Industri Manufaktur Butuh Kepastian Kelanjutan Program Subsidi Gas
Dengan subsidi gas, pelaku industri bisa menikmati harga gas yang lebih rendah sehingga produksi lebih efisien.
Oleh
BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pelaku industri manufaktur membutuhkan kepastian kelanjutan program subsidi gas untuk industri atau harga gas bumi tertentu/HGBT. Melalui HGBT, pelaku industri bisa menikmati harga gas yang lebih rendah sehingga bisa meningkatkan efisiensi produksi. Namun, keberlanjutan program ini belum jelas lantaran masih ada perbedaan pandangan di antara berbagai kementerian.
Ketua Umum Forum Industri Pengguna Gas Bumi (FIPGB) Yustinus Harsono Gunawan mengatakan, HGBT sangat penting bahkan krusial untuk industri manufaktur baik sebagai bahan baku produksi maupun sebagai energi operasional. Ongkos gas mencakup 18 persen hingga 70 persen biaya produksi tergantung jenis industrinya. Mengingat besarnya biaya produksi penggunaan gas, HGBT yang membuat harga gas lebih murah sangat membantu meningkatkan efisiensi produksi.
”Kami berharap pemerintah bisa sekarang juga menetapkan keberlanjutan HGBT dan memperluas ke lebih banyak sektor industri,” ujar Yustinus saat dihubungi, Senin (25/3/2024).
Menurut Yustinus, HGBT terbukti krusial dan efektif menopang industrialisasi. Saat mulai diberlakukan pada pertengahan 2020, Purchasing Managers' Index (PMI) atau indeks yang mencatat geliat industri selalu menunjukkan angka ekspansif selama 30 bulan berturut-turut sejak September 2021. Hal ini salah satunya dikarenakan industri kian efisien karena biaya produksi dari ongkos gas bisa ditekan.
Seandainya program HGBT dihentikan, lanjut Yustinus, ini bisa menciptakan deindustrialisasi. Padahal, industri manufaktur adalah kontributor terbesar pertumbuhan produk domestk bruto (PDB) Indonesia yang menurut Badan Pusat Statistik (BPS) berkontribusi 18,67 persen pada pertumbuhan ekonomi 2023.
Sebelumnya, Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi, dan Elektronika (ILMATE) Kementerian Perindustrian Taufiek Bawazier dalam keterangan persnya, Sabtu (23/3/2024), menceritakan, pada Jumat sebetulnya ada rapat teknis terkait kepastian perpanjangan HGBT antara kementeriannya dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan Kementeiran Keuangan.
Awalnya, rapat diagendakan pukul 14.30. Saat itu, lanjut Taufiek, Menteri Perindustrian Agus Gumiwang menyatakan siap hadir. Pada Kamis malam sempat diberitahukan rapat dimajukan menjadi pukul 13.30, itu pun Agus masih menyatakan siap hadir.
Namun, tiba-tiba, pada Jumat pagi, secara sepihak Kementerian ESDM mengubah jadwal rapat menjadi pukul 10.00. Di waktu yang sama, Agus sudah memiliki agenda melantik 11 pejabat di kementeriannya. Maka, dia pun menugaskan Taufiek untuk menghadiri rapat yang diubah secara dadakan jadwalnya itu. Namun, setibanya Taufiek di sana, rapat ditiadakan dengan alasan Menteri Perindustrian berhalangan hadir.
Artinya, manfaat dan multiplier effect-nya sangat besar bagi ekspor, pendapatan pajak, pengurangan subsidi pupuk, dan investasi.
Sementara Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam akun Instagram pribadinya menjelaskan, pada Jumat pagi pihaknya bertemu Menteri ESDM Arifin Tasrif untuk membahas kebijakan HGBT. Sesuai mandat Perpres Nomor 121 Tahun 2020, Menteri ESDM melakukan evaluasi penetapan HGBT setiap tahun atau sewaktu-waktu bersama dengan tim koordinasi yang beranggotakan wakil dari Kemenko Perekonomian, Kemenko Marves, dan Kemenperin dengan mempertimbangkan kondisi perekonomian.
Kemenkeu bertugas memberi pertimbangan dari sisi penyesuaian penerimaan negara karena kebijakan HGBT Indonesia didesain untuk tak hanya mampu meningkatkan daya saing korporasi dan menguatkan perekonomian, tetapi juga tetap menjaga kesehatan dari fiskal/APBN sendiri.
Karena rapat dibatalkan, kelanjutan HGBT pun belum diketahui.
Aturan HGBT tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) No 121/2020 juncto Perpres No 40/2016 tentang Penetapan Harga Gas Bumi. Setelah itu aturan diturunkan dalam Keputusan Menteri (Kepmen) ESDM No 89/2020 tentang Pengguna dan HGBT di bidang Industri. Selanjutnya aturan diperbarui dengan Kepmen ESDM No 134/2021 dan Kepmen ESDM No 91/2023.
Melalui Kepmen No 91/2023 disebutkan, ada 234 perusahaan dari tujuh jenis industri yang memperoleh HGBT. Adapun tujuh jenis industri itu adalah pupuk, petrokimia, baja, keramik, kaca, oleokimia, dan sarung tangan karet. Mereka memperoleh HGBT berkisar 6-6,82 dollar AS per million metric british thermal unit (MMBTU), dari harga aslinya berkisar 7-8 dollar AS per MMBTU. Adapun total gas yang dialokasikan untuk industri sebesar 1.220,95 billion british thermal unit per day (BBTUD)
Taufiek menjelaskan, total nilai HGBT yang dikeluarkan termasuk untuk listrik dari 2021 hingga 2023 sebesar Rp51,04 Triliun. Sedangkan nilai tambahnya bagi perekonomian nasional sebesar Rp157,20 Triliun, atau lebih besar hampir tiga kali lipat dari subsidi yang dikeluarkan.
”Artinya, manfaat dan multiplier effect-nya sangat besar bagi ekspor, pendapatan pajak, pengurangan subsidi pupuk, dan investasi,” ujar Taufiek.
Pihaknya berpendapat, meskipun terdapat berbagai kekurangan dari pelaksanaan HGBT, nilai positifnya masih lebih banyak dibanding dengan apabila program ini tidak dilanjutkan. Kepastian industri mendapatkan gas murah menjadi prioritas.
Apabila Kementerian ESDM, Kementerian Keuangan, termasuk SKK Migas menyatakan tidak sanggup meneruskan program HGBT, Kemenperin meminta opsi atau plan B untuk dibuka keran impor gas dari negara-negara Teluk dengan harga yang bisa menyentuh 3 dollar AS per MMBTU untuk kebutuhan kawasan industri dengan kriteria untuk industri berorientasi ekspor dan substitusi impor.
”Ini tentunya bisa mencapai enam kali lipat nilai tambah yang didapat dari HGBT gas domestik sehingga dapat mendukung industri nasional untuk menjadi tangguh dan kuat, serta berdaya saing di tingkat Asia Tenggara dan global, serta meningkatkan kontribusi sektor industri bagi pertumbuhan perekonomian nasional tetap tumbuh dari kontribusi sektor industri,” ujar Taufiek.
Ia menyampaikan sangat disayangkan jika persoalan substansi teknokratis direduksi oleh kehadiran pejabat dalam menentukan perpanjangan program HGBT. ”Bahwa sesungguhnya terminologi ’dilanjutkan’ atau ’tidak dilanjutkan’-nya program HGBT ini sangat tendensius karena sesungguhnya selama perpres belum dicabut, maka program HGBT ini tetap harus jalan, dan semua pembantu presiden wajib mengikuti peraturan presiden ini,” ujar Taufiek.
Sulit terukur
Dihubungi secara terpisah, Direktur Eksekutif Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Yose Rizal Damuri mengatakan, salah satu hambatan terlaksananya program HGBT ini adalah sulit mengukur dengan jelas berapa besar kebutuhan gas dalam negeri dan berapa besar potensi ekspor. Selama angka ini masih terus berubah dan sulit diukur, maka sulit menghitung dengan pasti berapa potensi keuntungan yang bisa diambil.
Terlepas dari hal itu, lanjut Yose, dia tidak setuju dengan berbagai program subsidi komoditas yang berorientasi kewajiban pada pasar dalam negeri. Program yang mematok harga atas suatu komoditas sulit dilaksanakan prosedur teknisnya di lapangan.
”Siapa yang berhak dapat? Perusahaan mana yang dapat? Berapa harganya? Banyak sekali pembahasan yang harus ditetapkan? Jangan-jangan malah jadi celah untuk proyek?” ujar Yose, Senin.
Menurut dia, ketimbang memberikan subsidi, pemerintah sebaiknya menggunakan pendapatan negara yang diperoleh dari hasil pengelolaan gas itu untuk memperkuat industrialisasi. Misalkan dengan program revitalisasi alat hingga penguatan riset dan pengembangan.