logo Kompas.id
Gagasan Capres tentang Isu HAM...
Iklan

Gagasan Capres tentang Isu HAM di Ajang Debat Dinilai Belum Substantif

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) menilai, adu gagasan tentang penyelesaian kasus hak asasi manusia berat dalam debat calon presiden tidak substantif. Komitmen capres masih dipertanyakan.

Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI, PRAYOGI DWI SULISTYO
· 5 menit baca
https://cdn-assetd.kompas.id/otHLPCX_5e5awVgAvHdD0GEXSz4=/1024x1017/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F06%2F16%2F0305b654-402e-43b2-b0c3-a00179708d1d_jpg.jpg

JAKARTA, KOMPAS — Adu gagasan tentang penyelesaian kasus pelanggaran hak asasi manusia berat masa lalu di debat perdana calon presiden, Selasa (12/12/2023) malam, dinilai belum menyentuh substansi persoalan karena keterbatasan waktu. Keluarga korban bahkan menilai isu HAM masih menjadi komoditas yang terus diperdagangkan di tahun politik. Komitmen penyelesaian hukum yang ditagih para korban.

Pada saat debat capres di gedung Komisi Pemilihan Umum, Selasa malam, calon presiden Ganjar Pranowo menanyakan penyelesaian 12 kasus pelanggaran HAM berat masa lalu kepada Prabowo Subianto. Ia menyebut soal 12 kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Menurut mantan Gubernur Jawa Tengah itu, pada 2009, DPR sudah mengeluarkan empat rekomendasi kepada Presiden.

Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Kunjungi Halaman Pemilu

Empat rekomendasi itu, di antaranya, membentuk pengadilan HAM, menemukan 13 korban penghilangan paksa pada 1997-1998, pemulihan dan kompensasi pada korban pelanggaran HAM berat, serta meratifikasi Konvensi Antipenghilangan Paksa. Ganjar menanyakan apakah Prabowo akan melaksanakan seluruh rekomendasi itu jika terpilih sebagai presiden RI nanti.

Koordinator Kontras Dimas Bagus Arya yang rutin mengikuti kegiatan Kamisan di depan Istana Negara, Rabu (13/12/2023), berpendapat, debat calon presiden periode 2024-2029 dinilai kurang maksimal untuk menggali gagasan para capres karena waktu pemaparan yang terbatas. Akibatnya, isu HAM belum dibahas secara substantif ke inti permasalahan.

Diskursus mengenai penegakan hukum atas kasus pelanggaran HAM berat memang sempat menjadi isu panas antara Ganjar dan Prabowo di debat. Kontras menyayangkan Ganjar hanya menyebut 12 kasus pelanggaran HAM berat. Padahal, hasil penyelidikan Komnas HAM menyatakan terdapat 17 kasus pelanggaran HAM berat.

https://cdn-assetd.kompas.id/j4SiE8Llv61JjXj-pgo300Ar1Uk=/1024x683/filters:watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F12%2F12%2F0b23f85f-d8b2-436a-916e-c8981e21f20b_jpg.jpg

Ketiga calon presiden (kanan ke kiri), Anies Baswedan, Prabowo Subianto, dan Ganjar Pranowo, mengikuti debat yang diselenggarakan Komisi Pemilihan Umum (KPU) di Kantor KPU, Jakarta, Selasa (12/12/2023).

Khusus untuk Prabowo, Kontras juga menilai tidak ada keberanian darinya untuk berkomitmen menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat. Tanggapan Prabowo justru dinilai mengafirmasi dirinya yang diduga kuat terlibat dalam kasus penghilangan paksa aktivis tahun 1997-1998.

Baca juga: Ganjar dan Prabowo Saling Serang dalam Isu Kasus HAM Berat Masa Lalu

”Dua pola jawaban yang muncul adalah beberapa korban penculikan aktivis 1997-1998 yang telah dikembalikan sudah berada di pihak Prabowo mencampuradukkan hubungan politik personal korban dengan dirinya. Alih-alih mengemukakan strategi yang akan dilakukan untuk menyelesaikan kasus HAM berat, Prabowo justru berlindung di balik dukungan politik aktivis 98 kepadanya,” kata Dimas.

Kontras berkesimpulan para capres belum sepenuhnya bisa memaparkan gagasan, visi-misi, dan program unggulan untuk menyelesaikan kasus HAM berat, baik yang terjadi di Papua maupun kasus HAM berat masa lalu.

Iklan

Politisasi

Maria Katarina Sumarsih (71), orangtua Bernardinus Realino Norma Irmawan atau Wawan yang meninggal ditembak dalam Tragedi Semanggi I, mengatakan, dirinya bersama rekan-rekannya yang tergabung di dalam Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK) terus menyuarakan pertanggungjawaban negara atas terjadinya berbagai peristiwa pelanggaran HAM berat melalui aksi Kamisan. Namun, pelanggaran HAM berat tersebut justru dipolitisasi tiap pemilu.

Sesuai Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, Komnas HAM telah menyelidiki kekerasan negara yang terjadi pada 1998 dalam berkas perkara Semanggi I, Semanggi II, dan Trisakti; kerusuhan 13-15 Mei 1998; serta penghilangan orang secara paksa atau penculikan aktivis pro-demokrasi. Hasil penyelidikannya terbukti ada dugaan terjadinya pelanggaran HAM berat, yaitu terjadinya kejahatan kemanusiaan.

Pada 11 Januari 2023, Presiden Joko Widodo atas nama negara mengakui adanya 12 perkara pelanggaran HAM berat, termasuk kejahatan kemanusiaan yang terjadi pada 1998. Dengan adanya pengakuan negara, seharusnya Presiden Jokowi segera memberhentikan para penjahat kemanusiaan yang menempati jabatan strategis dalam pemerintahannya.

”Segera menugaskan Jaksa Agung untuk menindaklanjuti berkas penyelidikan Komnas HAM ke tingkat penyidikan sebagaimana diatur di dalam Pasal 21 UU No 26/2000 tentang Pengadilan HAM sebagai langkah awal penanganan pelanggaran HAM berat masa lalu untuk membentuk pengadilan HAM ad hoc,” kata Sumarsih.

Sumarsih (69), ibu dari aktivis mahasiswa yang menjadi korban penembakan aparat dalam peristiwa Semanggi I, 13 November 1998, saat ditemui di rumahnya, Rabu (5/5/2021).
DIAN DEWI PURNAMASARI

Sumarsih (69), ibu dari aktivis mahasiswa yang menjadi korban penembakan aparat dalam peristiwa Semanggi I, 13 November 1998, saat ditemui di rumahnya, Rabu (5/5/2021).

Ia menjelaskan, pengadilan HAM ad hoc perlu dibentuk untuk menghukum orang yang bersalah agar jera dan tidak mengulangi kejahatannya di masa depan. Pengadilan HAM ad hoc membuat jelas siapa pelaku kejahatan kemanusiaan.

Di ujung sisa waktu pemerintahan Presiden Jokowi, Sumarsih berharap Presiden Jokowi memenuhi janji kampanye sebelum menjadi presiden, yaitu menghapus impunitas dengan mewujudkan terbentuknya pengadilan HAM ad hoc Semanggi I, Semanggi II, dan Trisakti yang salah satu korbannya adalah anaknya.Ia menambahkan, keluarga korban pelanggaran HAM perlu diberi tahu makam korban yang sudah meninggal. Itu sebagai bentuk jiwa kesatria sebagai seorang prajurit yang bertanggung jawab atas sikap dan tindakannya. Bagi keluarga korban, ada kepastian status kependudukan terhadap keluarganya yang hilang.

Dimintai tanggapan soal materi debat capres soal HAM, cawapres nomor urut 3, Mahfud MD, mengatakan, Ganjar Pranowo memang menanyakan perkembangan penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat sejak tahun 2009. Pada 2009, Pansus DPR memberikan rekomendasi kepada presiden untuk membuat pengadilan HAM untuk sejumlah kasus, yaitu 13 korban penghilangan paksa pada 1997-1998, memulihkan dan memberi kompensasi kepada korban pelanggaran HAM berat, serta meratifikasi Konvensi Antipenghilangan Paksa.

DPR juga meminta pemerintah mencari 13 korban penghilangan paksa agar mereka ditemukan sehingga ibu korban tidak terus menanti kejelasan nasib anaknya. Namun, menurut Mahfud, sejak 2009 kasus itu tak bergerak. Kejaksaan Agung menyatakan bukti tidak cukup untuk dibawa ke pengadilan. Alhasil, kasus harus bolak-balik dari Komnas HAM selaku penyelidik ke Kejaksaan Agung selaku penyidik dan penuntut umum.

”Saya sendiri sudah membuat langkah (non yudisial) untuk menyelesaikan korbannya. Korban itu misalnya eks mahid atau mahasiswa ikatan dinas yang di luar negeri ada 100 lebih orang yang sekolah, lalu tidak boleh pulang ke Indonesia karena dianggap terlibat Gerakan 30 September 1965. Karena mereka korban kebijakan rezim Orde Baru, kami selesaikan permasalahan itu,” kata Mahfud kepada wartawan, Rabu.

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD memberikan keterangan kepada wartawan di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (11/12/2023).
NINA SUSILO

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD memberikan keterangan kepada wartawan di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (11/12/2023).

Korban pelanggaran HAM berat di Aceh, yaitu Peristiwa Simpang KAA 1999, Jambu Keupok 2003, dan Rumah Geudong 1989-1998, yang menjadi penanda dimulainya penyelesaian nonyudisial, menurut dia, juga sudah diberi bantuan untuk memperbaiki rumah dan modal usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Hal itu masih berjalan hingga sekarang karena masa kerja Tim Penyelesaian Nonyudisial Pelanggaran HAM yang Berat Masa Lalu (PPHAM) akan berakhir pada akhir Desember ini.

”Namun, untuk penegakan hukum ke pengadilan (penyelesaian yudisial) itu nanti harus diselesaikan oleh DPR. Sesuai dengan Pasal 43 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, pengadilan HAM ad hoc dibentuk atas usul DPR dengan keputusan presiden,” katanya.

Editor:
SUHARTONO
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000