APBN berperan penting dalam upaya memitigasi perubahan iklim. Namun, APBN tetap butuh mitra untuk pendanaan hijau.
Oleh
DIMAS WARADITYA NUGRAHA
·3 menit baca
Sejak 2019 tercatat suhu rata-rata global telah mengalami kenaikan 1,1 derajat celsius, lebih panas dibandingkan dengan periode praindustri tahun 1850-an. Memanasnya suhu permukaan bumi disebabkan kenaikan konsentrasi gas rumah kaca, seperti karbon dioksida (CO2), metana (CH4), dan nitrogen monoksida (N2O), yang terjebak di atmosfer.
Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia tentu merasakan dampak signifikan dari kenaikan suhu muka bumi. Dampak fatal dirasakan masyarakat yang tinggal di garis depan wilayah terdampak kekeringan, banjir, naiknya permukaan air laut, kebakaran hutan dan lahan, dan lain-lain.
Dalam kesempatan diskusi publik bertema ”Peran APBN dalam Mewujudkan Ekonomi Hijau dan Biru” di Jakarta, Rabu (27/3/2024), Analis Kebijakan Ahli Madya Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Noof Syaifudin menjelaskan potensi kerugian ekonomi dapat mencapai 3 persen dari produk domestik bruto (PDB) pada 2030 akibat perubahan iklim.
APBN berperan signifikan untuk meningkatkan kontribusi pada penurunan emisi gas rumah kaca. Pemerintah menyelaraskan dengan sisi jangka panjang, di mana pada 2060 Indonesia diharapkan menjadi negara emisi netral.
Menyadari perubahan iklim yang kian mengancam, implementasi ekonomi hijau di Tanah Air semakin mendesak. Komitmen Pemerintah Indonesia dalam menurunkan emisi karbon tecermin dari nationally determined contribution (NDC). Indonesia telah berkomitmen pada 2030 dapat menurunkan emisi karbon sebesar 29 persen dengan upaya sendiri atau 41 persen dengan bantuan internasional.
Pembangunan infrastruktur hijau berbasis mitigasi perubahan iklim di Indonesia tidak lepas dari kapasitas dan varian sumber pembiayaan dan pendanaan. Artinya, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) berperan penting dalam berbagai strategi kebijakan pemerintah untuk mendorong pembangunan yang berkelanjutan dan hijau.
Strategi tersebut berisi kebijakan-kebijakan pembangunan yang direncanakan oleh pemerintah yang terfokus pada mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim, lingkungan, dan pertumbuhan jangka panjang yang diintegrasikan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024.
Kementerian Keuangan turut menggalakkan APBN dalam upaya dekarbonisasi sekaligus menekan efek perubahan iklim. Kontribusi beragam instrumen kebijakan fiskal antara lain belanja pemerintah, insentif fiskal, hingga pelibatan sektor keuangan, diperkuat untuk berbagai program pembangunan hijau.
”APBN punya peran signifikan untuk meningkatkan kontribusi pada penurunan emisi gas rumah kaca. Pemerintah menyelaraskan dengan sisi jangka panjang, di mana pada 2060 Indonesia diharapkan menjadi negara emisi netral,” kata Noor.
Dari sisi kebijakan pendapatan, pemerintah telah memberikan insentif fiskal kepada pelaku usaha di bidang infrastruktur hijau, misalnya dengan pemberian tax holiday dan tax allowance untuk pengembangan energi terbarukan. Dengan beban pajak yang lebih ringan, pembangunan infrastruktur hijau diharapkan lebih menarik minat badan usaha untuk berinvestasi.
Dari sisi belanja, pemerintah juga memiliki skema penandaan belanja (climate budget tagging) yang diarahkan untuk penanganan perubahan iklim. Kebijakan dijalankan pemerintah pusat sejak 2016 dan telah diperkenalkan kepada pemerintah daerah sejak 2020.
Selain itu, pemerintah menerbitkan instrumen pembiayaan inovatif, seperti green bond, baik dalam bentuk konvensional maupun syariah, serta dalam mata uang rupiah dan mata uang asing lain. Dalam periode 2018-2023, pemerintah telah menerbitkan global green sukuk lebih dari 6 miliar dollar AS, serta green sukuk ritel pada periode 2019-2023 mencapai Rp 28,6 triliun.
Pentingnya kemitraan
Noor menambahkan, pengatasan masalah iklim memerlukan pembiayaan yang tidak hanya berasal dari pemerintah. Dukungan pendanaan iklim dari internasional, sebagaimana komitmen masyarakat global, merupakan elemen kunci bagi pemenuhan kebutuhan pendanaan iklim nasional.
”Selain itu, keterlibatan swasta juga perlu didorong agar masyarakat lebih berperan dalam upaya bersama untuk mencapai pembangunan hijau yang berkelanjutan,” ujar Noor.
Dalam hal ini, selain pembiayaan dari pemerintah pusat, belanja negara melalui pemerintah daerah juga memegang peranan penting. Dengan kata lain, konvergensi kebijakan penanganan perubahan iklim akan menjadi kunci dari proses transisi ekonomi hijau ke depan.
Indonesia masih membutuhkan pendanaan mitigasi penurunan emisi karbon agar dapat mencapai target penurunan emisi sebesar 32 persen pada 2030. Pendanaan di luar APBN, seperti investasi dari pihak swasta, perlu didorong untuk mencapai target tersebut.
Konvergensi kebijakan penanganan perubahan iklim akan menjadi kunci dari proses transisi ekonomi hijau ke depan.
Untuk mengelola pembiayaan untuk ekonomi hijau dan biru, pemerintah telah mendirikan Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH). Badan tersebut nantinya akan menjadi salah satu mekanisme pembiayaan pelindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang dapat dimanfaatkan berbagai pihak.
”Kehadiran BPDLH melengkapi upaya dan langkah dari kebijakan pemerintah untuk pelindungan dan pembangunan lingkungan,” kata Direktur Utama BPDLH Joko Tri Haryanto dalam kesempatan yang sama.
BPDLH secara sistematis akan menghimpun pendanaan pelindungan lingkungan dan penyalurannya. Pendanaan di BPDLH ini akan bersumber baik dari dana publik dan swasta di dalam negeri maupun di luar negeri, termasuk dari kerja sama bilateral, pendanaan lembaga internasional, investasi swasta, dan sumbangan filantropi.
”BPDLH membawa dana global untuk mendukung APBN. Orientasi penyalurannya akan mencakup kegiatan investasi hijau serta pengembangan sumber daya masyarakat,” ujar Joko.