Pertumbuhan Ekonomi Dipatok 5,3-5,6 Persen pada 2025
Proyeksi pertumbuhan ekonomi 5,6 persen dinilai kurang realistis mengingat masih tingginya tekanan ekonomi global.
Oleh
DIMAS WARADITYA NUGRAHA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah tengah meracik asumsi dasar makro untuk Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau APBN 2025. Di dalamnya terdapat sejumlah indikator yang diasumsikan mulai dari pertumbuhan ekonomi, laju inflasi, hingga nilai tukar rupiah.
Sebagai informasi, rancangan anggaran ini akan dijalankan oleh pemerintahan baru seusai masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo pada Oktober 2024. Adapun hingga saat ini, hasil hitung Komisi Pemilihan Umum (KPU) masih mengunggulkan pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.
Namun, sejumlah pihak menganggap proyeksi pertumbuhan ekonomi 2025 yang telah masuk dalam kalkulasi Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas), yang mencapai 5,6 persen, sedikit ambisius.
Target pertumbuhan ekonomi di tahun 2025 akan menjadi fondasi Bappenas dalam menyusun transformasi kerja pemerintah dalam lima tahun mendatang.
Deputi Bidang Ekonomi Bappenas, Amalia Adininggar Widyasanti, mengatakan, dalam asumsi makro dalam APBN 2025 yang akan dijalankan oleh pemerintahan baru, pertumbuhan ekonomi telah dipatok di kisaran 5,3– 5,6 persen.
Hal ini sejalan dengan tema rencana kerja pemerintah pada 2025, yakni akselerasi pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan. Target pertumbuhan ekonomi pada 2025 akan menjadi fondasi Bappenas dalam menyusun transformasi kerja pemerintah dalam lima tahun mendatang.
Infografik Kisi-kisi indikator asumsi dasar makro dalam Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal RAPBN 2025.
”Jadi, pertumbuhan ekonomi (tahun 2025) memang harus lebih cepat dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi pada tahun 2024 atau 2023,” kata Amalia yang akrab disapa Winny, Selasa (5/3/2024).
Ia merinci, asumsi defisit APBN 2025 sebesar 2,45-2,8 persen terhadap produk domestik bruto. Inflasi berada pada rentang 1,5-3,5 persen. Nilai tukar rupiah berkisar Rp 15.000 sampai Rp 15.400 per dollar AS pada 2025.
Adapun harga minyak mentah Indonesia (ICP) pada 2025 diasumsikan berkisar 75 dollar AS hingga 85 dollar AS per barel. Sementara produksi siap jual atau lifting untuk minyak bumi diproyeksikan sebesar 583.000 barel per hari (bph) sampai 605.000 bph. Lifting gas bumi adalah 1.000 barel setara minyak per hari (bsmph) sampai 1.045 bsmph.
”Untuk menuju pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan itu harus dikontribusikan oleh bukan hanya pemerintah, tapi seluruh pemangku kepentingan ekonomi. Peran pemerintah adalah memfasilitasi, memberikan stimulus, tapi aktornya juga nonpemerintah,” ujarnya.
Cukup ambisius
Dihubungi secara terpisah, analis senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution, Ronny P Sasmita, menilai proyeksi pertumbuhan ekonomi 2025 agak ambisius. Ia mengaku belum dapat melihat munculnya potensi penguatan ekonomi pada 2025, dengan asumsi kontribusi konsumsi rumah tangga dalam pertumbuhan ekonomi nasional masih di atas 50 persen.
”Dari perkembangan yang ada, ekonomi kita hanya berpotensi tumbuh 5-5,3 persen. Konsumsi rumah tangga masih akan dihadapkan dengan tekanan daya beli pada tahun depan, utamanya akibat ancaman inflasi pada kebutuhan pokok,” ujarnya.
Konsumsi rumah tangga masih akan dihadapkan dengan tekanan daya beli di tahun depan, utamanya akibat ancaman inflasi pada kebutuhan pokok.
Untuk mengakselerasi pertumbuhan ekonomi, Ronny menyarankan agar pemerintah fokus menjaga daya beli dengan berbagai macam bantuan sosial untuk rakyat miskin. Pemerintah agar juga fokus meningkatkan kontribusi investasi kepada pertumbuhan PDB. Adapun investasi minimal tumbuh di atas 6 persen.
Ronny juga menyarankan agar pemerintah meningkatkan belanja-belanja yang bertujuan meningkatkan kualitas SDM, sembari tetap menjaga belanja pembangunan agar semakin efektif dalam mendorong investasi.
”Tapi untuk sebuah target tentu harus dipasang ideal dan tinggi. Jadi, tak ada salahnya juga diasumsikan sebesar hingga 5,6 persen untuk membangun kepercayaan diri pemerintah dan optimisme pasar,” kata Ronny.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Institute for Develompent of Economics and Finance (Indef), Tauhid Ahmad, menilai proyeksi pertumbuhan ekonomi mencapai 5,6 persen cenderung kurang realistis mengingat tekanan ekonomi global masih tinggi.
Ia mengatakan, untuk memperoleh pertumbuhan 5 persen sebetulnya bisa didapat dengan mudah, jika hanya mengandalkan konsumsi masyarakat dan belanja atau konsumsi pemerintah. Namun, pertumbuhan di atas itu akan sulit diperoleh bila ekspor terganggu dan investasi mandek.
”Jadi, kalau misalnya hanya mengandalkan konsumsi dan belanja pemerintah, (pertumbuhan ekonomi) 5 persen sudah autopilot. Untuk lebih dari itu ada dua kunci yang harus digenjot, pertama sektor investasinya, lalu kedua sektor ekspor-impor,” kata Tauhid.