Direktorat Jenderal Bea Cukai Kementerian Keuangan resmi membatasi barang bawaan penumpang dari luar negeri mulai 10 Maret 2024. Hal itu mengacu pada Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 36 Tahun 2023 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor. Berdasarkan ketentuan itu, terdapat lima jenis barang bawaan penumpang dari luar negeri yang dibatasi masuk ke Indonesia, yakni alat elektronik, alas kaki, barang tekstil, tas, dan sepatu.
Penerapan aturan pembatasan barang bawaan penumpang dari luar negeri menuai protes dari sejumlah kalangan, seperti konsumen jasa titipan (jastip), pelaku jastip, hingga pekerja migran Indonesia (PMI). Para pahlawan devisa negara tersebut merasa keberatan dengan ketentuan pembatasan barang bawaan lantaran akan mempersulit mereka tatkala hendak menengok keluarga di kampung halaman.
Wijayanti Mangala (27), salah satunya, menolak dan merasa keberatan dengan aturan pembatasan itu karena dalam hal ini dia berstatus bekerja. Bagi dia, aturan tersebut tidak bisa disamaratakan begitu saja antara penumpang yang mengantongi visa wisata dan penumpang yang mengantongi visa pekerja migran.
”Kalau disamaratakan antara penumpang yang dengan visa wisata dan visa pekerja migran, ya, jelas menolak dan sangat keberatan karena, kami di sini bukan liburan, tetapi kerja. Apalagi, kami di sini enggak sehari dua hari, di sini kami tahunan. Enggak mungkin kami enggak beli barang-barang yang kami pengin. Jadi, kalaupun dibawa pulang atau dikirim via ekspedisi, barang itu barang bekas kami sendiri, bukan barang baru,” katanya saat dihubungi dari Jakarta, Minggu (31/3/2024).
Saat ini, Wijayanti tengah berada di Taipei, Taiwan. Sudah hampir satu tahun perempuan asal Blitar, Jawa Timur, itu bekerja sebagai asisten rumah tangga di sana. Ia tidak sendiri, beberapa teman dan saudaranya pun sudah terlebih dahulu menjajaki Taiwan sebelum dirinya.
Dengan adanya aturan pembatasan tersebut, para PMI merasa terbebani dan justru mempersulit mereka yang hendak pulang kampung. Padahal, barang-barang yang dibawa pulang tersebut notabene tidak untuk diperjualbelikan.
”Kalau mau pulang untuk seterusnya atau cuma untuk cuti, kan kami enggak mungkin bawa barang bawaan dengan ketentuan seperti itu. Baju enggak mungkin cuma bawa 5-10 setel, apalagi alas kaki. Dan, kadang kita juga perlu bawa oleh-oleh untuk keluarga. Kami bawa itu semua enggak untuk dijual, seharusnya ada toleransi untuk pekerja migran seperti kami,” tuturnya.
Terkait dengan pembatasan barang bawaan tersebut, para PMI pun berharap pemerintah membuka ruang toleransi atas barang bawaan mereka. Hal ini mengingat kebijakan negara tempat mereka mencari nafkah pun tidak mempersulit dengan adanya aturan pembatasan.
Barang itu barang bekas kami sendiri, bukan barang baru.
Menurut Wijayanti, pemerintah tidak perlu takut dan khawatir dengan penjualan produk lokal di Taiwan. Sebab, sebagian PMI yang tinggal di sana pun tetap membeli produk-produk asal Indonesia.
”Jadi, seharusnya ada toleransi untuk kami yang PMI, janganlah apa-apa dihitung pajak. Apalagi, di Taiwan, kami PMI dipermudah untuk menerima barang kiriman dari Indonesia. Harapannya, semoga instansi terkait lebih mengkaji lagi peraturan-peraturan itu,” ucapnya.
Adapun Anisa K (31), WNI di Singapura yang merupakan pelaku jasa titip (jastip), mengatakan, peraturan baru soal pembatasan impor barang penumpang memang masih sangat rancu.
”Namanya orang baru pulang umrah atau TKI-TKI yang baru pulang ke kampung halaman, pasti jumlah oleh-oleh yang dibawa lebih dari yang dibatasi. Kalau masih dalam tahap pengenalan aturan, seharusnya pihak cukai tidak langsung menyita barangnya, cukup beri peringatan saja. Saran saya, kalau pemerintah mau menertibkan jastip, para pelaku ini kan masuknya pengusaha jasa, ya, sudah data saja dan daftarkan para pelaku dan beri izin seperti UMKM, tergantung seberapa besar kuantitasnya,” tutur Anisah.
Adapun Putri Nurul dan Safira Salza (22), penyedia jasa titip barang luar negeri asal Surabaya, mengatakan, penerapan peraturan pembatasan barang dari bea cukai cukup berdampak pada mereka. Mereka melayani jastip pembelian barang hobi dan koleksi yang hanya dapat dibeli dari negara tertentu, seperti Thailand, Filipina, China, Jepang, dan Korea Selatan. Jasa itu mereka tawarkan melalui media sosial Twitter, lewat akun @biscopuff.
Kini, mereka harus membagi pengiriman barang pelanggan secara bertahap, terutama jika pesanan melimpah. Otomatis mereka harus menambah frekuensi perjalanan dan bagasi.
”Satu-satunya yang dapat kami lakukan menambah biaya jasa kepada customer. Hal tersebut sangat merugikan kami karena sejatinya customer mengharapkan biaya jasa rendah dengan pengiriman barang yang cepat. Akibat peraturan tersebut, proses pengiriman barang customer terhambat sehingga estimasi kedatangan juga menjadi lebih lama dari sebelumnya,” kata mereka.
Oleh karena itu, mereka berharap pemerintah dapat memikirkan banyak aspek lain, khususnya bagi masyarakat yang mata pencariannya mengandalkan bisnis jastip, sebelum menyusun peraturan baru. Mereka juga berharap kepada para jastiper lain untuk selalu mengikuti peraturan yang telah disusun bea cukai demi meminimalkan hal-hal yang tidak diinginkan.
Maria Margaretha Ratih Utami (36), karyawati swasta di Jakarta yang biasa menggunakan jastip untuk mendapatkan barang-barang dari luar negeri, mengatakan, dirinya sudah cukup lama menggunakan jasa jastip untuk membeli produk-produk dari luar negeri yang sesuai dengan kebutuhan.
”Imbas dari ketentuan baru tersebut, saya merasa kuantitas barang yang bisa dibeli lewat jastip kini menjadi terbatas. Ini merugikan, sebab saya membeli barang-barang dari luar negeri akibat produk itu tidak tersedia di dalam negeri, ataupun harga di dalam negeri jauh lebih mahal karena pajak yang sangat tinggi,” kata Maria.
Menurut Maria, pembatasan barang bawaan dari luar negeri seharusnya terukur. Pengawasan dan penindakan terhadap kasus-kasus pelanggaran perlu ditingkatkan, tetapi bukan gara-gara temuan kasus pelanggaran justru membuat aturan pembatasan barang bawaan yang berdampak memberatkan semua penumpang dari luar negeri. Aturan pembatasan itu perlu dikaji ulang.
”Di sisi lain, jastip sekarang makin menjamur karena dibutuhkan. Ini momentum mengkaji ulang dan mengevaluasi jastip yang semakin banyak. Pemerintah jangan menutup mata terhadap fenomena jastip ini. Usaha jastip seharusnya difasilitasi, didata, dan diverifikasi lewat organisasi, dan bukannya dimatikan,” ujar Maria.