Perkenalan Lisa dengan dunia angkat besi bermula ketika berusia 9 tahun. Sebagai atlet cilik, dia dilatih langsung oleh sang ibu. Ida melatih Lisa menggunakan batang besi. Ida juga menyusun tumpukan batako sebagai beban.
Anggota keluarga sempat melarang Lisa untuk berlatih angkat besi karena khawatir epilepsinya kambuh. Namun, Lisa menunjukkan semangat dan keseriusan dalam latihan. Dia tidak pernah mengeluh mendapat program latihan berat.
Pelan namun pasti, kerja keras dan keseriusan Lisa menunjukkan hasil. Bakat Lisa tampak menonjol ketika di kejuaraan nasional yunior 1997 merebut emas pada kelas 44 kg.
Hasil gemilang diraihnya di ajang yang sama setahun sesudahnya. Lisa merebut gelar lifter terbaik yunior di kelas 48 kg. Pada ajang Pra-PON 1999, Lisa juga menjadi yang terbaik pada kelas 48 kg. Kemudian pada PON 2000, Lisa meraih medali emas.
Lisa kemudian diajak berlatih di Banjarmasin oleh Pengurus Daerah Persatuan Angkat Besi, Berat, dan Binaraga Seluruh Indonesia Kalimantan Selatan. Demi mendukung prestasi anaknya, sang ayah, Levinus Rumbewas, yang dikenal sebagai binaragawan nasional nyaris tanpa tandingan pada tahun 1970-an, boyongan pindah bersama keluarganya.
Doa ibu
Dengan jejak prestasi yang masih pendek, Lisa kaget terpilih sebagai atlet Olimpiade 2000. Keputusan memberangkatkan Lisa ke panggung Olimpiade sempat menuai kontroversi karena dibandingkan beberapa lifter putri lainnya, Lisa dianggap minim pengalaman berlomba di tingkat internasional.
Namun, alih-alih terpengaruh kontroversi, Lisa dengan sportif membuktikan diri pantas mendapat tiket ke Olimpiade. Berbagai kritik mendorong Lisa berhasil mengukir prestasi.
Perjalanan Lisa ke podium Olimpiade tidak mudah. Saat tampil di Sydney, epilepsinya kambuh di tengah-tengah lomba. Ibunda Lisa yang paling tahu bagaimana merawat Lisa, tidak bisa masuk ke ruang atlet karena bukan bagian ofisial tim.
Dari kejauhan sang ibunda melihat anaknya tidak sadarkan diri. ”Saya hanya bisa berdoa. Kalau Tuhan memberi Lisa kesempatan untuk menjadi atlet, Tuhan pasti memberi perlindungan untuk anak saya,” ujar Ida.
Betapa berharganya doa seorang ibu. Beberapa waktu kemudian, Lisa sadar dan bisa melanjutkan perlombaan.
Ketika dinyatakan mendapatkan perak, wajah Lisa tetap datar saja. Dia memang dikenal sebagai lifter yang selalu tampil ”dingin”. ”Tugas saya adalah mengangkat beban. Saya berusaha dengan maksimal. Setelah itu, ya, sudah, saya tidak terlalu peduli dengan hasilnya,” kata Lisa.
Selain mendapatkan tiga medali Olimpiade, Lisa juga bersinar di level regional. Lisa mengantongi medali perak SEA Games Kuala Lumpur 2001, kemudian berlanjut pada Kejuaraan Angkat Besi Dunia 2006 di Santo Domingo, Dominika, juga meraih perak. Pada SEA Games 2009, Lisa mendapatkan medali emas pada kelas 58 kg.
Dukungan dari orangtua sekaligus pelatih dan kedisiplinan menjadi salah satu kunci kesuksesan lifter putri yang dikenal pendiam ini.
Penampilan terakhir Lisa di panggung angkat besi adalah pada PON 2000. Setelah itu, dia kembali ke kampung halaman. Lisa melanjutkan hidup sebagai pegawai negeri sipil. Hidup sebagai rakyat biasa membuat Lisa merasa lebih santai. ”Ketika di pelatnas, saya harus mengikuti jadwal latihan dan kejuaraan yang sangat padat. Tinggal juga di asrama, tidak ada kebebasan. Sekarang lebih santai,” katanya.
Meski tidak lagi menjalani hidup sebagai atlet, Lisa masih dekat dengan dunia angkat besi. Lisa melatih angkat besi untuk anak-anak dan remaja di sekitar rumahnya.
Dia berharap ada lifter lain yang mengikuti jejaknya, meraih tiga medali Olimpiade. Namun, prestasi tidak jatuh dari langit, prestasi perlu perjuangan.
”Meski ada fasilitas yang lengkap, yang paling penting sebenarnya adalah kemauan anak untuk berprestasi,” ujar Lisa.