Anomali Lebaran 2024 : Masyarakat Lebih Menahan Konsumsi
Efek momen hari raya tetap akan mendorong pertumbuhan ekonomi. Namun, dampaknya tidak sebesar tahun-tahun sebelumnya.
Oleh
AGNES THEODORA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Momentum Lebaran tahun ini diperkirakan tidak membawa dampak pendorong yang signifikan pada pertumbuhan ekonomi seperti tahun-tahun sebelumnya. Tergerusnya daya beli akibat lonjakan kenaikan harga barang sejak akhir tahun lalu berpotensi membuat masyarakat menahan konsumsinya selama Lebaran.
Sekilas, Ramadhan dan Lebaran tahun ini terasa lebih meriah. Kementerian Perhubungan mencatat adanya lonjakan mobilitas penduduk pada musim Lebaran 2024. Berdasarkan survei, Badan Kebijakan Transportasi Kementerian Perhubungan memperkirakan 71,7 persen penduduk Indonesia akan melakukan mobilitas selama Lebaran 2024, meningkat dari tahun 2023 sebesar 45,8 persen.
Mobilitas yang dimaksud adalah pergerakan ke luar kota atau kabupaten, kecuali mobilitas di dalam Jabodetabek alias area aglomerasi Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi.
Meski demikian, peneliti Makroekonomi dan Pasar Keuangan di Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI), Teuku Riefky, menilai, peningkatan laju aktivitas mudik tidak bisa dijadikan patokan mutlak untuk mengukur tingkat konsumsi masyarakat saat Lebaran.
Sebab, untuk sebagian masyarakat menengah-bawah, mudik bukan sesuatu yang bisa ditahan. Banyak orang yang tetap saja mudik meski dengan biaya pas-pasan dan dengan menahan belanja. Perlu diakui, ada tekanan biaya hidup yang berpotensi membuat masyarakat menahan belanja di Lebaran tahun ini,” kata Teuku saat dihubungi, Selasa (9/4/2024).
Mayoritas kelompok masyarakat yang melakukan mobilitas selama Lebaran 2024, termasuk mudik, berasal dari kelas menengah-bawah. Berdasarkan survei Badan Kebijakan Transportasi Kementerian Perhubungan, 33,68 persen pemudik berpenghasilan Rp 3 juta-Rp 7 juta per bulan dan 22,44 persen berpenghasilan Rp 1 juta-kurang dari Rp 3 juta.
Sementara hanya 9,88 persen masyarakat berpenghasilan Rp 7 juta-Rp 25 juta dan 0,6 persen masyarakat berpenghasilan lebih dari Rp 25 juta yang akan melakukan mudik. Data itu menunjukkan, aktivitas mudik yang tinggi belum tentu menggambarkan aktivitas ekonomi yang tinggi pula.
Riefky mengatakan, meski ada potensi masyarakat menahan belanjanya saat Lebaran 2024, efek momen hari raya tetap akan membantu mendorong pertumbuhan ekonomi sebagaimana siklus rutin selama ini. Namun, dampaknya kemungkinan tidak sebesar tahun-tahun sebelumnya.
Tahun lalu masyarakat tidak dihajar dengan kenaikan harga kebutuhan pokok. Tahun ini, kenaikan harga bahkan sudah dirasakan sejak akhir tahun 2023.
Ia menduga, Ramadhan tahun ini akan mendorong peningkatan pertumbuhan ekonomi sebesar 0,1 persen pada triwulan I-2024. Dampaknya ke pertumbuhan ekonomi triwulan II-2024 tidak akan terlalu signifikan.
”Jadi, masyarakat menengah-bawah tetap akan melakukan spending, seperti terlihat dari latar belakang sosial-ekonomi mayoritas warga yang melakukan mudik. Namun, kemungkinan belanjanya saja yang lebih ditahan, tidak sebanyak tahun lalu,” kata Riefky.
Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Lisytiyantomemperkirakan, akan terjadi anomali pada aktivitas konsumsi masyarakat di momentum Ramadhan dan Lebaran tahun ini.
Sebagai perbandingan, Lebaran 2023 tidak diiringi dengan tren kenaikan harga pangan yang signifikan. Sementara, tahun ini, kenaikan harga pangan dan harga barang jasa lainnya sudah mulai terjadi sejak November 2023.
Fenomena masyarakat yang merogoh tabungan atau ”makan tabungan” (mantab) demi memenuhi kebutuhan sehari-hari pun semakin menjamur.
”Tahun lalu, masyarakat tidak dihajar dengan kenaikan harga kebutuhan pokok. Tahun ini, kenaikan harga bahkan sudah dirasakan sejak akhir tahun 2023, terutama beras. Kalau mau dikaitkan dengan perilaku konsumen, Lebaran dan mudik tahun ini bisa jadi memang agak lain,” ujar Eko.
Ia memperkirakan, meski tetap berdampak, Lebaran 2024 hanya akan berkontribusi terbatas sehingga pertumbuhan ekonomi pada triwulan I (Januari-Maret) mencapai 5 persen. Berbeda dengan 2023 ketika Lebaran bisa berkontribusi lebih besar pada pertumbuhan ekonomi triwulan I yang saat itu mencapai 5,17 persen.
”Memang survei menunjukkan tahun ini adalah mudik terbesar sepanjang sejarah. Tetapi, pertanyaannya, apakah warga akan pulang kampung lalu belanja atau hanya pulang kampung saja? Kalaupun belanja, pakai uang tabungan atau dari hasil meminjam?” kata Eko.
Apakah warga akan pulang kampung lalu belanja, atau hanya pulang kampung? Kalaupun belanja, pakai uang tabungan atau dari hasil meminjam?
Melemahnya daya beli masyarakat atau fenomena ”makan tabungan” salah satunya terlihat dari data pertumbuhan penghimpunan dana pihak ketiga (DPK) perorangan oleh Bank Indonesia yang menurun beberapa bulan terakhir.
”Dibandingkan tahun lalu, tabungan masyarakat kelas menengah ke bawah (di bawah Rp 100 juta) itu dari periode ke periode rata-ratanya semakin tipis. Tahun 2022 masih di atas Rp 2,5 juta, 2023 sudah mulai turun ke Rp 2 juta, sekarang Rp 1,9 juta,” kata Eko.
Secara terpisah, Staf Khusus Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Ahmed Zaki Iskandar mengatakan, pergerakan ekonomi selama libur Lebaran 2024 akan berdampak signifikan terhadap perekonomian dalam negeri. Dengan asumsi pergerakan manusia pada mudik Lebaran mencapai 193 juta orang, pergerakan ekonomi yang dihasilkan bisa mencapai Rp 380 triliun.
Mudik, ujarnya, akan mendorong perputaran uang sampai ke daerah, terutama untuk sektor usaha mikro kecil dan menengah (UMKM).
”Dalam kurun waktu libur panjang Lebaran, jika per kepala menghabiskan Rp 2 juta selama musim mudik, ada potensi sekitar Rp 384 triliun yang bisa menggerakkan ekonomi Indonesia pada masa mudik Lebaran,” katanya dalam keterangan tertulis.