Melambat Seusai Pandemi, Investasi Jadi Pekerjaan Rumah Pemerintah Baru
Bank Dunia menyoroti kenaikan beban bunga utang pemerintah yang signifikan. Bisa menghambat investasi dan pertumbuhan.
Oleh
AGNES THEODORA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Masa depan perekonomian Indonesia selama satu tahun ke depan masih dibayangi ketidakpastian di tengah proses transisi pemerintahan baru. Arah kebijakan ekonomi yang belum terbaca serta tingkat utang pemerintah yang semakin besar dikhawatirkan bisa mengikis rasa percaya investor untuk menanamkan modal di Indonesia.
Indonesia tidak sendiri. Berdasarkan Laporan East Asia and the Pacific Economics Update April 2024 ”Firm Foundations of Growth” oleh Bank Dunia, mayoritas negara di kawasan Asia Pasifik menghadapi tantangan serupa. Meski tumbuh stabil, pertumbuhan ekonomi negara-negara di kawasan masih jauh dari potensi yang sesungguhnya.
Pertumbuhan yang melambat di Indonesia dan negara-negara lain di kawasan terjadi karena laju investasi yang lebih rendah dibandingkan level prapandemi. Bank Dunia menduga investasi yang melambat itu disebabkan oleh level utang pemerintah dan swasta yang semakin tinggi serta ketidakpastian politik dan arah kebijakan baru oleh rezim mendatang.
Laporan itu menyebutkan, setiap kenaikan utang sebesar 10 persen poin akan menurunkan laju pertumbuhan investasi sebesar 1,1 persen poin. ”Utang pemerintah yang tinggi akan membatasi ruang fiskal negara, menghambat investasi publik, bahkan bisa semakin menghambat masuknya investasi swasta,” kata Kepala Ekonom Kawasan Asia Timur dan Pasifik di Bank Dunia Aaditya Mattoo, dalam konferensi pers daring, Kamis (4/4/2024).
Bank Dunia juga menyoroti beban belanja bunga utang Pemerintah Indonesia yang naik signifikan. Di kawasan Asia Pasifik, negara yang mengalami peningkatan beban bunga utang paling signifikan pascapandemi adalah Indonesia, Laos, Papua Niugini, dan Mongolia.
Beban pembayaran bunga utang yang tinggi itu dikhawatirkan akan semakin mempersempit ruang gerak fiskal dan menghambat pertumbuhan. Sebab, berbagai pos belanja penting lainnya berpotensi tergerus oleh beban belanja bunga utang yang mesti ditanggung pemerintah.
Beban pembayaran bunga utang (di luar pokok utang) dalam APBN 2024 telah menyentuh Rp 497,3 triliun. Hampir Rp 500 triliun.
”Beban utang negara juga bisa menggerus rasa percaya investor dan menghambat masuknya investasi yang dibutuhkan untuk mendongkrak pertumbuhan PDB (produk domestik bruto) nasional,” kata Aaditya.
Selama ini, pemerintah kerap berdalih posisi utang Indonesia masih dalam kondisi aman karena rasio utang pemerintah pada tahun 2023 masih 38,6 persen terhadap PDB. Angka itu jauh di bawah batas aman rasio utang yang diatur dalam undang-undang, yakni maksimal 60 persen terhadap PDB.
Meski demikian, beban pembayaran bunga utang membengkak. Kementerian Keuangan mencatat, beban pembayaran bunga utang (di luar pokok utang) dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2024 telah menyentuh Rp 497,3 triliun. Hampir Rp 500 triliun. Angka itu nyaris setara dengan jumlah defisit APBN (proyeksi belanja negara yang akan dibiayai lewat utang) sebesar Rp 522,8 triliun.
Alokasi anggaran untuk membayar bunga utang pemerintah itu sudah menjadi yang tertinggi di atas jenis belanja lainnya dalam komponen belanja pemerintah pusat. Jauh lebih besar dari total alokasi anggaran kesehatan (Rp 187,5 triliun), anggaran perlindungan sosial (Rp 496,8 triliun), anggaran infrastruktur (Rp 423,4 triliun), dan sedikit lagi menyamai total anggaran pendidikan (Rp 665 triliun).
Pertumbuhan stagnan
Dalam kesempatan yang sama, ekonom senior Chatib Basri mengatakan, pertumbuhan ekonomi Indonesia yang stagnan di kisaran 5 persen selama satu dekade terakhir masih jauh dari ideal. Angka 5 persen itu bisa didapat dengan mengandalkan mesin konsumsi rumah tangga atau belanja masyarakat.
Semestinya, untuk menyiapkan jalur menuju cita-cita negara maju pada tahun 2045, dari sekarang Indonesia sudah harus mengerek pertumbuhannya sampai 6-7 persen. Untuk itu, dibutuhkan pertumbuhan investasi yang kuat dengan kontribusi terhadap PDB sebesar 41-48 persen.
Sayangnya, ujar Chatib, kontribusi investasi ke PDB nasional baru mencapai 35 persen. Meski investasi pascapandemi selalu tumbuh memenuhi target, dampak penggeraknya ke ekonomi tidak maksimal. Tingkat incremental capital output ratio (ICOR) Indonesia masih terlalu tinggi, yang menandakan investasi di Indonesia tidak efektif dan berbiaya mahal.
”Makanya, kalau dilihat pertumbuhan ekonomi kita hanya terjebak di 5 persen, padahal ironisnya data investasi kita selalu capaiannya tinggi. Memang kalau mau mencapai pertumbuhan 7 persen itu kita butuh investasi asing sebanyak-banyaknya. Ini yang akan jadi pekerjaan rumah untuk pemerintahan baru ke depan,” tuturnya.