Aset Jaminan Kematian BPJS Ketenagakerjaan Akan Menjadi Negatif per 2027
Aset neto jaminan kematian diproyeksi bisa habis pada 2027 jika tidak ada perbaikan kebijakan.
Kesehatan keuangan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan sedang menjadi topik hangat. Sebab, ketahanan dana salah satu program jaminan sosial ketenagakerjaan, yakni jaminan kematian atau JKM, diduga terus merosot.
Saat menjadi pembicara kunci ”Expert Talk Dewan Pengawas Jaminan Sosial Ketenagakerjaan”, Kamis (4/4/2024) petang, di Jakarta, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta W Kamdani menyinggung soal ketahanan dana Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan. Dia mengutip Nota Keuangan RAPBN 2024.
Baca juga: Kecelakaan Kerja Makin Marak dalam Lima Tahun Terakhir
Dalam RAPBN 2024, rasio klaim JKM pada 2024 diproyeksikan mencapai 87,2 persen. Trennya pun meningkat dalam jangka menengah menjadi 102,5 persen pada 2026. Aset neto JKM pada 2024 diperkirakan senilai Rp 8.550,4 miliar.
”Konsekuensinya, kesehatan keuangan JKM turun. Diperkirakan aset JKM akan negatif pada 2027 sehingga perlu mitigasi cepat. Kami menginginkan ada evaluasi manfaat JKM,” ujarnya.
Shinta meyakini, BPJS Ketenagakerjaan telah menyadari persoalan tersebut dan memiliki strategi advokasi kepada pemerintah agar segera lahir solusi. Dia juga berharap masyarakat sudah saatnya memiliki pandangan senada terkait pentingnya menjaga ketahanan dana BPJS Ketenagakerjaan, khususnya terkait JKM.
Deputi Bidang Aktuaria dan Riset Jaminan Sosial BPJS Ketenagakerjaan Arief Dahyan Supriadi, narasumber lain yang hadir pada sesi yang sama, membenarkan ada isu ketahanan dana di dalam BPJS Ketenagakerjaan, terutama menyangkut JKM. Pemicunya ada empat.
Pertama, manfaat JKM dari sisi beasiswa untuk dua anak naik menjadi Rp 174 juta. Hal ini merupakan amanat Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 82 Tahun 2019 tentang Perubahan atas PP Nomor 44 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian.
Baca juga: Manfaat Jaminan Sosial Ketenagakerjaan Ditingkatkan
Kedua, PP Nomor 37 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) yang mengamanatkan adanya rekomposisi iuran JKM sebesar 0,1 persen untuk JKP.
Ketiga ialah PP Nomor 49 Tahun 2020 tentang Penyesuaian Iuran Program Jaminan Sosial Ketenagakerjaan Selama Bencana Nonalam Penyebaran Covid-19 yang mengamanatkan keringanan pembayaran iuran JKM sebesar 99 persen dari Agustus 2020-Januari 2021. Hal ini menyebabkan berkurangnya penerimaan iuran JKM.
”Padahal, tingkat kematian pekerja selama pandemi Covid-19 tergolong tinggi,” katanya.
Pemicu lainnya, Arief melanjutkan, ialah demografi penduduk Indonesia yang semakin tua sehingga semakin banyak masuk kategori pekerja bukan penerima upah (BPU). Realitas ini dikhawatirkan mengganggu retensi keberlanjutan kepesertaan program JKM.
”Saat ini pun retensi kepesertaan BPU sudah bermasalah. Hanya 15 persen dari total BPU yang melanjutkan kepesertaan sebelumnya. Mengenai iuran yang dibayarkan, ada 61 persen dari total kepesertaan BPU mengiur selama satu bulan dan tiga bulan, lalu berhenti dan memanfaatkan masa grace periode,” ujarnya.
Hanya 15 persen dari total BPU yang melanjutkan kepesertaan sebelumnya.
Dari analisis arus kas neto JKM, kemampuan peserta penerima upah untuk menyubsidi BPU terus berkurang. Arus kas neto JKM dari peserta penerima upah lama-lama dikhawatirkan akan negatif. Padahal, saat bersamaan pencairan manfaat JKM, terutama manfaat beasiswa anak peserta JKM, terus berjalan secara berkala.
”Kami sudah menghitung, aset neto JKM bisa habis pada 2027 jika tidak ada perbaikan, seperti peninjauan kembali besaran manfaat program JKM pada PP No 82/2019,” ujar Arief.
Hati-hati
Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Ketenagakerjaan Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) Indah Anggoro Putri, saat dikonfirmasi Kompas mengenai desakan tersebut, Senin (8/4/2024), belum memberikan respons.
Seusai menghadiri rapat kerja dengan Komisi IX DPR RI, Selasa (26/3/2024), Indah mengatakan kepada media bahwa ketahanan dana JKM telah masuk radar pemerintah. Komisi IX DPR bahkan telah meminta Kemenaker agar segera membuat kajian.
Baca juga: Kepesertaan BPJS Pekerja Bukan Penerima Upah Baru 11 Persen
Dia juga menyebut secara singkat bahwa pemerintah belum memiliki rencana menaikkan iuran JKM dan jaminan kecelakaan kerja dalam jangka waktu dekat. ”Harus berhati-hati,” ujarnya.
Menurut Indah, rasio klaim JKM pada kelompok pekerja BPU naik dari 56,5 persen pada 2019 menjadi 198,1 persen pada 2023. Hasil perhitungan pada 2023, ketahanan dana JKM dari BPU hanya sebesar 39 bulan.
”Jenis-jenis hubungan kerja baru bertambah sehingga memengaruhi BPU. Hubungan kerja baru juga melahirkan risiko kerja yang berbeda dari sebelum-sebelumnya,” kata Indah mengomentari pertanyaan media mengenai kenaikan rasio klaim JKM BPU yang cenderung meningkat.
Sementara itu, Koordinator BPJS Watch Timboel Siregar, Senin (8/4/2024), berpendapat, merevisi manfaat JKM bukan langkah yang bijaksana. Dia menyarankan agar iuran JKM yang mestinya ditingkatkan supaya bisa menopang besarnya nilai manfaat JKM.
Solusi lainnya ialah rekomposisi iuran JKM untuk JKP seharusnya dihentikan sementara. Pemerintah bisa mengarahkan agar JKP memakai uang dari rekomposisi iuran Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) yang ketahanan dananya lebih sehat.
Selanjutnya, dia menyarankan agar BPJS Ketenagakerjaan lebih selektif dalam menerima peserta. Dari hasil pengamatannya, ada sejumlah pekerja mandiri yang baru didaftarkan menjadi peserta JKM ketika sedang sakit berat akibat penyakit kerja.
Proses membayar iuran masih sebentar, tetapi pekerja bersangkutan keburu meninggal. Dengan demikian, pekerja tersebut menerima manfaat JKM secara utuh alias tidak ada bedanya dengan pekerja yang sudah lama membayar iuran.
”Kecurangan mengakuisisi peserta seperti itu semestinya bisa dihindari BPJS Ketenagakerjaan supaya membantu ketahanan dana JKM,” ucapnya.
Social Protection Programme Manager International Labour Organization (ILO) untuk Indonesia, Ippei Tsuruga, memiliki pandangan senada. Ia menyatakan, hal yang mendesak dilakukan adalah meningkatkan cakupan kepesertaan yang berkualitas.
Baca juga: Pekerjaan Rumah Memperluas Jangkauan BPJS Ketenagakerjaan
Pengalaman di Jepang, pengacara jaminan sosial yang disertifikasi oleh Pemerintah Jepang membantu pengusaha usaha kecil dan mikro dalam mendaftarkan pekerjanya ke BPJS. Hal ini bermanfaat bagi perusahaan kecil karena perusahaan tersebut tidak memiliki kapasitas administratif untuk menangani pendaftaran jaminan sosial dan pelaporan gaji ke BPJS tepat waktu.
Kemudian, beberapa negara memperbolehkan pembentukan asosiasi perantara pekerja mandiri. Pemerintah menyertifikasi asosiasi tersebut untuk membantu pekerja mandiri mendaftar kepesertaan.