Arah APBN Transisi di Tengah Ruang Fiskal yang Menyempit
Kondisi keuangan negara kali ini berbeda dibandingkan saat transisi dari rezim Susilo Bambang Yudhoyono ke Joko Widodo.
Oleh
AGNES THEODORA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Proses penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau RAPBN 2025 perlu berhati-hati dan memperhatikan ruang fiskal negara yang semakin mengecil. Seiring dengan itu, penerimaan pajak juga mesti dikerek demi memberi ruang yang cukup untuk mengakomodasi program rezim baru.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Esther Sri Astuti mengatakan, pada prinsipnya, proses penyusunan transisi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dari satu pemerintahan ke pemerintahan selanjutnya memang perlu menyesuaikan dengan kapasitas ruang fiskal yang ada.
”Masalahnya, ruang fiskal kita saat ini semakin mengecil. Itu terlihat dari rasio utang terhadap PDB (produk domestik bruto) kita dan juga alokasi pembayaran bunga utang dalam APBN yang semakin tinggi,” ucap Esther saat dihubungi, Senin (8/4/2024).
Kondisi fiskal saat ini berbeda dibandingkan dengan transisi pemerintahan dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ke Presiden Joko Widodo pada tahun 2014. Saat itu, rezim SBY ”mewariskan” rasio utang yang rendah, yakni 24,75 persen dengan total outstanding utang sebesar Rp 2.609 triliun.
Sementara kali ini Presiden Jokowi ”mewariskan” rasio utang 38,59 persen dengan total outstanding utang yang naik tiga kali lipat sebesar Rp 5.535,6 triliun. Pembangunan infrastruktur besar-besaran dan pandemi Covid-19 membuat utang pada rezim Jokowi membengkak lebih signifikan dibandingkan dengan rezim sebelumnya.
Tidak hanya itu, beban pembayaran bunga utang pemerintah (di luar pokok utang) juga sudah menyentuh Rp 497,3 triliun pada APBN 2024. Alokasi anggaran untuk membayar bunga utang negara itu tertinggi di atas jenis belanja lainnya dalam komponen belanja pemerintah pusat.
Untuk pertama kalinya dalam sejarah Indonesia pasca-Reformasi, presiden baru juga merupakan bagian dari pemerintahan.
Mengerek penerimaan
Sementara ruang fiskal menyempit akibat beban utang, laju penerimaan negara juga relatif stagnan. Rasio penerimaan perpajakan terhadap PDB nasional pada 2023 hanya mencapai 10,31 persen, turun dari posisi sebelumnya yang masih di kisaran 11-12 persen dan masih jauh dari rasio ideal 15 persen untuk kategori negara berkembang.
”Oleh karena itu, memang pemerintah harus memperbesar penerimaan negara dengan meningkatkan pendapatan pajak maupun nonpajak. Namun, peningkatan pajak juga harus hati-hati agar tidak sampai menggerus daya beli masyarakat dan membuat ekonomi lesu,” katanya.
Salah satu opsi terbaik untuk mengerek penerimaan negara itu adalah melalui penerimaan devisa dari ekspor barang dan jasa serta sektor pariwisata yang saat ini sedang bertumbuh pesat.
”Dengan ruang fiskal yang terbatas itu, tentu saja program-program pemerintah baru nanti harus benar-benar memberikan multiplier effect bagi perekonomian. Alokasi budgetnya juga mesti pas disesuaikan dengan kapasitas fiskal yang ada,” ujar Esther.
Di sisi lain, proses penyusunan APBN transisi dari rezim Jokowi kali ini diperkirakan bisa berjalan lebih mulus. Sebab, untuk pertama kalinya dalam sejarah Indonesia pasca-Reformasi, presiden baru juga merupakan bagian dari pemerintahan. Pada Pemilu 2014, Jokowi merupakan pendatang baru. Adapun pada Pemilu 2004, SBY sudah mundur dari jabatan menteri sebelum pemilu digelar.
Menurut hasil hitung riil, pasangan nomor urut 2, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, menjadi calon presiden-wakil presiden dengan perolehan suara terbanyak. Prabowo saat ini masih menjabat Menteri Pertahanan di kabinet Jokowi. Wakilnya, Gibran, adalah putra sulung Jokowi.
Adapun penetapan Prabowo-Gibran sebagai presiden dan wakil presiden terpilih tetap masih harus menunggu hasil keputusan sidang sengketa hasil pemilu oleh Mahkamah Konstitusi, 22 April 2024.
”Kali ini, karena presiden terpilih adalah bagian dari pemerintahan, termasuk beberapa figur kunci yang menjadi bagian kabinet, tentu koordinasi dan pembahasan APBN transisi akan menjadi lebih mudah,” kata Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis Yustinus Prastowo.
Sambil pemerintahan baru mempertajam program mereka, pembahasan RAPBN 2025 dapat sekaligus menghitung ruang fiskal yang tersedia.
Menurut dia, presiden terpilih memiliki beberapa program prioritas yang berbeda dari pemerintahan Jokowi. Oleh karena itu, diskusi mengenai transisi kebijakan itu sudah dilakukan lebih awal lewat beberapa kesempatan rapat yang dipimpin oleh Presiden Jokowi.
”Sambil pemerintahan baru mempertajam dan mendetailkan program mereka, pembahasan RAPBN 2025 dapat sekaligus menghitung ruang fiskal yang tersedia yang akan disesuaikan dengan kebutuhan anggaran,” ucap Yustinus.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, pemerintah akan mulai mengakomodasi ruang fiskal untuk program pemerintah mendatang dalam penyusunan RAPBN 2025.
”Hari ini Bapak Presiden (Jokowi) meminta supaya kita tetap berkomunikasi dengan pemerintahan baru sehingga pemerintahan baru pada tahun pertama bisa langsung melaksanakan program-program yang sudah menjadi prioritasnya,” katanya seusai rapat kabinet terbatas di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat (5/4/2024).
Terkait dengan itu, Yustinus menjelaskan, pemberian ruang fiskal dalam RAPBN 2025 yang dimaksud adalah menetapkan struktur dan anatomi APBN agar fleksibel untuk pemerintahan baru. ”Ada belanja yang mandatory (wajib) dan berapa nominalnya, lalu yang non-mandatory tetapi penting dan merupakan ruang bagi presiden (baru). Termasuk nanti menetapkan range defisit yang masih menjaga kesehatan APBN dan memberi ruang fiskal,” tuturnya.