Pukulan Ganda yang Diterima Adidas di Awal Tahun
Setelah membukukan rugi bersih pertama dalam 30 tahun, Adidas tergusur menyakitkan di rumah sendiri.
Perusahaan perlengkapan olahraga asal Jerman, Adidas, menerima pukulan ganda pada triwulan I-2024. Setelah membukukan rugi bersih pertama dalam 30 tahun, perusahaan berlogo tiga setrip itu harus menerima kenyataan pahit berikutnya, yang bisa jadi lebih menyakitkan. Kebersamaannya dengan Timnas Jerman akan segera berakhir dan digantikan rival utama mereka, Nike.
Kerugian finansial yang diderita Adidas diawali pemutusan kerja sama dengan rapper asal Amerika Serikat, Kanye West, pada 2022. Hal itu tidak terlepas ungkapan antisemit yang dilontarkan West, yang membuat perusahaan memutuskan untuk menyudahi kemitraan. Padahal, Adidas dan West sebelumnya berkolaborasi dalam memproduksi sepatu Yeezy yang sangat menguntungkan.
Mengutip Reuters, Rabu (13/3/2024), pada 2023 atau tahun pertama kepemimpinan CEO Bjorn Gulden, penjualan sepatu Yeezy untuk membersihkan sisa stok dilanjutkan. Upaya itu dilakukan sambil berusaha meningkatkan produk sepatu populer Adidas, seperti Samba dan Gazelle, dan memperbaiki hubungan dengan para pengecer (retailers). Saham Adidas pun sejatinya telah mengalami pemulihan.
Adidas membukukan rugi bersih sebesar 58 juta euro pada 2023, pertama sejak 1992. ”Walaupun sejauh ini belum cukup bagus, tahun 2023 berakhir lebih dari yang saya perkirakan di awal tahun,” ujar Bjorn.
Baca juga: Berpaling ke Nike, Timnas Jerman Tinggalkan Adidas
Pada 2024, Adidas memperkirakan penjualan di Amerika Utara akan terus turun, yakni sebesar 5 persen. Lebih rendahnya permintaan serta kelebihan stok toko di AS membebani pendapatan perusahaan pada 2023. Penjualan di Amerika Utara pada triwulan IV-2023 turun 21 persen serta turun 16 persen sepanjang tahun.
Adidas meraup pendapatan 750 juta euro dari penjualan Yeezy pada 2023, yang menghasilkan keuntungan 300 juta euro. Perusahaan menyisihkan 140 juta euro sebagai donasi kepada badan amal yang memerangi antisemit dan rasialisme. Adapun Dewan Adidas mengusulkan dividen yang tak berubah, yakni 0,7 euro per saham pada kinerja 2023, meski mencatatkan rugi bersih 58 juta euro.
Pukulan berikutnya
Belum sembuh ”luka” kerugian buntut perceraian dengan West, Adidas mendapat pukulan berikutnya pada akhir Maret 2024. Pernyataan Asosiasi Sepak Bola Jerman (DFB) pada Kamis (21/3/2024) mencengangkan Jerman. Pengumuman kesepakatan DFB dengan Nike, raksasa perlengkapan olahraga asal Amerika Serikat, mulai 2027, menjadi penanda runtuhnya 70 tahun lebih kebersamaan Tim Nasional Jerman dengan Adidas, produsen perlengkapan olahraga kebanggaan negara industri itu.
Barangkali, nyaris tak terbayangkan sebelumnya oleh publik kala timnas Jerman bakal berpisah dengan Adidas yang turut menemani ”Die Mannschaft” meraih empat Piala Dunia (1954, 1974, 1990, dan 2014). Perpanjangan kontrak selama empat tahun pada 2022 rupanya gagal berlanjut. Pada akhirnya, semua kembali ke urusan bisnis, dan yang bisa menggusur aparel berlogo tiga setrip itu ialah Nike.
Managing Director DFB Holger Blask menjelaskan, terpilihnya Nike sebagai pemasok perlengkapan timnas Jerman dari tahun 2027 hingga tahun 2034 berdasarkan tender yang transparan dan tanpa diskriminasi. ”Nike memberikan tawaran finansial terbaik disertai komitmen jelas untuk mendukung sepak bola amatir, akar rumput, dan pengembangan sepak bola wanita di Jerman,” katanya dikutip dari laman DFB.
Meski demikian, dari perspektif finansial, diterimanya penawaran Nike masuk akal. Mengutip Forbes, media Jerman melaporkan Adidas menyiapkan sekitar 50 juta euro per tahun untuk kontrak tersebut, sedangkan Nike menawarkan dua kali lipatnya atau sekitar 100 juta euro per tahun. Jumlah yang disiapkan Nike itu menjadi yang terbesar di muka bumi untuk suatu kontrak perlengkapan olahraga.
Bjørn Gulden, dilaporkan Bild, sempat terbang ke kantor pusat DFB di Frankfurt pada Rabu (20/3/2024) untuk membuat penawaran menit akhir. Dengan harapan, DFB mau berubah pikiran. Namun, DFB menolak penawaran tersebut pada keesokan harinya, hingga kemudian diumumkan kesepakatan kerja sama dengan Nike.
Pengumuman kesepakatan tersebut mengundang reaksi negatif dari berbagai pihak di Jerman. Menteri Ekonomi Robert Habeck, misalnya, mengaku, akan sulit membayangkan jersei timnas Jerman tanpa tiga setrip. Ia bahkan menyinggung Adidas bagian dari identitas Jerman. Ia juga sebenarnya mengharapkan ada nilai patriotisme lebih terkait itu.
Markus Söder, Menteri Utama Bavaria, menyebut keputusan DFB yang memilih bercerai dengan Adidas demi Nike sebagai keputusan yang salah, memalukan, dan tak dapat dipahami. ”Sepak bola Jerman bukanlah bidak dalam pertarungan korporasi internasional. Perdagangan bukanlah segalanya,” katanya, dikutip dari DW.
Selain dari para politisi, reaksi negatif juga ditunjukkan publik Jerman. Poling yang dilakukan majalah sepak bola Jerman, Kicker, menunjukkan bahwa dari sekitar 60.000 pemberi suara, sebanyak 89 persen di antaranya menilai bahwa kesepakatan itu buruk. Hanya 11 persen yang menilai hal tersebut sebagai langkah bagus dari DFB.
Nike memberikan tawaran finansial terbaik disertai komitmen jelas untuk mendukung sepak bola amatir, akar rumput, dan pengembangan sepak bola wanita di Jerman.
Bagi Nike, tentu saja hal itu menggembirakan sekaligus memuaskan karena telah sukses mengalahkan kompetitor terbesar mereka di rumah sendiri. ”Ini adalah upaya tim yang luar biasa serta menjadi bukti nyata bahwa saat Nike memberikan yang terbaik, tidak ada yang bisa mengalahkan kami,” kata CEO Nike John Donahoe kepada Yahoo.
Sementara itu, Adidas menyatakan masih memiliki kontrak dengan DFB hingga akhir 2026. ”Kami telah diinformasikan oleh DFB bahwa federasi akan mempunyai pemasok baru mulai tahun 2027,” tulis pernyataan mereka.
Rivalitas
Dalam bisnis perlengkapan olahraga, Adidas ialah rival terkuat Nike. Pada olahraga sepak bola, olahraga terpopuler di dunia, persaingan keduanya selalu menghiasi industri sepak bola yang semakin berkembang, meski ada juga sejumlah perusahaan lain. Puma, misalnya, juga berasal dari Jerman. Namun, Adidas dan Nike menjadi penguasa di posisi dua teratas.
Keduanya berebut kemitraan dengan klub-klub elite hingga pemain-pemain tersohor yang mampu mengangkat jenama mereka ke tingkat lebih tinggi dengan jangkauan lebih luas. Pun tim nasional-tim nasional negara langganan ajang bergengsi sepak bola. Sering kali, Piala Dunia, helatan sepak bola terakbar, juga dilihat sebagai pertarungan aparel yang digunakan tim-tim peserta.
Baca juga: Kroos Versi Lama dalam Jerman yang Baru
Di Premier League musim 2023/2024, Nike dan Adidas sama-sama digunakan oleh empat klub sebagai seragam tim. Di Serie A Italia, ada satu klub menggunakan Nike dan dua klub menggunakan Adidas. Di La Liga Spanyol, terdapat tiga tim menggunakan Nike dan empat tim menggunakan Adidas. Di Bundesliga Jerman, Nike digunakan empat klub, dan Adidas digunakan oleh dua klub.
Di samping itu, salah satu yang paling fenomenal, dan tak ada habisnya, adalah persaingan Lionel Messi dan Cristiano Ronaldo (CR7). Messi ialah brand ambassador Adidas, sedangkan CR7 disokong oleh Nike. Pada laporan The Sun tahun 2021, disebutkan CR7 mendapat bayaran sekitar 14,7 juta pound sterling per tahun. Sementara bayaran Adidas untuk Messi sekitar 22,09 juta pound sterling per tahun.
Mengutip Statista, pada 2023, pendapatan global Nike sekitar 51,22 miliar dollar AS atau meningkat sekitar 4,5 miliar dollar AS dibandingkan tahun 2022. Sementara itu, dalam laporan resmi Adidas, pendapatan pada 2023 sebesar 21,427 miliar euro menurun 5 persen dari tahun 2022 yang sebesar 22,511 miliar euro.
Dengan dua pukulan telak dalam kurang dari dua tahun, Adidas perlu bekerja keras melakukan strategi ekspansif dan terus mengejar Nike yang semakin memimpin di pucuk industri perlengkapan industri olahraga.
Nama besar serta nilai historis Adidas, yang didirikan Adolf Dassler pada 1949, menjadi kekuatan. Perubahan industri olahraga, termasuk sepak bola, juga menjadi angin yang perlu diikuti dan diperhatikan.