Cerita di Balik Minimnya Ekspor Kopi Indonesia ke Belanda
Tantangan Indonesia ialah menyeimbangkan tanggung jawab ekologis dalam ekspor kopi ke negara UE, termasuk Belanda.
Kopi merupakan salah satu komoditas penting di Belanda karena mayoritas masyarakat di sana sangat menyukai kopi. Mereka seolah-olah tak dapat menjalani hari tanpa menyesap secangkir kopi. Berdasarkan survei yang dilakukan Statistia pada 2022, sebanyak 90 persen dari responden masyarakat Belanda meminum 1-6 cangkir kopi per hari.
Di sisi lain, bekas negara koloni Belanda, yakni Indonesia, tercatat sebagai produsen kopi nomor empat terbesar di dunia, di bawah Brasil, Vietnam, dan Kolombia. Menurut laporan Statistik Indonesia dari Badan Pusat Statistik, sepanjang 2023 volume ekspor kopi nasional mencapai 276.280 ton dengan nilai total 915,91 juta dollar AS.
Namun, dari 10 besar negara tujuan ekspor kopi Indonesia, tidak ada nama Belanda. Ekspor kopi terbesar RI adalah ke Amerika Serikat, yakni sebanyak 36.623 ton, kemudian disusul Mesir 32.047 ton dan Malaysia 22.677 ton. Hanya ada tiga negara anggota Uni Eropa (UE), yakni Italia di urutan ke-4 dengan 18.122 ton, Jerman di urutan ke-6 dengan 9.460 ton, dan Belgia di urutan ke-9 dengan 3.430 ton.
Salah satu tantangan Indonesia dalam melakukan ekspor ke negara UE adalah menyeimbangkan produktivitas dengan tanggung jawab ekologis.
Meski masyarakatnya sangat menyukai kopi, Belanda sebagai negara anggota UE cukup ketat dalam aturan impor kopi. Selain mengedepankan kualitas, sejak 19 April 2023, parlemen UE telah mengesahkan regulasi Undang-Undang Bebas Deforestasi (EUDR) untuk menjamin produk-produk yang dijual di kawasan UE tidak terkait dengan perusakan atau degradasi hutan.
Salah satu tantangan Indonesia dalam melakukan ekspor ke negara UE adalah menyeimbangkan produktivitas dengan tanggung jawab ekologis. Saat ini sudah banyak petani dan kelompok tani di Indonesia yang telah mengembangkan kopi secara berkelanjutan dan terbebas dari deforestasi.
Dalam konferensi pers menjelang acara Amsterdam Coffee Festival 2024, di Jakarta, Rabu (20/3/2024), Co-founder Koperasi Petani Klasik Bean, Eko Purnomowidi, menjelaskan, banyak petani kopi sadar bahwa model pertanian wanatani (agroforestry), di mana memadukan penanaman komoditas jangka pendek dengan kegiatan pengelolaan hutan, membuat hasil panen jauh lebih baik dibandingkan model pertanian lahan terbuka.
Air yang diresap oleh pohon-pohon penaung akan mendapat tambahan asupan unsur hara yang berperan penting sebagai makanan tumbuhan kopi. ”Ketika hujan, air itu kan turun ke pohon terus menyerap jadi pohon kopinya dapat air dari tanah. Kalau kebun terbuka, air itu hilang,” ujar Eko.
Selain itu, model pertanian wanatani membuat pohon-pohon yang lebih tinggi dan rindang membuat tanaman kopi terlindungi dari paparan sinar matahari secara langsung. Faktor ini membuat buah kopi matang dengan sempurna.
”Tanaman kopi hanya butuh 40-50 persen cahaya matahari. Artinya, tanaman kopi itu harus ada penaungnya. Adapun penaungnya itu adalah pohon-pohon yang didesain menjadi hutan,” ujarnya.
Baca juga: Uni Eropa Larang Produk Indonesia jika Tak Lolos Uji Tuntas Deforestasi
Bebas deforestasi
Kompas mencatat cukup banyak kelompok tani di Indonesia yang telah mengembangkan kopi secara berkelanjutan dan terbebas dari deforestasi. Kelompok tani di wilayah bentang alam Bukit Barisan Selatan yang terletak di Lampung, Bengkulu, dan Sumatera Selatan, misalnya, mereka mengembangkan kopi robusta bebas deforestasi di lahan seluas 318.000 hektar.
Sebanyak 24 kelompok tani yang bernaung dalam Bukit Barisan Selatan Kemitraan Komoditas Lestari (BBS Kekal) tersebut berkomitmen tidak membuka lahan dan menjual atau membeli lahan di kawasan hutan. Petani dan kebun yang dimiliki telah terdaftar dan dipetakan dalam Sistem Informasi Petani. Mereka juga telah dilatih membudidayakan kopi yang baik dan tidak merusak lingkungan.
Upaya senapas juga dilakukan kelompok petani di kawasan Pegunungan Meratus, Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Kalimatan Selatan. Mereka berupaya mengatasi pembatatan hutan dan meningkatkan ekonomi masyarakat dengan membudidayakan kopi Meratus dan Borneo.
Menyadari hasil sudah banyak produksi para petani kopi Tanah Air yang masuk dalam kualifikasi komoditas impor untuk pasar Belanda, Roemah Indonesia BV bertekad membawa lebih dari 20 varietas kopi unggulan Indonesia ke ajang Amsterdam Coffee Festival 2024 yang digelar pada 4 April hingga 6 April di Belanda.
Sebagai informasi, Roemah Indonesia BV merupakan lembaga yang berkedudukan di Amsterdam, Belanda, yang punya misi membawa produk UMKM Indonesia ke pasar global melalui promosi praktik berkelanjutan, inovasi, dan perdagangan internasional.
CEO Roemah Indonesia BV Rina Radinal Maksum mengatakan, selaku produsen kopi terbesar keempat di dunia, Indonesia punya beragam metode produksi kopi Indonesia yang menyeimbangkan produktivitas dengan tanggung jawab ekologis dengan menekankan peran UMKM dan petani kecil.
”Roemah Indonesia BV bertujuan untuk meningkatkan reputasi Indonesia sebagai pemimpin terdepan dalam produksi kopi yang berkelanjutan dan inovatif,” ujarnya.
Ikatan sejarah
Founder Hejo Indonesian Speciality Coffee, Rinaldi Nurpratama, salah satu peserta pameran Amsterdam Coffee Festival 2024, menyadari besarnya ceruk pasar Belanda sebagai target pasar ekspor komoditas kopi Indonesia.
Selain tingginya konsumsi kopi masyarakat Belanda, Indonesia bisa memanfaatkan kedekatan sejarah dengan Belanda sebagai tambah yang membedakan kopi asal Indonesia dengan kopi-kopi dari negara lainnya.
Baca juga: Secangkir Kopi Inflasi Bebas Deforestasi
”Semenjak Raja Belanda Willem Alexander minta maaf ke Indonesia, ketertarikan generasi muda Belanda terhadap Indonesia semakin kuat. Semua hal yang berhubungan dengan Indonesia menjadi punya nilai tambah,” ujarnya.
Dalam catatan sejarah, masuknya komoditas kopi ke Indonesia sebenarnya tidak terlepas dari campur tangan Belanda. Di pertengahan abad ke-17, kopi mulai diperkenalkan di Eropa dari Semenanjung Arab. Dalam waktu singkat, kopi menjadi minuman primadona masyarakat benua ini. Kopi sangat digemari di Inggris, Perancis, Jerman, Belanda, dan Austria.
Di akhir abad ke 17, Belanda berhasil mendapatkan benih kopi kemudian berniat membudidayakan komoditas ini di tanah jajahan mereka. Biji tersebut kemudian dicoba ditanam di India hasilnya tak begitu memuaskan. Belanda coba membudidayakan komoditas kopi di tanah jajahanya yang lain, yakni Indonesia.
Amsterdam Coffee Festival 2024 jadi ajang pembuktian dari semangat inovatif para produsen kopi Indonesia.
Hasil tanaman kopi pertama di Pulau Jawa dikirim ke Kebun Raya Amsterdam untuk diteliti. Menurut hasil penelitian, kopi tersebut memiliki kualitas sangat baik dan berpotensi untuk diperdagangkan ke seluruh dunia.
Sejak saat itu, Belanda mengembangkan tanaman kopi tak hanya di Batavia, tetapi juga meluas hingga ke sejumlah daerah di Jawa Barat, di Sukabumi, Bogor, Bandung, dan daerah Priangan lain, melalui tanam paksa pada abad ke-18.
Seiring meningkatnya harga kopi dunia, penanaman kopi arabika juga kembali menggelora, mulai dari Aceh, Toba, Solok, Kerinci, hingga Lampung. Selain itu, juga di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Flores, Toraja, dan dataran tinggi Papua.
Baca juga: Ratu Belanda Pun Terpikat Kopi Papua
Hingga kini, Indonesia masih tercatat sebagai produsen kopi keempat dunia, tetapi produktivitas kopi terbilang rendah. Dengan luas areal mencapai 1,29 juta hektar, Indonesia baru memproduksi sekitar 700.000 ton biji kopi per tahun. Produktivitas 700-800 kilogram per hektar jauh lebih rendah dibandingkan dengan Vietnam yang mencapai 1,5 ton dan Brasil yang telah mencapai 3 ton.
Amsterdam Coffee Festival 2024 perlu menjadi ajang pembuktian bagi para pemangku kepentingan kopi di Tanah Air bahwa mereka mampu menyeimbangkan produktivitas dengan tanggung jawab ekologis.
Pameran kopi yang akan digelar di Amsterdam tersebut juga menjadi ajang pembuktian dari semangat inovatif para produsen kopi Indonesia, serta menunjukkan komitmen Indonesia terhadap kepedulian lingkungan, melalui metode budidaya kopi.