Kenaikan permintaan pada momentum Lebaran 2024 jauh menyusut jika dibandingkan 10-20 tahun lalu.
Oleh
BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kenaikan omzet industri alas kaki dan tekstil serta produk tekstil pada momentum lebaran terus merosot dalam 10-20 tahun terakhir. Bila dulu lonjakan omzet bisa berkali-kali lipat dibandingkan bulan biasa, kini lonjakan maksimal hanya 50 persen. Penyebabnya, beragam dari impor yang makin marak hingga daya beli masyarakat yang melambat.
Ketua Umum Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo) Eddy Widjanarko menjelaskan, kenaikan omzet penjualan sepatu pada momentum Lebaran tahun ini tidak sebesar 10-20 tahun lalu. Sekitar 20 tahun lalu atau awal dekade 2000, momentum Lebaran bisa meningkatkan omzet hingga tujuh kali lipat dibandingkan bulan biasanya. Sampai dengan sepuluh tahun lalu pun, meski menurun, momen Lebaran tetap bisa meningkatkan omzet hingga tiga kali lipat dibandingkan bulan biasa.
Namun, pada Lebaran 2024, kenaikan omzet penjualan industri alas kaki atau sepatu paling besar mencapai 50 persen dibandingkan bulan biasa.
Kenaikan omzet mulai dirasakan sejak akhir Maret lalu saat sebagian besar pekerja telah menerima gajinya. Hal ini berlanjut hingga awal April saat semakin banyak pemberi kerja yang mencairkan tunjangan hari raya (THR) kepada pekerjanya.
”Ada kenaikan (omzet) karena momentum Lebaran, tetapi tidak seramai zaman dulu,” ujar Eddy dihubungi, Minggu (7/4/2024).
Penyebabnya, menurut Eddy, adalah kenaikan biaya hidup yang ditandai dengan inflasi pangan. Daya beli masyarakat juga menurun. Akhirnya, masyarakat lebih memprioritaskan belanja barang primer seperti pangan dibandingkan barang sepatu.
Selain itu, kini makin marak sepatu impor baik yang legal maupun ilegal yang dipasarkan dengan harga lebih murah. Penjualan pelaku industri sepatu lokal pun tergerus.
Ada kenaikan (omzet) karena momentum Lebaran, tetapi tidak seramai zaman dulu.
Ditambah lagi, telah terjadi perubahan pola konsumsi masyarakat. Zaman dulu, momen Lebaran menjadi kesempatan bagi warga untuk tampil dengan sepatu baru dan pakaian baru. Namun, kini masyarakat lebih mengedepankan pakaian rapi, tanpa perlu harus beli sepatu baru dan pakaian baru.
Ia memperkirakan pasar dalam negeri industri sepatu akan penuh tantangan hingga akhir tahun ini. Penyebabnya, masih maraknya impor sepatu legal dan ilegal yang menggerus pasar pelaku dalam negeri. Pasar ekspor pun masih lesu seiring dengan perlambatan ekonomi global.
Pengendalian impor
Pada sektor tekstil, Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (Apsyfi) Redma Gita Wiraswasta, yang dihubungi, Minggu, menjelaskan, momentum Lebaran biasanya dirasakan juga industri tekstil dan produk tekstil dari hulu hingga hilir. Namun, pada Lebaran kali ini, kenaikan lebih banyak dirasakan pada industri kecil menengah (IKM) produk hilir tekstil seperti garmen. Kenaikannya pun hanya 5-10 persen dibandingkan bulan-bulan biasa.
Kenaikan permintaan yang dirasakan IKM hilir tekstil itu juga datang terlambat (late order),yakni pada saat bulan puasa sudah berjalan. Padahal, zaman dulu, permintaan bisa datang 1-2 bulan sebelum hari Lebaran.
Permintaan yang datang terlambat ditengarai sebagai dampak positif dari pemberlakuan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 36 Tahun 2023 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor yang berlaku 10 Maret lalu. Karena impor dikendalikan, para pembeli pun beralih menggunakan jasa IKM industri tekstil hilir dalam negeri.
Namun, bila dibandingkan Lebaran tahun lalu, kenaikan permintaan makin tipis. Penyebabnya, impor produk tekstil baik legal maupun ilegal terus membanjiri pasar. Kebanyakan produk itu berasal dari China.
Kenaikan penjualan yang terdorong oleh momentum Lebaran paling tinggi terjadi pada 2022. Saat itu, China masih menjalankan zero Covid-19 policy di negaranya sehingga banyak produksi manufaktur yang belum menggeliat. Hasilnya, saat itu penjualan tekstil dalam negeri menguasai hingga 85 persen pangsa pasar.
Adapun pada 2023, manufaktur China sudah kembali menggeliat di saat pasar global masih melambat. Karena berlebihan pasokan yang tidak diimbangi permintaan global, dampaknya banyak produk tekstil China dilempar ke Indonesia. Sejak itulah pasar dalam negeri Indonesia digempur produk impor baik yang masuk legal maupun ilegal.
Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Jemmy Kartiwa Sastraatmaja mengatakan, penjualan pada momentum Lebaran kali ini tidak melonjak. Dampak pengendalian impor pemerintah yang berlaku 10 Maret lalu juga belum dirasakan oleh industri.