Di Balik Mahalnya UKT, Pendidikan Tinggi Belum Jadi Prioritas di APBN
Polemik mahalnya uang kuliah tunggal berakar dari perencanaan dan penggunaan anggaran pendidikan yang tidak efektif.
JAKARTA, KOMPAS — Fenomena mahalnya uang kuliah tunggal atau UKT menunjukkan minimnya perhatian pemerintah pada pengembangan pendidikan tinggi di Indonesia. Anggaran untuk pendidikan tinggi dalam APBN masih jauh dari ideal dan belum sesuai skala prioritas. Audit menyeluruh atas perencanaan dan penggunaan anggaran pendidikan kian mendesak.
Di atas kertas, alokasi anggaran pendidikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebenarnya termasuk besar, yakni 20 persen dari total APBN. Anggaran pendidikan yang merupakan belanja wajib (mandatory spending) itu terus naik dari tahun ke tahun, sejalan dengan APBN yang terus meningkat.
Baca juga: Soal Kenaikan UKT, Apa yang Sebenarnya Terjadi?
Namun, anggaran yang besar itu belum menjawab persoalan tingginya biaya pendidikan di Indonesia, khususnya untuk jenjang pendidikan tinggi. Akhir-akhir ini muncul banyak keluhan tentang UKT yang membuat sebagian mahasiswa perguruan tinggi negeri menunggak pembayaran, terjerat pinjaman daring, dan tidak bisa meneruskan kuliah.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal, Kamis (23/5/2024), mengatakan, isu mahalnya UKT itu mengungkap minimnya prioritas pemerintah dalam mengembangkan akses pendidikan tinggi. Hal itu tampak dari dua aspek, yakni besaran alokasi anggaran yang terlalu kecil serta penggunaan anggaran yang belum efektif.
Dari sisi besaran alokasi, anggaran untuk pendidikan tinggi hanya mencakup sekitar 0,6-1,6 persen dari APBN. Masih jauh dari standar ideal yang ditetapkan Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan PBB (UNESCO) sebesar 2 persen dari APBN.
Pada tahun 2024, dari total belanja negara Rp 3.325 triliun, anggaran pendidikan tinggi yang dikelola di bawah Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) mendapat alokasi Rp 56,1 triliun alias 1,6 persen dari total APBN.
Anggaran untuk pendidikan tinggi hanya mencakup sekitar 0,6-1,6 persen dari APBN.
Kemdikbudristek selaku garda terdepan pendidikan pun hanya mendapat total anggaran Rp 98,98 triliun atau 15 persen dari total anggaran pendidikan yang ada di APBN. Porsi terbesar dari belanja pendidikan itu (Rp 346,5 triliun atau 52 persen) dialokasikan untuk transfer ke daerah (TKD) dalam bentuk Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK).
”Jadi, kecil sekali hitungannya. Tidak sebanding dengan 4.000 perguruan tinggi yang ada. Belum lagi untuk kebutuhan operasional kementerian, juga untuk kebutuhan lain dari penyelenggaraan pendidikan, riset, dan beasiswa,” katanya saat dihubungi di Jakarta.
Di tengah besaran alokasi yang minim, penggunaan anggaran pendidikan juga belum efektif dan sesuai skala prioritas. Ia mencontohkan, masih digunakannya anggaran pendidikan untuk pendidikan dan pelatihan aparatur sipil negara (ASN) serta porsi yang cukup besar untuk kebutuhan birokrasi dan administrasi di kementerian.
Di tengah anggaran yang minim itu, pada akhirnya banyak perguruan tinggi yang menggalang dana dari iuran mahasiswa alias UKT. ”Semakin minimnya alokasi anggaran untuk lembaga perguruan tinggi, semakin tinggi juga rate kenaikan UKT dari tahun ke tahun, baik perguruan tinggi negeri maupun swasta,” ucap Faisal.
Baca juga: Respons Nadiem Soal UKT Tidak Tegas
Tak berwenang
Isu anggaran ini turut menjadi sorotan Sekretaris Jenderal Kemendikbudristek Suharti dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR mengenai polemik biaya UKT, Selasa (21/5/2024). Suharti menilai, tidak ada koordinasi terpusat mengenai anggaran pendidikan pada K/L.
Tidak ada kriteria atau standar kebijakan untuk memastikan alokasi anggaran pendidikan dihitung dengan mekanisme yang sama lintas kementerian. Bahkan, anggaran pendidikan masih saja dipakai untuk pendidikan kedinasan (untuk calon ASN dan ASN) meski hal itu sudah dilarang dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Menurut Suharti, Kemdikbudristek tidak punya peran dalam memutuskan alokasi anggaran pendidikan. Kewenangan itu milik Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas) serta Kementerian Keuangan.
Kemendikbudristek juga tidak bisa ikut campur memberikan masukan terkait penggunaan anggaran pendidikan yang tersebar di K/L lain. Padahal, alokasi anggaran pendidikan pada K/L lain terhitung besar, yakni Rp 142,4 triliun atau 21 persen dari total anggaran pendidikan.
Kemdikbudristek tidak punya peran dalam memutuskan alokasi anggaran pendidikan.
”Pada tahun 2022, kami sudah menginisiasi revisi peraturan pemerintah (PP) tentang pendanaan pendidikan yang mengamanatkan bahwa Kemendikbudristek dengan Bappenas dan Kemenkeu secara bersama menyetujui pengalokasian anggaran pendidikan. Namun, ini belum bisa dilaksanakan karena PP belum bisa dilakukan perubahannya,” kata Suharti.
Dibenahi besar-besaran
Faisal mengingatkan, pengembangan akses terhadap pendidikan tinggi krusial dalam upaya membangun kualitas sumber daya manusia (SDM) Indonesia. ”Kita tentunya tidak mau bangsa kita hanya memiliki pendidikan dasar yang rendah. Kita mau masyarakat juga punya akses pendidikan tinggi agar bisa menduduki jabatan dan posisi tinggi,” katanya.
Oleh karena itu, evaluasi atas perencanaan dan penggunaan anggaran pendidikan mutlak diperlukan. Pertama, jatah alokasi anggaran untuk pendidikan tinggi perlu dinaikkan hingga mendekati standar UNESCO. Penggunaannya pun perlu diaudit dan diawasi dengan lebih ketat.
”Evaluasi lagi, apakah anggaran pendidikan sudah sesuai prioritas? Misalnya, untuk gaji dosen, kebutuhan riset dan pengembangan di kampus, serta bantuan untuk mahasiswa kurang mampu. Bukan untuk pendidikan dan pelatihan ASN serta birokrasi kementerian,” ujarnya.
Baca juga: Wapres: Biaya Pendidikan Jangan Dibebankan ke Mahasiswa Semua
Kedua, mencari skema pembiayaan alternatif untuk melapangkan akses pendidikan tinggi bagi mahasiswa. ”Misalnya, lewat kerja sama pemerintah dan sektor swasta. Bisa dalam bentuk program magang berbayar bagi mahasiswa atau program kerja sambil kuliah agar mahasiswa bisa menutupi biaya UKT,” katanya.
Opsi lainnya adalah pinjaman pendidikan (student loan) seperti yang diterapkan di sejumlah negara maju. Pinjaman ini diberikan kepada mahasiswa dengan bunga sangat rendah dan dibayarkan ketika sudah masuk ke dunia kerja. Namun, skema ini perlu hati-hati dikaji agar tidak memberatkan mahasiswa untuk jangka panjang setelah lulus.
Lembaga think-tank SMERU Research Institute pernah membuat kajian soal skema pinjaman pendidikan itu. Menurut anggota tim peneliti, Daniel Suryadharma, skema itu bisa diterapkan di Indonesia melalui konsep pinjaman berbasis pendapatan (income-contingent loan/ICL) yang fleksibel agar tidak memberatkan mahasiswa dalam melunasi pinjaman saat sudah bekerja.
”Konsepnya, mahasiswa baru mulai membayar pinjaman begitu pendapatan mereka mencapai level tertentu. Saat income mereka masih kecil, beban cicilannya juga kecil, dan cicilan semakin besar ketika income mereka meningkat,” kata Daniel.
Mahasiswa baru mulai membayar pinjaman begitu pendapatan mereka mencapai level tertentu.
Dalam skema pinjaman ICL itu, pemerintah wajib memberikan subsidi dan jaminan melalui APBN. Namun, implementasi program ini akan sangat bergantung pada kebijakan dan sistem perpajakan yang berlaku. ”Sebab, untuk menetapkan besaran cicilan, pemerintah harus bisa mengakses data pendapatan pribadi mahasiswa yang mengambil pinjaman,” ujarnya.
Adapun Kementerian Keuangan belum memberi tanggapan atas isu anggaran pendidikan dan biaya UKT yang mahal. Saat dihubungi, Kepala Pusat Kebijakan Ekonomi Makro di Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu Abdurrahman belum bisa berkomentar banyak karena hal itu masih dibicarakan secara internal. ”Nanti saya cek update-nya,” ujarnya.
Sementara Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, di Istana Negara, Rabu, mengatakan, sampai saat ini belum ada pembahasan lebih lanjut antara dirinya dan Mendikbudristek Nadiem Makarim mengenai rencana menyikapi mahalnya UKT melalui pinjaman khusus mahasiswa atau student loan.