”Wolbachia” Kembali Digugat
Pelepasan nyamuk penyebar demam berdarah yang mengandung bakteri ”Wolbachia” di Yogyakarta sukses menurunkan kasus dan jumlah rawat inap akibat dengue. Namun uji serupa di Bali ditolak pemerintah dan masyarakat setempat.
Penyebaran nyamuk Aedes aegypti yang mengandung bakteri Wolbachia di Yogyakarta dan sekitarnya pada 2017-2020 sukses menurunkan 77 persen kasus dengue dan 86 persen penurunan rawat inap terkait dengue. Namun, ketika program ini akan diterapkan di Bali pada November 2023 ini, muncul penolakan dari pemerintah dan masyarakat setempat.
Pelepasan nyamuk A aegypti ber-Wolbachia di Yogyakarta dan Bali itu bagian dari World Mosquito Program di Indonesia. Proyek ini dilaksanakan di 12 negara dengan bantuan sejumlah lembaga donor yang bertujuan mengurangi penyebaran penyakit yang ditularkan nyamuk, seperti demam berdarah dengue (DBD), chikungunya, zika, dan demam kuning.
Pada saat bersamaan, Kementerian Kesehatan juga akan menguji penggunaan nyamuk pemicu DBD yang mengandung Wolbachia itu di lima kota, yaitu Semarang, Jakarta Barat, Bandung, Kupang, dan Bontang. Namun, proyek percontohan implementasi teknologi Wolbachia ini belum memunculkan penolakan dari masyarakat.
Wolbachia adalah bakteri alami yang terdapat pada lebih 60 persen serangga, seperti lalat buah, capung, dan kupu-kupu. Dalam penanganan DBD, bakteri ini disuntikkan ke telur nyamuk A aegypti dan telur nyamuk itulah yang disebarkan ke masyarakat. Saat menetas, nyamuk yang lahir akan mengandung bakteri Wolbachia.
Ketika nyamuk itu dewasa, nyamuk jantan ber-Wolbachia yang kawin dengan nyamuk betina yang tidak mengandung Wolbachia, maka nyamuk betina tetap akan bertelur, tetapi telurnya tidak bisa menetas. Jika nyamuk jantan dan betina yang sama-sama mengandung Wolbachia kawin, keturunannya otomatis juga mengandung Wolbachia. Namun, nyamuk betina ber-Wolbachia kawin dengan pejantan yang tidak ber-Wolbachia, semua anaknya akan tetap mengandung Wolbachia.
DBD disebabkan oleh virus dengue yang disebarkan oleh nyamuk A aegypti. Jika nyamuk itu mengandung bakteri Wolbachia, perkembangan virus dengue akan terhambat sehingga virus dengue tidak bisa ditularkan ke manusia. Langkah ini secara otomatis akan menekan kasus infeksi dengue, mengurangi potensi rawat inap terkait dengue, dan menekan biaya ekonomi akibat dengue.
Meski demikian, proses menyuntikkan bakteri Wolbachia ini bukanlah rekayasa genetika. Nyamuk yang mengandung Wolbachia pun tidak akan menjadi nyamuk transgenik karena tidak ada perubahan genetika yang terjadi.
Masyarakat sering menyalahartikan nyamuk ber-Wolbachia ini dengan nyamuk transgenik. Penggunaan nyamuk yang telah dimodifikasi secara genetika ini pernah dilakukan di beberapa negara, tetapi belum pernah dilakukan di Indonesia. Namun, karena kedua program riset ini sama-sama di dukung Bill & Melinda Gates Foundation sebagai salah satu pendonornya, kedua jenis riset berbeda ini sering dicampuradukkan.
Selain itu, dari proses uji di Yogyakarta, Bantul, dan Sleman yang didukung oleh tim dari Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan (FK-KMK) Universitas Gadjah Mada dan Yayasan Tahija, nyamuk ber-Wolbachia juga aman buat manusia. Bakteri ini hanya bertahan pada sel serangga hidup. Bakteri ini juga tidak bisa berpindah ke manusia karena ukuran bakteri lebih besar dari ukuran probosis, alat pengisap darah pada nyamuk.
Pelepasan nyamuk ber-Wolbachia ini juga terbukti aman bagi lingkungan. Bakteri ini dapat menetap dan berkembang biak secara alamiah di lingkungan alaminya. Setelah beberapa bulan dilepaskan, persentase nyamuk A aegypti ber-Wolbachia di lokasi uji mencapai 70-85 persen (Kompas, 10 April 2017).
Jika persentase nyamuk A aegypti ber-Wolbachia sudah cukup tinggi, pelepasan nyamuk baru akan dihentikan. Selain itu, di lokasi yang menjadi tempat penyebaran nyamuk juga tidak ditemukan adanya penularan lokal yang signifikan dan tidak terjadi kejadian luar biasa dengue.
Baca juga: Teknologi ”Wolbachia” Menjanjikan untuk Pengendalian DBD
Tidak mudah diterima
Meski proses uji pelebasan nyamuk ber-Wolbachia di Yogyakarta dan sekitarnya berjalan sukses, bukan berarti tidak ada masalah atau penolakan dari masyarakat. Pelepasan nyamuk merupakan salah satu mata rantai krusial karena melibatkan masyarakat. Karena itu, mereka melibatkan sejumlah ahli dalam pelibatan komunitas masyarakat dan komunikasi massa.
Meyakinkan aparat pemerintahan dari tingkat provinsi hingga kelurahan/desa juga tidak mudah. Belum lagi, banyak desas-desus yang berkembang yang membuat masyarakat yang semula setuju dengan proses uji tersebut kemudian berbalik menolaknya.
Karena itu, pelepasan nyamuk baru dilakukan setelah ada izin dari Komisi Etik FK-KMK UGM, pemerintah dari provinsi hingga kabupaten/kota, serta ada persetujuan (informed concent) dari masyarakat yang terlibat.
Masyarakat yang bersedia rumahnya menjadi lokasi pelepasan nyamuk juga didampingi oleh tim yang memang memahami komunikasi dengan masyarakat. Tim pendamping inilah yang menerima segala keluh kesah masyarakat di bulan-bulan awal pelepasan nyamuk. Ada masyarakat yang mengeluh nyamuk bertambah banyak hingga gigitan nyamuk jadi lebih sakit.
Sebaik apa pun hasil riset tidak akan memberi hasil optimal jika tidak mampu diterapkan di masyarakat.
Pendamping juga mengedukasi masyarakat untuk membedakan antara bentuk dan waktu gigitan antara nyamuk biasa dan nyamuk A aegypti. Nyamuk biasa menggigut malam hari, sedangkan nyamuk A aegypti menggigit pagi dan sore hari. Mereka juga mengajarkan masyarakat membedakan panas flu dan panas yang jadi gejala DBD. Mereka juga memberikan repellent atau zat pengusir nyamuk guna mangantisipasi kemungkinan lonjakan jumlah nyamuk.
Proses ini membuat masyarakat tidak hanya dijadikan sebagai obyek studi karena rumahnya menjadi tempat penetasan telur nyamuk yang mengandung Wolbachia. Masyarakat justru menjadi ujung tombak yang menyebarkan manfaat teknologi nyamuk ber-Wolbachia serta pengetahuan tentang seluk-beluk penyakit DBD lebih dalam. Akhirnya seiring waktu, keluhan masyarakat makin menurun, pengetahuan mereka makin bertambah, dan program pun bisa berjalan.
Kekhawatiran masyarakat itu wajar mengingat teknologi nyamuk A aegypti ber-Wolbachia merupakan hal baru. Terlebih dalam uji kali ini, masyarakat baru selesai menghadapi pandemi Covid-19 yang memberi trauma tersendiri. Karena itu, pelaksana program perlu memberikan penjelasan dan pendampingan sebaik-baiknya kepada masyarakat yang menjadi sasaran program.
Di sisi lain, kabar bohong atau hoaks dan mispersepsi tentang Wolbachia terlalu banyak beredar di media sosial. Ada yang mengkhawatirkan riset ini memicu mutasi yang mengarah pada keganasan, menuding riset ini sebagai alat propaganda pedagang vaksin global, hingga dianggap virus penyebar orientasi seksual menyimpang (LGBT). Sayang, wacana untuk menangkal berbagai hoaks dan mispersepsi itu di media sosial sangat terbatas.
Baca juga: ”Wolbachia”, Senjata Baru di Tengah Meluasnya Penyebaran Demam Berdarah
Lebih efektif
Penggunaan nyamuk A aegypti ber-Wolbachia ini dinilai sejumlah ahli dan pemerintah sebagai strategi mengatasi DBD yang lebih efektif serta aman bagi manusia dan lingkungan. Langkah maju ini diperlukan karena berbagai upaya mengatasi DBD yang selama ini dilakukan dinilai kurang efektif. Jumlah kasus DBD terus meningkat meski tingkat kematiannya semakin bisa ditekan. Mereka yang jadi korban meninggal akibat DBD sebagian besar adalah anak-anak.
Selama ini, pencegahan DBD bertumpu pada upaya memutus rantai penularan dengan pemberantasan sarang nyamuk (PSN) melalui gerakan 3M plus (menguras, menutup, mendaur ulan, dan sejumlah tindakan pencegahan tambahan). Namun, masih ada tempat perindukan nyamuk yang terlewatkan. Selain itu, gerakan ini juga menuntut kesadaran semua kalangan karena seseorang bisa terinfeksi dengue di mana saja, baik sekolah, rumah, pasar, tempat ibadah, mal, maupun tempat umum lain.
Cara lain yang sering dianggap manjur oleh masyarakat adalah dengan fogging atau pengasapan. Cara ini biasanya dilakukan bila ada indikasi penularan DBD di satu wilayah tertentu. Namun, cara ini hanya membunuh nyamuk dewasa, sedangkan telur dan larva nyamuk yang hidup di genangan tidak akan terpengaruh. Pengasapan ini juga bisa memicu resistensi insektisida.
Metode lain yang digunakan untuk mencegah DBD adalah dengan vaksinasi dengue. Namun, vaksin dengue yang ada di pasaran masih sangat terbatas. Efektivitasnya pun masih rendah sehingga belum bisa memberikan perlindungan penuh. Vaksin pun biasanya dibuat berdasarkan serotipe atau jenis virus dengue tertentu, yang belum tentu sesuai dengan jenis virus yang ada di daerah lain. Belum lagi, vaksin biasanya hanya efektif pada kelompok populasi tertentu.
Karena itu, Wolbachia dianggap cara yang inovatif dan efektif untuk mengatasi stagnasi pencegahan DBD yang telah berlangsung selama beberapa dekade terakhir. Padahal, WHO pada awal 2020 telah memasukkan dengue sebagai satu dari 10 penyakit yang menjadi ancaman kesehatan global.
Setiap tahun, diperkirakan ada 390 juta infeksi dengue di seluruh dunia dan 96 juta kasus di antaranya memiliki manifestasi klinik dengan tingkat keparahan penyakit yang bervariasi. Dengue yang tidak tertangani bisa memicu kejadian luar biasa (KLB), dengue berat, hingga kematian.
Di Indonesia, Kementerian Kesehatan pada 2022 mencatat bahwa dengue telah tersebar di seluruh provinsi dan 90 persen kabupaten/kota. Selama 2022, ada 143.226 kasus DBD dan 1.237 kematian akibat DBD. Penyakit ini banyak ditemukan di daerah dengan jumlah penduduk banyak dan kepadatan tinggi, seperti Jawa, Bali-Nusa Tenggara, serta sebagian Sumatera dan Sulawesi.
Tingginya kasus DBD juga membebani ekonomi negara. Strategi Nasional Penanggulangan Dengue 2021-2025, Kementerian Kesehatan memperkirakan biaya pengobatan dengue pada 2015 mencapai Rp 5,3 triliun atau setara 3 persen APPBN tahun tersebut. Pada 2017, beban ekonomi itu diprediksi meningkat dua kali lipat dibandingkan biaya tahun 2015.
Ke depan, pencegahan DBD akan semakin sulit. Selain persoalan teknis dan program, pertambahan penduduk, globalisasi, kemajuan transportasi, pergerakan manusia, hingga pertumbuhan kota-kota yang tidak terencana akan makin meningkatkan potensi infeksi dengue. Resistensi insektisida dan perubahan iklim akan semakin memperparah dan memperluas daerah sebaran nyamuk A aegypti.
Meksi demikian, metode apa pun yang akan dipilih untuk memberantas DBD seharusnya senantiasa berorientasi pada masyarakat. Karena itu, edukasi, pemahaman terhadap budaya masyarakat, komunikasi sains ke publik, hingga penanggulangan hoaks dan misinformasi yang cepat menyebar di media sosial, juga harus dilakukan masif.
Baca juga: Teknologi ”Wolbachia” Bukan Hasil Rekayasa Genetik
Sebaik apa pun hasil riset tidak akan memberi hasil optimal jika tidak mampu diterapkan di masyarakat. Untuk penerapan itu, butuh pemahaman yang baik di masyarakat sehingga mereka tidak hanya dijadikan sasaran program, tetapi bisa menerima dengan lapang dada, bahkan menjadi aktor yang turut menyebarkan kebaikan dan keunggulan upaya inovatif tersebut.