Perubahan Iklim Bisa Pangkas Seperlima Pendapatan Dunia
Jika dunia gagal mengantisipasi krisis iklim, sebanyak 19 persen pendapatan dunia akan terpangkas pada 2049.
Oleh
DIMAS WARADITYA NUGRAHA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dalam 25 tahun ke depan atau pada 2049, dampak kerusakan akibat krisis iklim diprediksi akan memangkas 19 persen pendapatan dunia. Hal ini didorong oleh biaya kerusakan akibat perubahan iklim yang naik hingga enam kali lipat lebih tinggi dibandingkan dana yang dibutuhkan untuk membatasi pemanasan global.
Dalam jurnal ilmiah berjudul ”Komitmen Ekonomi terhadap Perubahan Iklim” yang dibuat tim peneliti dari Potsdam Institute for Climate Impact Research, Jerman, tertulis bahwa pendapatan sejumlah negara dunia akan terpangkas akibat kerusakan infrastruktur yang dipicu curah hujan tinggi, kenaikan suhu, dan cuaca ekstrem.
Berdasarkan kalkulasi dalam jurnal tersebut, dampak kerusakan akibat krisis iklim membuat dunia rata-rata mengalami kerugian hingga 38 triliun dollar AS atau setara Rp 614.000 triliun per tahun pada 2049. Adapun menurut Bank Dunia, produk domestik bruto (PDB) global dapat melampaui 200 triliun pada 2050 jika pertumbuhan ekonomi tidak terhambat perubahan iklim.
Proyeksi nilai pendapatan dunia pada 2049 yang terpangkas akibat perubahan iklim, enam kali lipat lebih banyak dari perkiraan biaya yang dibutuhkan untuk membatasi kenaikan suhu global hingga 2 derajat celsius lewat transisi energi sekitar 6 triliun dollar AS.
”Jika tidak ada upaya signifikan dalam memitigasi perubahan iklim, hampir seperlima dari rata-rata PDB akan terpangkas pada 2050,” kata peneliti Postdam Institute for Climate Impact Research, Maximilian Kotz, dikutip dari jurnal tersebut, Minggu (21/4/2024).
Penurunan pendapatan yang kuat diproyeksikan untuk sebagian besar wilayah, termasuk Amerika Utara dan Eropa. Adapun negara-negara yang diproyeksikan pendapatannya akan paling terdampak dengan krisis iklim adalah negara-negara di Asia Selatan dan Afrika.
”Ini disebabkan oleh dampak perubahan iklim pada berbagai aspek yang relevan dengan pertumbuhan ekonomi seperti hasil pertanian, produktivitas tenaga kerja, atau infrastruktur,” ujar Kotz.
Jika tidak ada upaya signifikan dalam memitigasi perubahan iklim, hampir seperlima dari rata-rata PDB akan terpangkas pada 2050.
Dalam jurnal tersebut diperingatkan juga bahwa besarnya kerusakan akibat bencana alam yang dipicu besarnya emisi yang dibuang ke atmosfer melalui pembakaran gas, minyak bumi, dan batubara, akan berdampak pada perekonomian dunia selama beberapa dekade ke depan. Jika keadaan ini terus berlanjut, diproyeksikan rata-rata pendapatan dunia bisa terpangkas lebih dari 60 persen pada 2100.
Sementara itu di Indonesia, berdasarkan kalkulasi Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), potensi kerugian ekonomi kegagalan mengantisipasi dampak perubahan iklim dalam rentang 2021-2025 diproyeksi bisa mencapai Rp 600,45 triliun per tahun atau sekitar 3 persen dari PDB Indonesia sebesar Rp 20.600 triliun.
Deputi Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Alam Vivi Yulaswati menekankan, perubahan iklim akan secara konstan memengaruhi kehidupan manusia, termasuk di sektor perekonomian dan keuangan, sehingga pemerintah berupaya menghindari malapetaka perubahan iklim secara sistematis.
Salah satu upaya pemerintah dalam memitigasi dampak perubahan iklim adalah dengan memasukkan program pembangunan rendah karbon (PRK) dan ketahanan iklim dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045.
Di samping itu, pemerintah juga menjadikan penurunan emisi sebagai target konkret pembangunan berkelanjutan. ”Melalui kebijakan ekonomi hijau, Indonesia diharapkan dapat mencapai rata-rata PDB 6,22 persen hingga 2045, mengurangi emisi setara karbon dioksida 86 juta ton, dan menciptakan 1,8 juta lapangan kerja ramah lingkungan,” ujar Vivi kepada Kompas beberapa waktu lalu.