Fenomena satu orang pekerja memiliki lebih dari satu hubungan kerja semakin marak. Ini membuat mereka ”overwork”.
Oleh
MEDIANA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pekerja di sektor industri kreatif di Indonesia cenderung masih harus bekerja berlebihan atau overwork. Situasi ini diduga dipengaruhi upah kerja yang rendah sehingga overwork dilakukan demi bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari.
”Sejak 2016 hingga sekarang, terjadi fenomena pekerja industri kreatif yang mengalami overwork. Mereka harus bekerja di atas 48 jam setiap pekan,” ujar Ketua Umum Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi Ikhsan Raharjo, Selasa (2/4/2024), di Jakarta.
Mengutip laporan resmi Statistik Upah Tenaga Kerja Pariwisata dan Ekonomi Kreatif 2018–2021 yang diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) serta Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Ikhsan menyebutkan, pada 2018, persentase jumlah pekerja industri kreatif yang mengalami overworking sebesar 30,01 persen. Kemudian, pada 2021, persentasenya menurun menjadi 22,9 persen.
Menurut Ikhsan, penurunan ini karena pandemi Covid-19 yang membuat banyak bisnis sepi sehingga berpengaruh pada jam kerja pekerja kreatif. Sebagian besar pekerja kreatif memang berstatus pekerja lepas.
”Kami menduga, jumlah pekerja kreatif yang mengalami overwork karena harus memiliki beberapa pekerjaan lepas meningkat pascapandemi Covid-19. Setelah pembatasan sosial dicabut, bisnis dan pasar kerja kembali normal,” katanya.
Namun, persentase jumlah pekerja industri kreatif yang mengalami overwork diperkirakan tetap berkisar 20-30 persen terhadap total pekerja. Pekerja lumrah memiliki lebih dari satu hubungan kerja. Salah satu motivasi yang jadi perhatian Ikhsan ialah mengejar pendapatan lebih besar.
CEO Sribu Ryan Gondokusumo mengatakan, selama pandemi Covid-19, suplai pekerja lepas, yang di antaranya memiliki keterampilan terkait industri kreatif, meningkat sejalan dengan fenomena pemutusan hubungan kerja. Akan tetapi, permintaan akan jasa pekerja lepas malah turun.
Kami menduga, jumlah pekerja kreatif yang mengalami overwork karena harus memiliki beberapa pekerjaan lepas meningkat pascapandemi Covid-19.
Setelah pandemi Covid-19 usai, permintaan jasa pekerja lepas kembali naik. Alasannya, sejumlah pemilik bisnis khawatir dengan situasi ekonomi sehingga daripada merekrut pekerja tetap yang akan membutuhkan biaya besar dan belum tentu cocok, mereka memilih menggunakan jasa pekerja lepas.
Ditambah lagi, infrastruktur internet telah masif berkembang. Mekanisme bekerja dari jauh pun semakin mudah dilakukan.
”Seminar yang bersifat memberikan pelatihan keterampilan baru atau reskilling sekarang juga marak. Di antaranya berupa seminar keterampilan asisten virtual yang bisa digunakan untuk bekal menjadi pekerja lepas,” ucapnya.
Sejak Sribu didirikan tahun 2012 hingga saat ini, jumlah pekerja lepas yang terdaftar hampir 700.000 orang. Sekitar 30.000 orang di antaranya telah lolos kurasi.
Menurut Ryan, banyak orang menjajal menjadi pekerja lepas di Sribu dengan berbagai motivasi. Kebanyakan dari mereka telah memiliki hubungan kerja tetap di perusahaan lain. Dari total yang terkurasi, 40 persen bukan pekerja yang sehari-hari menjalani status sebagai pekerja lepas.
CEO Briefer Aditya Sani menyampaikan cerita senada. Dari sisi permintaan, dia mengamati, ada kecenderungan banyak pebisnis menginginkan urusan kerja komunikasi kreatif dilakukan lewat proyek jangka pendek dibandingkan jangka panjang. Penyebabnya bermacam-macam, mulai dari efisiensi anggaran, situasi ketidakpastian ekonomi, hingga perilaku konsumen yang sekarang relatif cepat berubah.
Pebisnis akhirnya memilih merekrut pekerja lepas yang terampil di bidang kreatif dan komunikasi untuk mengerjakan urusan kerja komunikasi perusahaan mereka. Situasi itu mendorong peningkatan suplai pekerja lepas.
Hanya, dia mengamati, ada kesenjangan standar cara bekerja dan keahlian dari para pekerja lepas yang tersedia. Meski kerap kali harus overwork, perbedaan tersebut berdampak pada tingkat kesejahteraan yang mereka peroleh.
”Kekhawatiran kami, sampai saat ini, belum semua pekerja kreatif yang berstatus pekerja lepas dalam kesehariannya memasukkan jaminan sosial ketenagakerjaan saat negosiasi pengupahan. Padahal, beberapa harus melakoni overwork. Menurut kami, kepesertaan jaminan sosial yang berkelanjutan menjadi salah satu tolok ukur penting untuk perlindungan sosial mereka,” imbuh Ikhsan.
Sebelumnya, Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah mengatakan, pihaknya berupaya menyempurnakan regulasi untuk memperluas cakupan kepesertaan pekerja bukan penerima upah (BPU), seperti pekerja lepas, evaluasi pelaksanaan program, dan keefektifan agen jaminan sosial ketenagakerjaan.
Di samping itu, Kemenaker mendorong BPJS Ketenagakerjaan untuk meningkatkan kualitas pelayanan, masifikasi sosialisasi, dan koordinasi dengan pemerintah daerah guna mengoptimalkan sumber dana daerah untuk memberikan perlindungan bagi BPU yang rentan.