Menanti Putusan Perselisihan Pemilu di Tengah Ketidakpastian Ekonomi
Proses sengketa Pemilu yang berjalan baik akan memberikan sentimen positif bagi pasar.
Oleh
ERIKA KURNIA
·5 menit baca
Situasi perekonomian belakangan kembali dirundung ketidakpastian akibat eskalasi konflik di Timur Tengah. Sementara itu, masyarakat Indonesia juga tengah menanti putusan perselisihan Pemilu 2024 oleh Mahkamah Konstitusi. Akankah ini menambah gejolak perekonomian domestik?
Kabar dugaan serangan balik Israel di Iran pada Jumat (19/4/2024) pagi mendadak membuat dollar AS kembali melanjutkan penguatan setelah memanasnya konflik kedua negara pada pekan sebelumnya. Nilai tukar rupiah terhadap dollar AS pun terus anjlok. Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) mencatat, nilai tukar rupiah menjadi Rp 16.280 dibandingkan Rp 16.177 sehari sebelumnya. Level tersebut menyamai momentum krisis Covid-19 pada 2020 silam.
Bersamaan dengan itu, pasar modal ikut bergejolak yang ditandai amblesnya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ke posisi terendahnya selama 2024. Pada penutupan perdagangan Jumat (19/4/2024), IHSG berhenti di 7.087 atau minus 1,11 persen dibandingkan penutupan bursa sehari sebelumnya. Fluktuasi ini membuka peluang pemodal dari luar negeri menarik uangnya, bahkan ikut mendorong pemodal dalam negeri untuk berinvestasi ke produk berorientasi dollar.
Perkembangan konflik Timur Tengah yang begitu dinamis pun menjadi perhatian pelaku pasar. Di sisi lain, di dalam negeri ada isu politik yang perlu ikut diperhatikan. Sejak akhir Maret 2024, delapan hakim Mahkamah Konstitusi (MK) melangsungkan sidang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Pemilihan Presiden (Pilpres). Persidangan menyangkut gugatan atas hasil rekapitulasi Pilpres oleh Komisi Pemiliuan Umum (KPU).
Proses sidang ini pernah ikut memengaruhi pergerakan IHSG di awal April. IHSG yang sejak Pemilu di 14 Februari hingga pertengahan Maret 2024 bergerak di kisaran 7.300, mendadak tumbuh negatif 1 persen antara 18 Maret sampai 2 April.
Meski bukan satu-satunya faktor, Direktur Perdagangan dan Pengaturan Anggota Bursa pada Bursa Efek Indonesia (BEI) Irvan Susandy, dalam keterangannya pada Rabu (3/4/2024) menyebutkan, kian panasnya sidang MK memengaruhi sentimen pasar. Apalagi, dalam sidang MK tersebut terdapat agenda pemanggilan empat menteri sebagai saksi terkait tudingan politisasi bantuan sosial yang didanai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Seperti diketahui, pihak penggugat dalam sengketa itu adalah dua pasangan calon presiden dan wakil presiden, Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud. Dalam petitumnya, setidaknya mereka memohon kepada para hakim MK untuk mendiskualifikasi Gibran Rakabuming Raka selaku calon wakil presiden peraih suara terbanyak di Pilpres 2024. Kedua, memutuskan KPU melakukan putaran ulang Pemilu tanpa mengikutsertakan pasangan Prabowo-Gibran.
Para hakim telah melakukan rapat permusyawaratan hakim (RPH) sejak 16 April lalu. Hasil rapat itu kemudian akan diumumkan ke publik sebagai Putusan atas PHPU Pilpres 2024, Senin (22/4/2024).
Momentum ini disebut banyak pihak akan menjadi ujian bagi keberlangsungan Indonesia sebagai negara hukum dan demokrasi. Terlebih karena MK sebelumnya bermasalah lantaran mengubah persyaratan pencalonan presiden-wakil presiden, sehingga melapangkan jalan bagi Gibran selaku putra sulung Presiden Joko Widodo untuk maju di Pilpres. Perkara tersebut membuat Majelis Kehormatan MK (MKMK) memberhentikan Anwar Usman sebagai Ketua MK dan memutus seluruh hakim konstitusi terbukti melanggar kode etik dan perilaku hakim.
Proses hukum dan penerimaan pasar
Tidak hanya bagi iklim demokrasi dan politik, putusan MK ini juga bisa memberi konsekuensi baru pada situasi perekonomian. Kini, banyak pihak menebak arah putusan MK terhadap hasil Pilpres. Sesuai hak dan kewenangannya, MK tidak harus membuat putusan sesuai petitum penggugat. MK juga bisa mengabulkan sebagian permohonan penggugat PHPU.
Direktur Pusat Media dan Demokrasi Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), Wijayanto, berpendapat, secara normatif, apa pun putusan MK yang memiliki konsekuensi hukum pada pelanggar aturan Pemilu akan bagus untuk iklim demokrasi.
”Karena ini akan menjadi satu tradisi politik yang baru, bahwa konstitusi itu tidak bisa dilanggar, karena ketika dilanggar, akan ada konsekuensinya di kemudian hari,” ujarnya saat dihubungi Kompas beberapa waktu lalu.
Salah satu putusan yang mungkin dibuat, lanjutnya, adalah MK mendiskualifikasi Gibran karena terbukti ikut serta Pilpres 2024 atas pelanggaran perubahan syarat usia dan pencalonan presiden dan wakilnya. Putusan lain yang mungkin diambil adalah mengadakan pemilihan ulang. Bergantung skalanya, pemilihan ulang bisa memberi konsekuensi pada keuangan negara, bahkan ekses atau dampak melampaui batas yang susah diukur.
”Ekses ini bisa muncul dari sisi bagaimana publik bisa menerimanya atau tidak,” ucap dosen Program Studi Ilmu Pemerintahan Universitas Diponegoro itu.
Guru Besar Ilmu Ekonomi Didik J Rachbini, menilai, putusan besar seperti pemilu putaran ulang bisa mengecewakan kepercayaan publik. Jika tidak diantisipasi dan dikendalikan, efek tersebut bisa mengguncang sentimen pasar yang akan berimbas ke perekonomian yang bergantung pada stabilitas sistem.
”Pemilu ulang akan berat sekali. Kalau masyarakat guncang karena putusan MK, pasar bisa enggak percaya kepada Presiden, yang selama ini mengendalikan keadaan,” tuturnya saat dihubungi terpisah.
Di sisi lain, putusan MK yang tidak menimbulkan kegaduhan publik, terlepas dari konsekuensi hukumnya, dinilai akan lebih baik bagi kondisi ekonomi dalam waktu pendek. ”Pasar itu, mau pemimpinnya diktator atau monster, selama iklim usaha dan ekonomi stabil dan bisa bawa keuntungan, mereka jalan aja,” ujar salah satu pendiri Institute for Development of Economics and Finance (Indef) itu.
Senada, proses sengketa Pemilu yang berjalan baik, menurut Wakil Direktur Utama Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI) Jahen Fachrul Rezki, memang menjadi sentimen positif untuk pasar.
Namun, hal tersebut diharapkan sejalan dengan proses hukum yang baik pula. Pasalnya, hal tersebut akan memberikan kepastian dalam jangka waktu yang lebih panjang, baik dari segi hukum maupun ekonomi.
”Institutions or rule of law menjadi salah satu faktor pendorong perekonomian. Jika prosesnya berjalan dengan baik, saya yakin ini akan memberikan sentimen positif bagi masyarakat, bahwa Indonesia masih memiliki aturan dan proses hukum yang berjalan dengan baik. Akan tetapi kalau prosesnya masuk angin (seperti hakim tidak independen) tentunya akan memberikan sentimen negatif bagi banyak pihak, termasuk investor,” ujarnya.