Dekarbonisasi Jauh Panggang dari Api
Kerugian ekonomi akibat perubahan iklim dapat mencapai Rp 544 triliun. Upaya reduksi emisi karbon masih terfragmentasi.
Terhitung sejak 2019, suhu rata-rata global telah mengalami kenaikan 1,1 derajat celsius lebih panas dibandingkan dengan periode pra-industri tahun 1850-an. Kenaikan suhu di permukaan bumi merupakan indikasi dari kenaikan konsentrasi gas rumah kaca, di antaranya karbon dioksida (CO2), metana (CH4), dan nitrogen monoksida (N2O), yang terjebak di atmosfer.
Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia tentu merasakan dampak signifikan dari kenaikan suhu muka Bumi. Dampak fatal dirasakan masyarakat yang tinggal di garis depan wilayah terdampak kekeringan, banjir, naiknya permukaan air laut, kebakaran hutan dan lahan, dan lain sebagainya.
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) memproyeksi kerugian ekonomi akibat dampak perubahan iklim selama periode 2020-2024 mencapai Rp 544 triliun. Tanpa adanya upaya menangkap konsentrasi gas rumah kaca, atau emisi karbon, secara simultan, kerugian ekonomi yang menimpa negara ini akan semakin besar.
Di sisi lain, perjanjian Paris di tahun 2015 mengikat negara anggota Konvensi Kerangka Kerja PBB untuk Perubahan Iklim (UNFCCC), termasuk Indonesia, untuk menjaga peningkatan suhu agar tak melebihi 2 derajat celsius atau idealnya 1,5 derajat celsius pada 2030.
Indonesia secara konseptual telah merencanakan reduksi emisi karbon yang tertuang dalam dokumen kontribusi nasional (nationally determined contribution/NDC). Dengan adanya target NDC, emisi karbon nasional pada 2030 akan ditekan hingga 31,89 persen lebih rendah tanpa bantuan internasional, dan 43,2 persen lebih rendah dengan bantuan internasional.
Hasil berupa kenaikan kapasitas bauran energi terbarukan belum terlihat. Pasalnya, kebijakan transisi energi masih terfragmentasi.
Transisi energi
Secara faktual di tahun ini, sedikitnya terdapat tiga skema yang menjadi andalan para pemangku kepentingan untuk mengejar realisasi target reduksi emisi karbon, yakni dengan meningkatkan bauran energi terbarukan pada energi primer, implementasi teknologi penangkapan karbon, serta optimalisasi bursa karbon.
Salah satu langkah dilakukan pemerintah untuk merealisasikan target NDC adalah dengan berupaya meraih target 23 persen energi baru terbarukan (EBT) pada bauran energi primer, di tahun 2025 nanti. Sementara, hingga akhir 2023 bauran EBT masih berkisar 12 persen.
Institute for Essential Services Reform (IESR) mengamati tren pembangunan energi terbarukan cenderung melambat, yakni hanya mencapai 0,97 gigawatt dari target 3,4 gigawatt pada triwulan IV-2023. Artinya, jika tren ini berlanjut, Indonesia justru tidak akan mencapai puncak emisi karena stagnasi dekarbonisasi sektor daya.
Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa menilai hasil berupa kenaikan kapasitas bauran energi terbarukan belum terlihat. Pasalnya, kebijakan transisi energi masih terfragmentasi. Kementerian terkait masih melihat aksi perubahan iklim secara terpisah-pisah, bukan sebagai sebuah sistem yang terintegrasi dalam satu agenda pembangunan nasional.
”Fase konsolidasi ini sepertinya masih akan terus berlanjut hingga sepanjang tahun 2024 sebelum kita mulai masuk pada fase eksekusi, di saat tidak ada perubahan komitmen politik yang drastis,” ujar Fabby.
Menyadari tak mampu mengejar target energi terbarukan dalam bauran energi primer, pada tahun ini Dewan Energi Nasional (DEN) selaku perumus kebijakan energi nasional menargetkan pengesahan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Kebijakan Energi Nasional (KEN) yang baru. Dalam kebijakan baru ini, pada 2025, target energi terbarukan dalam bauran energi primer tak lagi 23 persen, melainkan 17-19 persen.
Sempat ada harapan besar pada Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (EBET). Payung hukum ini memuat, antara lain, mekanisme nilai ekonomi karbon, substansi amonia sebagai salah satu sumber energi baru, dan tingkat komponen dalam negeri (TKDN) pada energi terbarukan.
Sayangnya, pengesahan RUU yang diharapkan tuntas sebelum Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Bali pada November 2022, terus-menerus mundur hingga pergantian tahun 2024. Dalam beberapa pokok persoalan, internal pemerintah, antarkementerian, belum satu suara.
Hingga saat ini belum terlihat adanya strategi yang betul-betul matang dan mengarah pada pengembangan energi terbarukan secara berkelanjutan. Di tambah lagi di tahun ini, adanya pergantian kepemimpinan nasional membuat agenda transisi energi semakin tidak pasti.
Implementasi teknologi
Di luar ketidakpastian transisi energi, langkah dekarbonisasi tahun ini juga akan gencar dilakukan melalui pengembangan teknologi penangkapan, penyimpanan, dan pemanfaatan karbon atau carbon capture and storage (CCS) dan carbon capture, utilization, and storage (CCUS), di sektor pertambangan dan energi.
Baca juga : Teknologi Penangkapan dan Penyimpanan Karbon Dianggap Praktik ”Greenwashing”
CCS ialah teknologi penangkapan dan penyimpanan emisi karbon sehingga tak terlepas ke atmosfer. Sementara pada CCUS, karbon juga dimanfaatkan untuk peningkatan produksi migas.
Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Nicke Widyawati mengatakan, perseroan berkomitmen penuh mengembangkan proyek CCS/CCUS sebagai kunci percepatan dekarbonisasi. Di tahun 2024, Pertamina melanjutkan kolaborasi mereka dengan Chevron dalam pengembangan proyek CCS Hub di Kalimantan Timur.
”Penggunaan energi fosil di Indonesia masih dominan. Artinya, kita masih menghasilkan emisi yang besar sehingga penting untuk serius pada teknologi CCS,” kata Nicke.
Sementara di sektor energi, PT PLN (Persero) di tahun ini akan melanjutkan kajian pengembangan gudang penyimpanan karbon di reservoir bawah tanah pada 19 pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batubara.
Direktur Utama PT PLN Indonesia Power, anak usaha PLN yang bergerak di bidang pembangkitan listrik, Edwin Nugraha Putra, menjelaskan, perusahaan telah memetakan pembangkit fosil berkapasitas besar serta potensi kapasitas penyimpanannya. Ia mengatakan, pengembangan CCS merupakan langkah grup PLN dalam mendukung NDC Indonesia.
Sayangnya, Greenpeace Indonesia punya pandangan berbeda. Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia Iqbal Damanik menilai, implementasi teknologi CCS/CCUS di sektor pertambangan ataupun energi dapat tergolong dalam kategori praktik greenwashing.
CCS dinilai tidak efektif karena butuh tempat penyimpanan yang besar dalam waktu lama dan harus dipindahkan ke wilayah pembuangan yang seluruh prosesnya memerlukan biaya mahal. ”Sementara praktik menyuntikan karbon dalam implementasi CCUS ditengarai punya tujuan utama mengeluarkan lebih banyak minyak dan gas,” ujarnya.
Bursa karbon
Salah satu skema yang dinilai tercepat untuk memaksimalkan upaya dekarbonisasi sekaligus meningkatkan investasi pada pengelolaan ekosistem adalah perdagangan karbon.
Pada 26 September 2023, Bursa Karbon Indonesia diluncurkan untuk memfasilitasi perdagangan sertifikat kredit karbon dengan harga Rp 69.600 per ton, kemudian menurun dengan harga terakhir Rp 59.200 per ton. Sepanjang 26 September hingga akhir Desember 2023, nilai perdagangan di Bursa Karbon Indonesia mencapai Rp 30,9 miliar dengan volume perdagangan 494.000 ton karbon dioksida.
Hingga akhir 2023, sebanyak 71,95 persen karbon belum terjual. Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal, Keuangan Derivatif, dan Bursa Karbon Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Inarno Djajadi mengakui bahwa pasar karbon Indonesia masih minim dari sisi permintaan.
Baca juga : Pasar Karbon Untuk Transisi Energi
”Salah satu alasannya ialah belum terdapat kewajiban korporasi atau pihak-pihak tertentu untuk memiliki kredit karbon. Cenderung transaksi di bursa karbon masih bersifat sukarela,” ujarnya.
Sebelum kehadiran Bursa Karbon Indonesia, praktik uji coba perdagangan karbon telah dilakukan Kementerian ESDM pada subsektor pembangkit listrik dengan harga 2 dollar AS hingga 18 dollar AS per ton. Untuk fase pertama pada 2023 terdapat 99 PLTU dengan kapasitas 33,5 gigawatt yang saling jual-beli karbon.
Fabby Tumiwa menilai, untuk membangun ekosistem pasar karbon yang komprehensif di Tanah Air diperlukan perencanaan dan implementasi yang matang oleh pemerintah, khususnya regulator dan kementerian terkait.
”Integrasi pasar harus diterapkan untuk mencapai satu sistem dan mekanisme penetapan harga yang sama karena pihak sukarela mendominasi pasar saat ini,” ujarnya.
Dapat disimpulkan bahwa ekosistem bursa karbon di Indonesia masih membutuhkan waktu untuk bisa berperan penting dalam membantu mengurangi emisi gas rumah kaca. Perbandingan kondisi Indonesia saat ini bak bumi dan langit dengan ekosistem perdagangan karbon di negara-negara mapan.
Belum ajeknya berbagai skema untuk mengejar realisasi reduksi emisi karbon menggambarkan langkah menghambat laju pemanasan global masih jauh dari harapan.
Saat ini, hampir seperempat emisi gas rumah kaca global sudah tercakup oleh instrumen pengurangan karbon, baik dalam bentuk sistem penjualan emisi (ETS) maupun pajak karbon. Pada 2022, menurut data Bank Dunia, pemasukan dari pajak karbon dan ETS secara global mencapai rekor tertinggi sepanjang sejarah, yaitu 95 miliar dollar AS.
Belum ajeknya berbagai skema untuk mengejar realisasi reduksi emisi karbon menggambarkan langkah menghambat laju pemanasan global masih jauh dari harapan. Agar laju dekarbonisasi tidak jauh panggang dari api, dibutuhkan tindakan nyata dan memadai untuk mengiringi berbagai penetapan target iklim.