Kuota Wisata Bakal Diberlakukan di Perairan Konservasi Nasional
Penerapan kuota untuk wisata di kawasan konservasi nasional perlu mempertimbangkan dampak sosial dan ekonomi.
Oleh
BM LUKITA GRAHADYARINI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Kelautan dan Perikanan atau KKP akan memberlakukan sistem kuota pada aktivitas pariwisata alam perairan di kawasan konservasi nasional. Langkah itu ditujukan untuk menjaga kelestarian dan keberlanjutan sumber daya ekosistem di dalam kawasan konservasi. Namun, penerapannya dinilai perlu mempertimbangkan dampak sosial dan ekonomi.
Salah satu kawasan konservasi prioritas yang direncanakan akan menerapkan sistem kuota adalah kawasan konservasi Pulau Gili Matra di Nusa Tenggara Barat (NTB) yang merupakan konservasi perairan nasional. Penerapan kuota bertujuan untuk menghindari wisatawan berlebih (overtourism) yang mengakibatkan tekanan terhadap sumber daya alam sebagai nilai jual pariwisata.
Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB University Luky Adrianto berpendapat, penetapan sebuah kawasan sebagai kawasan konservasi berimpilkasi pada tujuan pengelolaan kawasan tersebut, yaitu konservasi ekosistem dan keanekaragaman hayati di dalamnya. Oleh karena itu, pembatasan jumlah wisatawan atau kegiatan wisata di kawasan konservasi merupakan salah satu instrumen untuk menjaga ekosistem, sumber daya hayati, dan keberlanjutan kawasan konservasi.
Meski demikian, penetapan kuota wisata dalam kawasan konservasi perlu mempertimbangkan daya dukung sosial dan ekologis (sosial-ekologis) dalam satu kesatuan kawasan. Hal itu meliputi faktor ekologis, sosial ekonomi, dan manajemen sebagai parameter untuk menentukan kuota wisata.
”Secara ekonomi, pembatasan kuota wisata di kawasan konservasi dapat diukur dengan pemberlakuan wisata premium sehingga dapat digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal dan sekaligus menjaga pertumbuhan ekonomi daerah,” ujar Luky, saat dihubungi, Jumat (12/4/2024).
Kuota aktivitas pariwisata pada kawasan konservasi nasional mengacu pada Keputusan Direktur Jenderal Pengelolaan Kelautan dan Ruang Laut Nomor 55 Tahun 2023 tentang Pedoman Teknis Penghitungan Daya Dukung Kegiatan Pemanfaatan Kawasan Konservasi. Berdasarkan ketentuan itu, guna menjaga fungsi kawasan konservasi sebagai daerah perlindungan dan pelestarian sumber daya ikan dan ekosistemnya, aktivitas pemanfaatan di kawasan konservasi perlu dikendalikan sesuai dengan daya dukung kawasan.
Sebelumnya, Direktur Konservasi dan Keanekaragaman Hayati Laut Firdaus Agung, dalam keterangan pers, pekan lalu, menerangkan, penerapan kuota wisata bertujuan untuk menghindari wisatawan berlebih yang dapat mengakibatkan tekanan terhadap sumber daya alam. Daya dukung pemanfaatan kawasan terkait penangkapan ikan, budidaya dan pariwisata dihitung dan diterapkan untuk menunjang pemanfaatan berkelanjutan di kawasan konservasi.
Banyak persoalan
Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Parid Ridwanuddin, secara terpisah, mengemukakan, pemberian kuota secara terbatas untuk wisatawan di kawasan konservasi perairan patut dipertanyakan mengingat selama ini konservasi perairan tertutup untuk aktivitas lain, terutama perikanan tangkap yang dilakukan oleh nelayan tradisional dan atau nelayan skala kecil.
Ia menilai, aktivitas perikanan tangkap yang dilakukan nelayan tradisional dan atau nelayan skala kecil sering kali dianggap sebagai aktivitas yang mengganggu kawasan konservasi perairan. Sebaliknya, sudah sejak lama kawasan konservasi perairan dibuka untuk kepentingan industri pariwisata.
Pengembangan kawasan konservasi untuk kawasan pariwisata bahkan diklaim merupakan bagian dari desain pemerintah mengembangkan ekonomi biru dan prinsip keberlanjutan. Ini mencerminkan minimnya prinsip keadilan dalam penerapan kawasan konservasi.
”Kawasan konservasi perairan di Indonesia tidak didesain untuk kawasan konservasi, tetapi di hampir banyak kawasan, konservasi selalu dijadikan kawasan untuk kepentingan pariwisata. Persoalannya, di kawasan-kawasan konservasi itu nyaris sulit ditemukan pariwisata yang dikelola oleh masyarakat lokal,” ujarnya.
Parid menambahkan, dampak pengembangan pariwisata di kawasan konservasi perairan tidak lepas dari dampak kerusakan lingkungan. Ini terjadi karena basisnya adalah industri skala besar. Akan tetapi, dari pengalaman kawasan-kawasan pariwisata yang dikelola oleh masyarakat lokal, tekanan terhadap lingkungan dapat diminimalkan atau dimitigasi karena adanya proses musyawarah atau konsensus.
Becermin pada pengembangan pariwisata di Taman Nasional Komodo, terjadi peningkatan sampah plastik dari sekitar 10 persen pada tahun 2009 menjadi lebih dari 50 persen pada tahun 2017. Selain itu, ada pula tekanan terhadap ekosistem pesisir dan laut berupa ancaman ekstraksi sumber daya air tanah akibat pembangunan infrastruktur pariwisata, seperti hotel. Ini juga terjadi di wilayah Labuan Bajo di wilayah Taman Nasional Komodo.
”Dengan melihat dampak yang ditimbulkan, diperlukan pengubahan zonasi atau tata ruang di wilayah pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil. Pengubahan zonasi ini biasanya dipriopritaskan untuk melayani kepentingan investasi,” kata Parid.
Kepala Balai Kawasan Konservasi Perairan Nasional (BKKPN) Kupang Imam Fauzi mengemukakan, penerapan sistem kuota pada Kawasan Konservasi Pulau Gili Matra diterapkan pada kegiatan wisata selam dan snorkeling. Penghitungan kuota aktivitas pariwisata alam perairan didasarkan pada daya dukung kawasan konservasi.
Tujuan dari pengaturan sistem kuota ini dimaksudkan untuk menekan tingginya aktivitas pemanfaatan agar tidak memberikan dampak buruk kepada ekosistem pesisir.
Imam menambahkan, daya dukung kawasan konservasi menjadi salah satu instrumen penyeimbang antara kegiatan pemanfaatan dengan perlindungan terhadap ekosistem kawasan. Sesuai hasil penghitungan daya dukung, jumlah kuota karcis masuk untuk kegiatan Pariwisata Alam Perairan di kawasan konservasi Gili Matra tidak melebihi 421 karcis per hari. Pembagian kuota nantinya akan mempertimbangkan musim dan cuaca atau gelombang ekstrem.
”Tujuan dari pengaturan sistem kuota ini dimaksudkan untuk menekan tingginya aktivitas pemanfaatan agar tidak memberikan dampak buruk kepada ekosistem pesisir,” ujar Imam, dalam keterangan pers, pekan lalu.
Untuk meningkatkan kepatuhan para pelaku usaha terkait pengurusan perizinan berusaha, lanjut Imam, kuota hanya akan diberikan kepada pelaku usaha yang telah mengurus perizinan surat izin usaha pemanfaatan kawasan konservasi (SIUPKK).