Kementerian Kelautan dan Perikanan akan memberlakukan sistem kuota pada aktivitas pariwisata alam perairan di kawasan konservasi nasional. Langkah itu ditujukan untuk menjaga kelestarian dan keberlanjutan sumber daya ekosistem di dalam kawasan konservasi. Namun, penerapannya dinilai perlu mempertimbangkan dampak sosial dan ekonomi.
Salah satu kawasan konservasi prioritas yang direncanakan akan menerapkan sistem kuota adalah kawasan konservasi Pulau Gili Matra di Nusa Tenggara Barat yang merupakan konservasi perairan nasional. Penerapan kuota bertujuan untuk menghindari wisatawan berlebih (overtourism) yang mengakibatkan tekanan terhadap sumber daya alam sebagai nilai jual pariwisata.
Kuota aktivitas pariwisata pada kawasan konservasi nasional mengacu pada Keputusan Direktur Jenderal Pengelolaan Kelautan dan Ruang Laut Nomor 55 Tahun 2023 tentang Pedoman Teknis Penghitungan Daya Dukung Kegiatan Pemanfaatan Kawasan Konservasi.
Berdasarkan ketentuan itu, guna menjaga fungsi kawasan konservasi sebagai daerah perlindungan dan pelestarian sumber daya ikan dan ekosistemnya, aktivitas pemanfaatan di kawasan konservasi perlu dikendalikan sesuai dengan daya dukung kawasan.
Bagaimana masyarakat menanggapi rencana ini?
Resepsionis Gili Castle I Gili Trawangan, Laela Sari (27), mengatakan, pembatasan bisa saja dilakukan saat musim puncak pengunjung. Namun, saat musim sepi pengunjung, sebaiknya tidak dibatasi.
”Kalau lagi ramai, area snorkeling misalnya, bisa terganggu. Pemandangan bawah laut juga keruh karena banyak orang. Jadi, kalau lagi high season, dibatasi apalagi banyak sekali penyedia public snorkeling di Gili. Tetapi kalau lagi low season, jangan dibatasi,” katanya.
Sebelum penerapan, ia mengingatkan agar pemerintah menyosialisasikan kebijakan ke pelaku usaha di Gili. ”Pelaku usaha juga harus memperhatikan tamu, mengingatkan untuk menjaga lingkungan. Kita punya pantai juga, kan, harus dijaga,” katanya.
Bagian pemasaran agen perjalanan Sunrise Office Gili Trawangan, Najamudin (46), juga menekankan pentingnya sosialisasi, Hal ini penting agar semua sepemahaman sekaligus menghindari konflik yang tidak diperlukan.
”Kami juga selalu menyosialisasikan misalnya tamu tidak boleh pegang penyu, tidak boleh merusak atau menginjak karang, juga menyediakan bak sampah di kapal agar tidak dibuang ke laut,” katanya.
Pembatasan jumlah dan kegiatan pariwisata, menurut Najamudin, dilematis. Di satu sisi, kebijakan ini positif untuk keberlanjutan lingkungan. Di sisi lain, kebijakan ini akan mengurangi pendapatan para pelaku usaha.
”Mungkin bisa lebih baik (terumbu karangnya). Kalau musim ramai, di spot-spot snorkeling, terlalu banyak orang. Bisa 10 sampai 15 kapal dalam satu kali jalan. Jadi menumpuk di sana. Tapi, kalau dibatasi, kasihan juga yang punya kapal. Mereka makan dari sana. Mungkin ada regulasi lainlah,” katanya.
Mireia Borras Vaquer (30), pekerja farmasi, wisatawan asal Majorca, Spanyol, mengagumi alam perairan di Indonesia. Selama ini ia merasa jumlah wisatawan terlalu padat di lokasi-lokasi snorkeling.
”Gili luar biasa. Saya tidak pernah melihat pulau seperti ini. Saya sangat menikmatinya, terutama aktivitas snorkeling melihat penyu. Saya tinggal di Majorca, pulau kecil di Spanyol. Tetapi, Gili sangat berbeda,” katanya.
Soal rencana pembatasan jumlah dan kegiatan pariwisata, Mireia mengatakan menghormati kebijakan itu. ”Terasa sekali, saat kita melihat penyu, begitu banyak orang di satu titik. Jadi saya rasa tidak masalah (pembatasan),” katanya.
Murdyatmoko Kiki (53), instruktur selam di Bali, menyatakan, setuju sekali dengan adanya pembatasan kegiatan wisata perairan di wilayah konservasi nasional. Ini berlaku untuk kunjungan kepada wisatawan minat khusus atau wisata massal.
”Harapan, kerusakan alam akibat aktivitas wisatawan dapat diminimalisasi. Namun, sebaiknya bukan semata-mata pembatasan wisatawan, melainkan adanya kegiatan yang sifatnya pelestarian area konservasi serta spesies yang ada di lokasi itu. Kegiatan pelestarian itu misalnya bisa berupa rehabilitasi terumbu karang, mangrove, juga kegiatan bersih laut dan pantai,” katanya.
Sebaiknya bukan semata-mata pembatasan wisatawan, melainkan adanya kegiatan yang sifatnya pelestarian area konservasi serta spesies yang ada di lokasi itu.
Mengenai proyek percontohan oleh pemerintah ini, ia berharap program yang dilaksanakan akan berjalan baik dan berkesinambungan. Ia juga mengingatkan agar pemerintah melibatkan atau berkolaborasi dengan masyarakat.
”Semoga pemerintah berkomitmen dalam penerapan kebijakan untuk konservasi sumber daya alam kita dan harus memiliki program untuk mengajak tamu kunjungan berpartisipasi dalam aktivitas menjaga lingkungan,” katanya.
Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Wisata Bahari (Gahawisri) Didien Junaedy mengemukakan, sebagai pelaku yang menekuni wisata bahari selama hampir 30 tahun, ia sangat setuju dengan pemberlakuan kuota aktivitas pariwisata pada kawasan konservasi nasional.
”Pariwisata pada kawasan konservasi perairan, seperti menyelam ataupun snorkeling, yang sudah terlalu ramai dan tidak terarah berpotensi memicu masalah kerusakan lingkungan. Kerap terjadi, wisatawan yang snorkeling tidak terkontrol sehingga merusak karang. Snorkeling pun seharusnya belajar dulu dan jangan coba-coba karena bisa menginjak dan merusak terumbu karang,” katanya.
Jangan sampai masyarakat setempat hanya menjadi penonton dan tidak mendapatkan apa-apa. Upaya menjaga kelestarian lingkungan juga harus bisa meningkatkan ekonomi masyarakat setempat.
Bagi pengusaha, menurut Didien, pengaturan kuota tidak akan membawa dampak signifikan. Hanya waktu kunjungan akan bergeser. Meski demikian, penetapan kuota wisata itu harus masuk akal, mekanisme kuota harus diatur dengan baik, serta pengaturan tarif antara wisatawan domestik dan turis asing.
”Turis yang belum mendapatkan giliran dapat menginap di sekitar lokasi, yang ditunjang penginapan memadai untuk menampung wisatawan yang antre, sehingga meningkatkan ekonomi masyarakat. Jangan sampai masyarakat setempat hanya menjadi penonton dan tidak mendapatkan apa-apa. Upaya menjaga kelestarian lingkungan juga harus bisa meningkatkan ekonomi masyarakat setempat,” katanya.
Pengaturan sistem kuota harus juga diimbangi sosialisasi, termasuk tujuan pembatasan kuota baik ke wisatawan ataupun masyarakat. Apabila tarif dinaikkan, pemerintah jangan terkesan hanya ingin menaikkan penerimaan negara bukan pajak (PNBP), tetapi juga harus harus transparan terkait tujuan dan peruntukan kenaikan tarif tersebut.