"Wolbachia", Kunci Kemenangan Yogyakarta Melawan DBD
Bakteri "Wolbachia" menjadi senjata melawan keganasan virus demam berdarah dengue. Kota Yogyakarta menjadi saksi.
Masih segar dalam ingatan Totok Pratopo, masa-masa kelam sebelum tahun 2018. Pada masa itu, setiap tahun jelang musim hujan, warga kampungnya di Jetisharjo, Kelurahan Cokrodiningratan, Kota Yogyakarta, selalu was-was. Pasalnya, demam berdarah dengue (DBD) mengintai.
Bukan hanya membuat warga merana oleh penderitaan yang disebabkannya, penyakit itu juga membawa duka karena merenggut nyawa. Tahun 2016, dua warga di kampung itu meninggal karena DBD. “Tahun 2017, satu anak berusia 8 tahun meninggal,” ucap tokoh masyarakat Jetisharjo itu, Rabu (22/11/2023).
Kampung di pinggiran Kali Code yang membelah pusat kota Yogyakarta tersebut padat penduduk. Selain itu, kondisi sebagian kampung pun cenderung kumuh dan banyak genangan saat hujan. Kombinasi tersebut menjadi lingkungan yang ideal bagi perkembangan nyamuk Aedes aegypti, pembawa virus dengue.
Namun, mulai 2018, Totok yang juga pernah menjabat sebagai ketua rukun warga di kampung itu merasakan perbedaan nyata, yakni lenyapnya kasus DBD. Bahkan, di seluruh Kelurahan Cokrodiningratan, tahun ini hanya terdapat dua kasus saja. “Ini sungguh melegakan bagi kami masyarakat,” ujarnya.
Baca juga: Wolbachia, Senjata Baru di Tengah Meluasnya Penyebaran Demam Berdarah
Hal itu tentu saja bukan datang tiba-tiba. Kondisi tersebut terjadi berkat penerapan teknologi nyamuk ber-Wolbachia yang dikembangkan World Mosquito Program (WMP) Yogyakarta bekerja sama dengan Pusat Kedokteran Tropis Universitas Gadjah Mada (UGM), Monash University Australia, dan Yayasan Tahija. Riset itu dimulai sejak 2011.
Testimoni Totok tadi disampaikan dalam acara diskusi terkait teknologi itu di Gedung Pusat UGM, Yogyakarta. Hadir pula sebagai pembicara Peneliti Utama WMP Yogyakarta Adi Utarini; Direktur Pusat Kedokteran Tropis UGM Riris Andono Ahmad; dan Kepala Bidang Pencegahan, Pengendalian Penyakit, dan Pengelolaan Data Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta Lana Unwanah.
Cegah perkembangan
Teknologi ini pada prinsipnya memanfaatkan bakteri alami serangga bernama Wolbachia untuk mencegah perkembangan virus dengue di dalam tubuh nyamuk Aedes aegypti. Cara kerjanya, bakteri dimasukkan ke dalam telur nyamuk Aedes aegypti sehingga saat menetas, nyamuk itu akan membawa bakteri tersebut.
Jika nyamuk jantan yang sudah terinfeksi Wolbachia kawin dengan nyamuk betina yang tak terinfeksi Wolbachia, telurnya tak akan menetas. Jika nyamuk betina ber-Wolbachia kawin dengan jantan tak ber-Wolbachia maupun yang ber-Wolbachia, maka semua telurnya akan mengandung Wolbachia.
Jika menggigit manusia, Aedes aegypti yang ber-Wolbachia tidak akan menularkan virus dengue. Wolbachia akan terus hidup dan diturunkan dalam tubuh nyamuk ke generasi-generasi selanjutnya. Artinya, secara bertahap, populasi Aedes aegypti di alam akan didominasi oleh nyamuk yang tak lagi membawa bahaya bagi manusia.
Program pelepasan nyamuk ber-Wolbachia itu dilakukan secara bertahap pada 2016-2017 di sebagian wilayah Yogyakarta yang dipilih secara acak, termasuk di Jetisharjo. Setelah terbukti efektif, pelepasan nyamuk pun dilakukan di seluruh wilayah kota pada 2020.
Baca juga: Teknologi Wolbachia Menjanjikan untuk Pengendalian DBD
Dampaknya pun terasa kini. Berdasarkan data Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta, pada 2016, kasus DBD di ibu kota Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) itu mencapai 1.705 dengan tingkat kematian 0,4 persen. Adapun pada 2017, terdapat 414 kasus dengan angka kematian 0,5 persen.
Menurut Lana Unwanah, tahun ini hingga pertengahan November, kasus DBD “hanya” sebanyak 67 kasus dengan nol kematian. “Ini paling rendah sepanjang sejarah Kota Yogyakarta. Ini juga angka paling rendah dari seluruh lima kabupaten/kota di DIY,” ujarnya.
Padahal, sebelumnya, Kota Yogyakarta selalu menempati angka kasus DBD yang tertinggi di seluruh DIY. Bahkan, kasus di Yogyakarta juga kerap masuk kategori tinggi secara nasional.
Berkat kasus yang anjlok drastis itu, Lana mengatakan, pihaknya juga bisa menekan anggaran. Anggaran terbesar dalam penanggulangan DBD adalah membiayai fogging atau pengasapan untuk memberantas nyamuk di kawasan permukiman.
Pada 2016, Dinkes Yogyakarta melakukan 200 kali pengasapan karena tingginya kasus. Pada 2017 juga tercatat lebih dari 50 kali fogging. “Namun, tahun ini hingga pertengahan November baru sembilan kali fogging,” tutur Lana.
Padahal, Dinkes Yogyakarta telah mengalokasikan anggaran Rp 246 juta untuk 125 kali fogging tahun ini. Lana pun menyebutkan, pihaknya telah mengalihkan sekitar Rp 200 juta dari anggaran itu untuk kebutuhan penanggulangan penyakit lain, yakni tuberkulosis.
Polemik
Namun, belakangan mencuat polemik terkait nyamuk ber-Wolbachia ini. Narasi yang berkembang pada umumnya menyatakan nyamuk ini dapat membawa potensi bahaya bagi manusia di masa mendatang.
Menjawab itu, Adi Utarini menjelaskan, riset teknologi ini dilakukan dengan memakai metode yang paling tinggi kesahihannya, yaitu cluster randomized controlled trial. Riset juga dilakukan bertahap dengan disiplin ilmiah yang ketat selama 12 tahun.
Pelepasan nyamuk ber-Wolbachia dimulai dalam skala kecil di dua dukuh di Kabupaten Sleman dan dua dukuh di Kabupaten Bantul, dua-duanya di wilayah DIY, pada 2014. Hasil riset itu kemudian dikaji risikonya oleh tim independen yang dibentuk Kementerian Ristek Dikti pada 2016. Tim terdiri dari 24 orang lintas kepakaran.
Tim memfokuskan pada empat hal utama, yakni risiko terhadap kesehatan masyarakat, vektor atau nyamuk, lingkungan hidup, dan sosio-humaniora. Hasilnya, tim menyatakan risiko teknologi ini sangat rendah, di mana dalam jangka waktu 30 tahun ke depan peluang peningkatan bahaya dapat diabaikan.
Berdasarkan hasil kajian risiko itu, penelitian pun dilanjutkan dalam skala besar di Kota Yogyakarta, yakni pada 2016-2017. Setelah terbukti efektif, hasil riset kemudian diajukan ke Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang kemudian memberikan rekomendasi pada 2021.
“Kami juga memperoleh rekomendasi dari Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI),” ucap Utarini.
Dia mengatakan, Wolbachia bukan bakteri hasil modifikasi atau rekayasa genetika, melainkan bakteri alamiah. Hasil penelitian pun menunjukkan bakteri ini tidak dapat berpindah ke serangga lain maupun ke manusia. “Bakteri ini hanya bisa hidup di sel serangga,” tuturnya.
Baca juga: Teknologi ”Wolbachia” Bukan Hasil Rekayasa Genetik
Riris Andono Ahmad bahkan membuktikan pada dirinya sendiri bahwa gigitan nyamuk itu tak membahayakan. Dalam diskusi di UGM, dia membawa satu kotak berisi 1.200 ekor nyamuk ber-Wolbachia, lalu menempelkan lengannya ke kotak yang diselubungi kelambu itu.
Tak lama, nyamuk-nyamuk itu berkerubung di lengannya untuk menghisap darah. Aktivitas “memberi makan” nyamuk itu menjadi rutinitas bagi Riris dan para peneliti teknologi ini sejak 2011.
Riris pun menganggap polemik yang muncul saat ini sebagai hal yang wajar dalam setiap pengenalan teknologi baru. Dia mencontohkan, hal serupa juga terjadi saat pengenalan vaksin Covid-19 waktu pandemi lalu. “Ini memang bagian dari dinamika mengenalkan teknologi baru,” ujarnya.
Baca juga: ”Wolbachia” Kembali Digugat
Bakteri ini hanya bisa hidup di sel serangga
Terkait pemilihan Yogyakarta sebagai lokasi program, Riris menyebut, salah satunya karena kota ini padat penduduk dan tinggi kasus DBD. Program ini bisa berjalan efektif, baik dari segi keberhasilan maupun biaya, pada kota yang memiliki kondisi itu.
Selain itu, prasyarat lain pun terpenuhi, yakni kemudahan logistik, infrastruktur, dan lokasinya yang dekat dengan pusat penelitian di UGM. Saat ini, populasi Aedes aegypti ber-Wolbachia stabil pada angka 80 persen di Yogyakarta. “Kunci utama kesuksesan program adalah ketika bisa mengajak masyarakat memiliki program ini,” katanya.
Bagi Totok dan warga Yogyakarta lainnya yang telah membuktikan, teknologi ini memang menjadi hal yang disyukuri. Setidaknya, satu kekhawatiran besar setiap musim hujan datang kini telah hilang.