Babak Lain Wacana Pembatasan Pertalite
Setelah pencoblosan Pilpres 2024, wacana pembatasan Pertalite muncul lagi. Rencana itu lama terkatung-katung.
Setelah diwacanakan sejak dua tahun lalu, revisi Peraturan Presiden Nomor 191 Tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak mencuat lagi. Pemerintah mengharapkan regulasi yang bakal mengatur pembatasan penggunaan bahan bakar minyak jenis Pertalite itu bisa rampung tahun ini.
Namun, di tengah tahun politik, rencana pembenahan kualitas subsidi tersebut menghadapi distorsi. Mulai dari kekhawatiran dampaknya pada masyarakat di tengah kenaikan harga sejumlah harga bahan pokok hingga pengaitan dengan program makan siang gratis. Program itu milik Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, pasangan calon presiden dan calon wakil presiden nomor urut 2 pada Pemilu 2024.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Sebelum lebih jauh, ada baiknya kita kilas balik ke tahun 2022, kala harga komoditas di dunia bergejolak, termasuk energi. Selain buntut pandemi Covid-19, kondisi itu juga dampak letusan konflik bersenjata Rusia-Ukraina. Harga minyak mentah dunia, pada jenis Brent, misalnya, sempat nyaris menyentuh 120 dollar AS per barel. Sebagai catatan, terakhir kali harga minyak mentah di atas 100 dollar AS per barel terjadi pada 2014 silam.
Baca juga: Kuota Pertalite 2024 Turun
Indonesia, negara pengimpor bersih (net importer) minyak mentah, otomatis terdampak. Anggaran subsidi energi pada APBN membengkak. Sempat menahan sejak triwulan pertama 2022, pemerintah menaikkan harga Biosolar dan Pertalite, dua jenis BBM disubsidi/kompensasi, pada 3 September 2022. Harga biosolar naik dari Rp 5.150 per liter menjadi Rp 6.800 per liter dan harga Pertalite naik dari Rp 7.650 per liter menjadi Rp 10.000 per liter. Salah satu narasi yang digunakan kala itu adalah bahwa penyaluran subsidi BBM selama ini tak tepat sasaran.
Survei Sosial Ekonomi Nasional 2020 menunjukkan bahwa golongan menengah atas mengonsumsi 80 persen dari total penyaluran biosolar. Golongan menengah atas juga mengonsumsi Pertalite sebanyak 79,3 persen dari total penyaluran. Mobil-mobil mewah mengantre di jalur antrean Pertalite di stasiun pengisian bahan bakar untuk umum (SPBU) sudah menjadi pemandangan lumrah.
Hingga kini, perpres itu tak kunjung terbit dan hanya menjadi riak musiman kala harga minyak mentah tengah tinggi.
Di tengah kondisi itu, muncul rencana revisi Perpres Nomor 191 Tahun 2014 dengan harapan bahwa penyaluran BBM bersubsidi menjadi tepat sasaran. Model yang sempat muncul kala itu, hanya sepeda motor dengan kapasitas mesin 150 cc ke bawah yang bisa mendapat Pertalite atau mobil dengan kapasitas mesin kurang dari 1.400 cc. Angkutan umum dan kendaraan pengangkut bahan pangan pokok juga tetap dibolehkan mengonsumsi Pertalite.
Namun, seiring harga minyak yang relatif lebih terkendali, wacana tersebut menjadi tak jelas ujungnya. Tentu semua masih ingat saat Pertamina mendata konsumen Pertalite dengan mekanisme pemindaian kode respons cepat (QR) pada kendaraan roda empat atau lebih di SPBU. Program subsidi tepat itu sejatinya salah satu perangkat agar sistem sudah siap saat regulasi disahkan kelak.
Baca juga: Subsidi Energi Naik 28 Persen, Regulasi Perlu Diperketat
Pada pertengahan 2023, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif sempat menyebut rancangan perpres sudah selesai (diproses) di kantornya. Artinya, selanjutnya tinggal diketok palu oleh unit pemerintahan lain untuk kemudian disahkan menjadi perpres. Namun, hingga kini, perpres itu tak kunjung terbit dan hanya menjadi riak musiman kala harga minyak mentah tengah tinggi.
Melihat urutan waktunya, pembatasan Pertalite melalui revisi Perpres No 191/2014 bukanlah rencana baru yang datang tiba-tiba. Namun, telah lama terkatung-katung. Di tengah harga energi global yang tak semengerikan pada 2022, narasi ”subsidi tidak tepat sasaran” tak lagi kuat. Kondisi itu juga membuat anggaran subsidi energi terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) seakan tidak lagi mengancam.
Namun, perlu diingat, sebagai bangsa yang hidup dengan subsidi, celah ketidaktepatsasaran selalu nyata di depan mata. Wakil Presiden RI 2009-2014 Boediono, dalam bukunya Ekonomi Indonesia dalam Lintasan Sejarah (2016), menyebut, semakin besar subsidi dan semakin banyak jumlah penerima subsidi yang tidak tepat sasaran, semakin sulit secara politis skema itu diubah atau dibetulkan. Dibutuhkan kemauan politik yang kuat pada tingkat yang paling tinggi.
Pusaran problem
Setelah pelaksanaan pencoblosan Pemilihan Presiden/Wakil Presiden, pada 14 Februari 2024 terlewati, wacana pembatasan Pertalite muncul lagi. Seperti diwartakan sejumlah media massa, Menteri ESDM Arifin Tasrif, pekan lalu, menyebut revisi Perpres No 191/2014 ditargetkan selesai dan diimplementasikan pada tahun ini. Akan ada kategori kendaraan apa saja yang berhak mengonsumsi Pertalite.
Semakin besar subsidi dan semakin banyak jumlah penerima subsidi yang tidak tepat sasaran, semakin sulit secara politis skema itu diubah atau dibetulkan.
Akan tetapi, muncul reaksi negatif dari masyarakat, termasuk warganet, akan rencana pembatasan Pertalite. Apalagi, situasi masyarakat sedang tak baik-baik saja di tengah kenaikan harga bahan pangan, seperti beras, telur, gula, dan minyak goreng. Situasi makin rumit karena situasi politik membuat kebijakan pemerintah saat ini kerap dikaitkan dengan program pemerintahan berikutnya kelak.
Baca juga: Depresiasi Rupiah dan Lonjakan Harga Minyak Bisa Bikin Subsidi Energi Bengkak
Masyarakat bisa sedikit bernapas karena pemerintah menyatakan harga BBM, baik subsidi maupun nonsubsidi, dipastikan tidak akan naik, setidaknya hingga Juni 2024. Bisa jadi, kebijakan tersebut bagian dari strategi pemerintah. Dengan demikian, saat pembatasan Pertalite akan diberlakukan, warga golongan mampu yang biasa menggunakan Pertalite diharapkan beralih ke Pertamax.
Terlepas dari dinamika itu, sampai kapan pun, penyaluran subsidi, termasuk subsidi energi, harus dipastikan tepat sasaran. Subsidi, yang bersumber dari APBN, akan tetap diperlukan oleh mereka dari golongan tak mampu. Jangan sampai, deretan mobil mewah masih bebas mengantre di jalur pengisian BBM yang sejatinya untuk warga miskin. Praktik penyalahgunaan BBM yang menunggangi disparitas harga BBM subsidi dan nonsubsidi juga mesti diberantas.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, dalam konferensi terkait kebijakan subsidi BBM, 26 Agustus 2022 atau sepekan sebelum kenaikan harga Pertalite dan Solar, mengatakan, alokasi anggaran subsidi dan kompensasi energi 2022 (setelah perubahan APBN) mencapai Rp 502,4 triliun. Jumlah tersebut setara tiga kali lipat dari subsidi dan kompensasi energi di APBN 2022.
Masyarakat perlu diedukasi mengenai harga energi yang berfluktuasi, bersamaan dengan kewajiban negara menjamin aksesibilitas dan keterjangkauan energi.
Sebagai gambaran, besarnya subsidi dan kompensasi energi tersebut, Sri Mulyani juga menyebut Rp 502 triliun setara dengan anggaran untuk membangun 3.333 rumah sakit skala menengah atau untuk membangun 41.666 puskesmas. Juga setara membangun 227.886 sekolah dasar ataupun untuk membangun 3.501 kilometer ruas tol baru.
Narasi-narasi serupa sudah seharusnya ditindaklanjuti dengan komitmen nyata dalam membenahi kualitas subsidi energi, bukan hanya ketika anggaran subsidi membengkak. Di sisi lain, masyarakat perlu diedukasi mengenai harga energi yang berfluktuasi, bersamaan dengan kewajiban negara menjamin aksesibilitas dan keterjangkauan energi.
Tak kalah penting bahwa semua itu (soal BBM) masih tentang energi fosil yang tidak berkelanjutan. Bagaimanapun, ketergantungan subsidi energi fosil dapat memperlambat upaya transisi dari fosil ke energi rendah emisi, sehingga mesti ada sinkronisasi kebijakan.
Baca juga: Menagih Janji Pengendalian Subsidi