Industri Mulai Khawatir Pelemahan Rupiah terhadap Dollar AS
Selain terkait bahan baku industri yang bergantung pada impor, daya beli masyarakat dikhawatirkan juga terdampak.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dunia usaha mulai mengkhawatirkan pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS yang mendekati Rp 16.000 per dollar AS. Selain terkait bahan baku sejumlah industri manufaktur yang bergantung pada impor, seperti garmen serta farmasi, pengusaha juga mengkhawatirkan dampak inflasi terhadap melemahnya daya beli masyarakat.
Berdasarkan data Jakarta Interbank Spor Dollar Rate (Jisdor), pergerakan rupiah saat penutupan pasar pada Jumat (5/4/2024) berada di level Rp 15.873 per dollar AS. Pada 3 April 2024 bahkan mencapai Rp 15.923 per dollar AS. Adapun merujuk Google Finance, sejak 11 April 2024, nilai tukar rupiah sudah mencapai Rp 16.000 per dollar AS. Pada 12 April 2024, ditutup pada Rp 16.117 per dollar AS.
Ketua Dewan Pimpinan Provinsi (DPP) Asosiasi Pengusaha Indonesia Jawa Tengah Frans Kongi saat dihubungi pada Sabtu (13/4/2024) mengatakan, melemahnya rupiah dan menguatnya dollar AS tidak menguntungkan bagi dunia usaha. Pasalnya, kenaikan dollar AS akan merembet ke kenaikan barang-barang lainnya, yang juga berkaitan sebagai penunjang produksi.
”Dollar naik, harga minyak akan ikut naik. Nanti, bahan-bahan makanan juga akan naik sehingga terjadi inflasi dan daya beli masyarakat turun. Sementara produk dari industri tidak mungkin harganya dinaikkan begitu saja,” ujar Frans.
Sejumlah industri di dalam negeri, termasuk di Jateng, bergantung pada bahan baku impor yang dibeli dalam mata uang dollar AS. Di sisi lain, saat ini, mengekspor produk juga tidak mudah dengan kenaikan freight rate (biaya pengiriman/pengapalan). Pada tekstil dan garmen, misalnya, Indonesia juga kalah bersaing dengan negara lain, seperti Vietnam, Bangladesh, China, dan India.
Saat ini memang masih libur, tetapi begitu mulai berakhir masa libur, kami khawatirkan itu.
Menurut Frans, banyak industri yang masih bergantung pada bahan baku impor, seperti garmen serta farmasi. Bahkan, industri kayu pun tetap membutuhkan bahan-bahan tambahan yang harus didatangkan dari luar negeri meskipun kayunya berasal dari Indonesia.
Ia berharap pemerintah bisa turut mengendalikan ini sehingga inflasi dapat dijaga. ”Kalau tidak, ini cukup bahaya. Saat ini memang masih libur, tetapi begitu mulai berakhir masa libur, kami khawatirkan itu. Pengusaha takut akan setiap penguatan dollar,” ujarnya.
Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Katolik Soegijapranata, Semarang, Westri Kekalih, menuturkan, industri manufaktur biasanya memang langsung terdampak pelemahan rupiah dan penguatan dollar AS. Terutama industri-industi dengan konten impor yang tinggi.
”Biaya produksi pasti naik dan mereka harus menghitung biaya produksi tersebut sehingga akan ada penyesuaian-penyesuaian. Apabila hanya berlangsung dalam waktu pendek, mungkin nanti akan terkompensasi. Namun, jika dalam waktu panjang, dampaknya bisa lebih parah. Dampaknya bisa merembet, termasuk kenaikan harga hingga pelemahan daya beli masyarakat,” ujar Westri.
Ia menambahkan, momen pelemahan rupiah terhadap dollar AS biasanya juga memunculkan hal positif, yakni terbukanya peluang bagi produk-produk lokal untuk semakin berkembang. Sebab, dalam kondisi itu, ada keterpaksaaan untuk mengembangkan industri-industri yang mengarah pada substitusi impor.