Dengan alasan kepraktisan pula, sebagian pelaku industri manufaktur menyimpan dollar AS untuk urusan impor-ekspor.
Oleh
BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA
·3 menit baca
Apa yang dimaksud dengan dedolarisasi? Dilihat dari logika pembentukan katanya, kata berimbuhan dedolarisasi berasal dari kata dolar yang diberi prefiks de dan sufiks -isasi.
Penggunaan imbuhan de berarti mengurangi atau menurunkan, sedangkan imbuhan -isasi berarti proses. Jadi, secara sederhana, dedolarisasi adalah proses mengurangi atau menurunkan perihal dollar AS atau dalam konteks ekonomi saat ini penggunaan dollar AS sebagai alat pembayaran.
Indonesia sudah lama melaksanakan inisiatif ini. Yang teranyar, Kamis (7/3/2024), Bank Indonesia (BI) mengumumkan kerja sama dengan bank sentral India, Reserve Bank of India (RBI), untuk sepakat menggunakan mata uang lokal negara masing-masing, yakni rupiah dan rupee, dalam transaksi perdagangan dan investasi di antara kedua negara. Kerja sama ini disebut sebagai kesepakatan local currency transaction (LTC).
Melalui kerja sama ini, eksportir maupun importir, baik dari Indonesia maupun India, bisa menggunakan rupiah dan rupee saat bertransaksi bilateral. Hal ini menggantikan penggunaan mata uang dollar AS yang sebelumnya digunakan dalam aktivitas ekonomi internasional kedua negara ini. Kerja sama ini merupakan bagian dari dedolarisasi.
India menjadi negara ketujuh yang sepakat menjalin kerja sama LCT dengan Indonesia. Sejak 2018, Indonesia melalui BI sudah bekerja sama dengan enam bank sentral dari enam negara untuk sepakat melaksanakan LCT. Enam negara itu adalah Malaysia (Bank Negara Malaysia), Thailand (Bank of Thailand), Jepang (Japan Ministry of Finance), China (People Bank of China), Singapura (Monetary Authority of Singapore), dan Korea Selatan (Bank of Korea).
Dari kacamata ekonomi makro dan moneter, tujuan BI menjalankan kerja sama LCT ini tak lain untuk melaksanakan fungsinya untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah. Dengan mengurangi penggunaan dollar AS, mata uang rupiah diharapkan bisa lebih stabil untuk menopang perekonomian dalam negeri.
Adapun dari kacamata sektor riil dunia usaha, kerja sama LCT ini diharapkan bisa meningkatkan efisiensi. Sebab, pelaku usaha tak perlu repot-repot menukarkan mata uang lokal ke dollar AS. Pelaku usaha pun bisa terhindar dari potensi rugi kurs saat menukar uangnya tersebut.
Dengan mengurangi penggunaan dollar AS, mata uang rupiah diharapkan bisa lebih stabil untuk menopang perekonomian dalam negeri.
Makin efisiennya proses produksi di dunia usaha, diharapkan bisa menghasil produk dengan harga yang lebih kompetitif. Dengan demikian, produk dalam negeri bisa bersaing dengan lebih baik di pasar global.
Lantas, seberapa optimal inisiatif LCT ini? Berdasarkan data BI, pada posisi akhir 2023, skema LCT ini telah menghasilkan transaksi yang setara dengan 6,3 miliar dollar AS, meningkat 53 persen dibandingkan tahun 2022 yang 4,1 miliar dollar AS. Namun, nilai 6,3 miliar dollar AS itu terbilang kecil dibandingkan dengan total perdagangan dari enam negara yang sudah bekerja sama LCT dengan Indonesia.
Salah satu tantangan penyebab belum optimalnya penggunaan kerja sama LCT adalah dari kalangan industri manufaktur.
Mengutip data Kementerian Perdagangan, total perdagangan ekspor-impor Indonesia dengan China saja mencapai 127,81 miliar dollar AS pada tahun 2023. Ini belum termasuk total perdagangan Indonesia dengan negara yang sudah melakukan kerja sama LCT lainnya, yakni Malaysia, Thailand, Jepang, Singapura, dan Korea Selatan.
Salah satu tantangan penyebab belum optimalnya penggunaan kerja sama LCT adalah dari kalangan industri manufaktur. Pelaku industri masih banyak yang belum beralih dari dollar AS. Alasannya, karena masalah kepraktisan. Alasan yang bertentangan dengan salah satu manfaat dari LCT.
Mayoritas industri manufaktur di Indonesia masih menggunakan bahan baku impor. Mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS) pada Januari 2024, impor bahan baku/penolong mendominasi hingga 72,81 persen dari total impor Indonesia. Begitu juga dengan impor barang modal berkontribusi hingga 17,62 persen dari total impor Indonesia.
Lantaran masih bergantung pada impor, masih banyak pelaku industri yang memilih untuk menyimpan dollar AS.
Masih dominannya impor bahan baku ini disebabkan struktur hulu industri dalam negeri ini masih belum kuat atau pasokannya belum cukup untuk memenuhi kebutuhan industri hilir.
Lantaran masih bergantung pada impor, masih banyak pelaku industri yang memilih untuk menyimpan dollar AS. Apalagi kalau pelaku industri tersebut masih banyak mengimpor bahan baku dari negara yang tidak menjalin kerja sama LCT dengan Indonesia.
Dedolarisasi dan dunia industri semestinya bisa berjalan seiringan. Sebab, keduanya punya tujuan akhir mengefisienkan rantai pasok industri dan sama-sama untuk mendorong perekonomian nasional.