Pembangunan Pertanian Prabowo-Gibran Tak Hanya Kejar Produksi
Program kerja sektor pangan bakal terintegrasi dengan program lain, seperti makan siang gratis dan reforma agraria.
Presiden dan wakil presiden terpilih Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka berkomitmen membangun ketahanan pangan yang tidak hanya mengejar peningkatan produksi. Sektor pengisi perut masyarakat ini juga akan dibangun berlandaskan industrialisasi dan pengembangan ekonomi perdesaan.
Ketua Dewan Pakar Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo-Gibran, Burhanuddin Abdullah, menyampaikan hal itu dalam Kompas Collaboration Forum (KCF) yang digelar harian Kompas di Jakarta, Jumat (22/3/2024). Tema yang diangkat forum tersebut adalah ”Arah dan Mesin Kebijakan Ekonomi 2024-2029”.
Pertanian pangan menjadi salah satu dari tiga mesin penggerak ekonomi di era kepemimpinan Prabowo-Gibran. Dua mesin penggerak lainnya adalah energi dan industri manufaktur.
Baca juga: ”Mimpi” Mendorong Ekonomi Mandiri, Prabowo-Gibran Pacu Tiga Mesin Pertumbuhan
Burhanuddin mengatakan, tiga mesin penggerak perekonomian itu diperlukan lantaran Indonesia tengah mengalami tiga defisit. Ketiga defisit itu adalah defisit pangan, energi, serta bahan baku dan barang manufaktur.
Defisit pangan tidak jarang membuat Indonesia harus mengimpor beras, jagung, kedelai, gandum, dan bawang putih. Perubahan iklim yang kerap terjadi belakangan ini juga membuat sektor ini terlihat rapuh.
Pada tahun lalu hingga awal tahun ini, impor pangan Indonesia terbilang cukup besar. Salah satu faktor penyebabnya adalah El Nino. Beras, misalnya, produksinya susut 1,36 persen dari 31,54 juta ton pada 2022 menjadi 31,1 juta ton pada 2023.
Adapun pada Januari-April 2024, produksi beras nasional diperkirakan sebanyak 10,71 juta ton, turun 17,52 persen dibandingkan Januari-April 2023 yang mencapai 12,98 juta ton. Hal itu menyebabkan pemerintah mengimpor beras sebanyak 3,06 juta ton pada 2023 dan menetapkan kuota impor 3,6 juta ton beras pada 2024.
Menurut Burhanuddin, persoalan itu perlu dicarikan solusi mengingat sektor pertanian cukup berperan besar menyerap tenaga kerja. Sektor pertanian harus menjadi mesin pertumbuhan yang pertama dan utama.
”Di masa lalu ketika penduduk belum sebanyak seperti sekarang, kita sempat swasembada beras. Kita memiliki potensi alam dan manusia yang lebih dari cukup. Saya sangat optimistis Indonesia bisa menggapai kembali kecukupan pangan,” katanya.
Baca juga: Ekonomi Pangan dan Pertanian Indonesia Masih Belum Stabil
Untuk itu, pengembangan sektor pertanian ini termaktub dalam misi Asta Cita kedua, visi pembangunan Prabowo-Gibran, yakni mendorong kemandirian pangan melalui swasembada pangan. Untuk merealisasikan misi itu, 18 program kerja dirancang.
Hal itu, antara lain, meningkatkan produksi, memastikan ketersediaan dan kepemilikan lahan, mengendalikan impor pangan, memperkuat fungsi badan pangan, dan menyempurnakan food estate. Selain itu, ada juga program memodernisasi model bisnis pertanian, menjamin pembiayaan petani, dan pemanfaatan teknologi informasi.
Sejumlah program kerja itu akan diintegrasikan dengan beberapa program lain. Misalnya, program Makan Siang Gratis, Reforma Agraria, dan industrialisasi.
Program Makan Siang Gratis, misalnya, akan meningkatkan permintaan bahan baku pangan. Jika program ini benar-benar berjalan, ekonomi perdesaan akan menggeliat dan kesejahteraan petani, peternak, dan nelayan akan terangkat.
Saya sangat optimistis Indonesia bisa menggapai kembali kecukupan pangan.
Burhanuddin menjelaskan, program Makan Siang Gratis akan mencakup sekitar 3 juta ibu hamil, 30 juta anak balita, 44 juta anak SD-SMA, dan 5 juta santri. Dari sisi pasokan bahan baku, para petani, nelayan, dan peternak lokal akan disibukkan untuk memasok beras, daging ayam, ikan, telur, sayuran, bumbu-bumbu, gula, susu, dan garam.
”Kelebihan pasokan ayam dan telur yang pernah terjadi akan dengan mudah diserap. Pada gilirannya nanti diharapkan tidak ada halaman di desa yang nganggur tidak ditanami sayuran. Ada insentif karena ada off-taker yang pasti dengan harga yang baik,” kata Gubernur Bank Indonesia 2003-2008 tersebut.
Baca juga: Tantangan Mewujudkan Program Makan Siang Gratis Prabowo-Gibran
Dalam kesempatan itu, Dewan Pakar TKN Prabowo-Gibran juga berencana mengembangkan sektor pangan berbasis industrialisasi. Oleh karena itu, para pelaku usaha akan didorong untuk berinvestasi mulai dari hulu hingga hilir berbagai sektor pangan.
Tantangan mendasar
Tak akan mudah merealisasikan target swasembada pangan. Banyak tantangan mendasar yang harus dihadapi dan dicarikan solusinya. Hal itu mulai dari krisis tenaga kerja pertanian, kepemilikan lahan, hingga membangun cadangan pangan pemerintah (CPP).
Hasil Sensus Pertanian 2023 BPS Tahap I menunjukkan, proporsi petani berusia 55-64 tahun meningkat dari 20,01 persen pada 2013 menjadi 23,3 persen pada 2023. Begitu juga petani berusia 65 tahun ke atas yang proporsinya meningkat dari 12,75 persen menjadi 16,15 persen dalam sepuluh tahun terakhir.
Baca juga: Mencari Penuntas Janji Reforma Agraria
Jumlah petani gurem atau pemilik lahan di bawah 0,5 hektar juga bertambah dari 14,25 juta rumah tangga pada 2013 menjadi 16,89 juta rumah tangga pada 2023. Proporsi rumah tangga petani gurem terhadap total rumah tangga petani di Indonesia juga meningkat dari 55,33 persen pada 2013 menjadi 60,84 persen pada 2023.
Pada gilirannya nanti diharapkan tidak ada halaman di desa yang nganggur tidak ditanami sayuran.
Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria Dewi Kartika berpendapat, persoalan guremisasi sebenarnya bisa diselesaikan dengan program Reforma Agraria. Salah satu caranya adalah memastikan redistribusi lahan bagi para petani kecil, bahkan petani yang sama sekali tidak memiliki lahan.
”Jika sejak awal redistribusi lahan berpihak kepada petani gurem, jumlah petani gurem justru dapat berkurang. Yang terjadi saat ini, jumlahnya justru bertambah 2,64 juta rumah tangga,” kata Dewi.
Selain tantangan itu, luas lahan pertanian pangan juga semakin susut karena terkonversi menjadi non-sawah. Merujuk data Auriga, luas sawah di Indonesia berkurang dari sekitar 10 juta hektar pada 2018 menjadi 9,88 hektar pada 2022. Pergantian atau penambahan lahan-lahan pangan baru, seperti program food estate, juga tidak berjalan mulus, bahkan merusak lingkungan.
Guru Besar Fakultas Pertanian IPB University Dwi Andreas Santosa menilai, pemerintah gagal merealisasikan program food estate karena salah konsep dan melanggar kaidah-kaidah akademik. Selama ini, konsep food estate tak cocok untuk pembangunan pertanian Indonesia karena tidak ada investor yang mau berinvestasi.
Baca juga: Pangan dalam Debat
Adapun terkait dengan kaidah akademik, program itu tidak menerapkan empat pilar pengembangan lahan pertanian skala besar. Keempat pilar itu adalah kesesuaian tanah dan agroklimat; ketersediaan infrastruktur, baik irigasi maupun jalan; usaha tani, budi daya, dan teknologi; serta sosial ekonomi.
”Satu saja pilar dilanggar atau tak dikerjakan dengan sempurna, jawabannya pasti gagal,” kata Dwi.
Dwi juga menekankan pentingnya membangun CPP berbasis pangan di dalam negeri, bukan impor. Saat ini, CPP, terutama beras, sangat bergantung pada impor.