Pelemahan Rupiah Berpotensi Picu Lonjakan Harga, Pengusaha Berharap ada Intervensi
Pelemahan rupiah saat ini tidak sedalam pada 1998 lantaran fundamental ekonomi Indonesia kini kuat dan solid.
JAKARTA, KOMPAS — Pelemahan nilai tukar rupiah secara terus-menerus berpotensi mengakibatkan harga-harga komoditas di pasar melonjak. Bank sentral diharapkan melakukan intervensi pasar guna menjaga stabilitas nilai tukar, sedangkan pemerintah dapat menjaga daya beli masyarakat melalui kebijakan stimulus.
Meski perdagangan spot rupiah selama sepekan terakhir atau selama periode Lebaran belum dibuka, berbagai pemberitaan menyebut rupiah telah menembus Rp 16.000 per dollar AS. Berdasarkan data Google Finance, misalnya, pelemahan rupiah menyentuh titik tertingginya pada level Rp 16.089 per dollar AS pada Jumat (12/4/2024).
Di sisi lain, data Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) menunjukkan, rupiah berada di level Rp 15.873 per dollar AS pada penutupan pasar Jumat (5/4/2024). Pelemahan rupiah sempat menyentuh level tertingginya sebesar Rp 15.923 per dollar AS atau terdepresiasi 2,9 persen dibandingkan dengan awal tahun 2024.
Baca juga: Antisipasi Dampak Rupiah dan Minyak
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta W Kamdani, pada Senin (15/4/2024), mengatakan, pelemahan rupiah tersebut dipastikan berdampak negatif terutama terhadap industri manufaktur nasional. Hal ini mengingat industri manufaktur masih bergantung pada impor bahan baku, bahan penolong, serta barang modal.
”Terbuka kemungkinan adanya kenaikan harga jual di pasar apabila pelemahan ini terjadi lebih dari sebulan. Imbasnya, inflasi harga pasar bisa menjadi lebih tinggi, pertumbuhan penjualan atau konsumsi pasar melambat dan memengaruhi inflasi apabila pemerintah tidak bisa menstabilkan penguatan nilai tukar. Kami sangat berharap pemerintah dapat menciptakan intervensi moneter yang dibutuhkan untuk menciptakan stabilitas atau penguatan nilai tukar,” katanya saat dihubungi dari Jakarta.
Shinta menambahkan, sekitar 80 persen dari total impor nasional merupakan bahan baku, bahan penolong, serta barang modal industri. Kondisi tersebut mengakibatkan biaya nonproduksi (overhead cost) industri manufaktur seluruh subsektor melonjak dan sangat memberatkan.
Sementara itu, gangguan terbesar yang akan dirasakan akibat pelemahan rupiah justru pada sisi penawaran atau produksi. Apindo memperkirakan, sebagian besar industri manufaktur akan menekan volume produksi akibat kenaikan beban biaya nonproduksi yang disebabkan oleh pelemahan rupiah.
”Tidak semua pelaku industri manufaktur bisa menanggung kenaikan beban overhead cost yang tinggi akibat pelemahan rupiah. Tahun lalu saja kami lihat beberapa industri secara voluntary menghentikan produksi sementara karena bahan baku impor yang menjadi mahal karena pelemahan nilai tukar,” tutur Shinta.
Harus ada stimulus dari pemerintah untuk menjaga ekonomi dan daya beli masyarakat terutama kelas menengah.
Wakil Ketua Umum Bidang Perindustrian Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bobby Gafur Umar menambahkan, pelemahan nilai tukar turut dialami oleh sejumlah negara kawasan, termasuk yen Jepang. Hal ini tidak lepas dari penguatan dollar AS seiring dengan tingkat ketidakpastian pemangkasan suku bunga acuan oleh Bank Sentral AS (The Fed) pada semester II-2024.
Baca juga: Industri Mulai Khawatir Pelemahan Rupiah terhadap Dollar AS
Kondisi ini semakin diperparah dengan memanasnya ketegangan geopolitik di Timur Tengah setelah Iran menyerang Israel. Selain mengakibatkan harga minyak dunia naik, eskalasi konflik tersebut juga dapat menyebabkan krisis ekonomi global lebih panjang.
Di sisi lain, kebergantungan pada impor terhadap bahan baku dan bahan penolong industri juga dapat memicu inflasi di tengah pelemahan nilai tukar. Oleh sebab itu, pemerintah perlu menyiapkan langkah-langkah antisipasi, salah satunya dengan menjaga tingkat inflasi yang pada Maret 2024 berada di atas ekspektasi.
”Kalau rupiah melemah, Bank Indonesia (BI) bisa kembali menaikkan suku bunga acuan lagi. Artinya, ekonomi akan semakin ketat dan belum ada kelonggaran. Maka dari itu, harus ada stimulus dari pemerintah untuk menjaga ekonomi dan daya beli masyarakat, terutama kelas menengah, agar tetap terjaga,” ujarnya.
Menurut Bobby, suku bunga kredit konsumsi, seperti properti dan kendaraan otomatis, akan terdampak akibat kenaikan suku bunga tersebut. Ia berharap akan ada intervensi di pasar spot rupiah agar nilai tukar kembali stabil pada Selasa (16/4/2024) saat pasar kembali buka.
Penguatan dollar AS
Selama sepekan terakhir, pasar keuangan global dipengaruhi oleh beberapa sentimen, antara lain ketegangan geopolitik di Timur Tengah dan penguatan dollar AS seiring rilis data ekonomi AS yang masih solid ketika pasar keuangan domestik sedang libur. Kedua sentimen ini berpengaruh terhadap pelemahan rupiah.
Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede menjelaskan, dua sentimen tersebut telah mendorong penguatan indeks dollar AS (DXY) atau indeks yang mengukur nilai tukar dollar AS terhadap mata uang utama, seperti euro, yen Jepang, pound sterling Inggris, dollar Kanada, krona Swedia, dan franc Swiss. Dalam sepekan, indeks dollar AS menguat hingga 1,7 persen ke level 106,04 atau tertinggi sejak November 2023.
”Penguatan dollar AS terhadap mata uang negara maju tersebut selanjutnya mendorong penguatan dollar AS terhadap mata uang Asia. Saat pasar keuangan domestik libur, maka nilai tukar yang bergerak hanya non-deliverable forward (NDF) rupiah terhadap dollar AS,” katanya.
NDF merupakan instrumen keuangan derivatif yang digunakan untuk hedging terhadap pergerakan nilai tukar antara dollar AS dan rupiah. NDF 1 bulan untuk nilai tukar rupiah terhadap dollar AS saat ini berkisar 16.148 atau melemah 1,5 persen atau 243 basis poin sepanjang minggu ini.
Saat pasar keuangan domestik libur, maka nilai tukar yang bergerak hanya non-deliverable forward (NDF) rupiah terhadap dollar AS.
Meski tidak mencerminkan nilai tukar pada pasar spot, rupiah pada pasar spot berpotensi akan mengikuti pergerakan NDF pada pembukaan pasar. Kendati demikian, BI diperkirakan tetap menempuh upaya stabilisasi melalui kebijakan triple intervention, atau intervensi di pasar spot, domestic non-deliverable forward (DNDF), serta di pasar obligasi. Selain itu, BI akan turut mengoptimalkan operasi moneter yang pro-market melalui Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI), Sekuritas Valas Bank Indonesia (SVBI), dan Sukuk Valas Bank Indonesia (SUVBI).
Menurut Josua, para pelaku usaha yang berkaitan dengan impor dan terdampak pelemahan rupiah dapat memitigasi risiko peningkatan biaya produksi dengan mengoptimalkan transaksi lindung nilai. Sementara itu, dampak pelemahan rupiah bagi masyarakat luas cenderung kecil sehingga tidak perlu khawatir dengan dampak dari pelemahan rupiah terhadap daya beli masyarakat dan perekonomian domestik.
”Yang perlu dipahami sekali lagi, sekalipun nilai tukar NDF rupiah terhadap dollar AS menembus level Rp 16.000, kondisinya sangat berbeda dengan krisis tahun 1998. Saat itu rupiah melemah dari level Rp 4.000 per dollar AS menjadi Rp 16.000 karena krisis mata uang yang menyebar dari pelemahan bath Thailand,” ujar Josua.
Pada saat pandemi Covid-19, tepatnya pada 2020, rupiah juga sempat terdepresiasi hingga menembus Rp 16.000 per dollar AS, tetapi pelemahan tersebut tidak permanen. Artinya, pelemahan rupiah saat ini tidak sedalam yang pernah terjadi pada 1998 lantaran fundamental ekonomi Indonesia saat ini masih kuat dan solid.
Josua memperkirakan, pergerakan rupiah ke depannya masih akan didominasi oleh sentimen arah suku bunga AS (Fed Fund Rate/FFR) yang masih dipertahankan, tetapi terbuka kemungkinan akan dipangkas pada semester II-2024. Sejalan dengan pemangkasan tersebut, dollar AS pun diperkirakan akan cenderung melemah sehingga berimplikasi terhadap penguatan mata uang dunia, termasuk rupiah.
”Pada umumnya, penurunan suku bunga AS akan mendorong masuknya aliran modal asing di pasar keuangan negara berkembang, termasuk Indonesia,” tutur Josua.
Baca juga: Sementara Menguat Tipis, Rupiah Diperkirakan Dinamis Cenderung Lemah