Mendamba Sistem Lapor Pajak yang Lebih Mudah dan Transparan
Curhat wajib pajak di bulan SPT: sudah bayar, melapor sendiri, rumit, dikenai denda jika telat, rawan pula dikorupsi.
Oleh
AGNES THEODORA
·4 menit baca
Meski diharuskan, belum semua wajib pajak rutin melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilannya. Masih banyak yang merasa tidak perlu melapor karena gajinya setiap bulan sudah dipotong pajak. Sistem lapor pajak juga dianggap rumit untuk orang awam. Kekecewaan semakin menjadi-jadi melihat kasus korupsi pejabat yang menyelewengkan uang rakyat masih saja marak.
Gabrella (32) sudah bekerja selama 10 tahun. Selama itu pula ia masih belum paham betul cara melaporkan SPT Tahunan Pajak Penghasilan (PPh 21). Pekerja organisasi masyarakat sipil asal Tangerang Selatan, Banten, itu telah berusaha rutin melapor pajak di setiap awal tahun. Namun, ia tidak bisa melakukannya tanpa didampingi orang lain yang paham soal pajak.
”Sejujurnya setiap tahun pasti lupa caranya bagaimana, karena, kan, munculnya cuma sekali setahun. Cukup rumit pula. Jadi selama ini setidaknya harus ada satu teman atau orang keuangan kantor yang menemani supaya bisa ditanya-tanya,” ujarnya, Selasa (5/3/2024).
Tahun lalu, Gabrella terpaksa ”bolong” melaporkan SPT Tahunan. Ia sedang tugas dinas di luar kota dan lupa kalau ada tenggat pelaporan SPT yang berakhir setiap tanggal 31 Maret. Ditambah, saat itu tidak ada orang yang bisa mendampinginya mengisi formulir SPT.
Akhirnya, setelah bertahun-tahun rajin, Gabrella absen melapor pajak. Ia pun terkejut karena wajib pajak yang tidak menyampaikan SPT tepat waktu dikenai denda Rp 100.000. ”Padahal, saya sudah bayar pajak tiap bulan, pungutannya gede, selama ini juga rajin lapor, hanya karena telat sekali, saya kena denda,” tuturnya.
Meski terhitung rajin melapor SPT, Gabrella sering bertanya-tanya mengapa ia tetap harus melapor meski sudah membayar pajak setiap bulan lewat gaji yang dipotong. Rasa keadilannya juga terusik setiap kali melihat pemberitaan korupsi pejabat yang menyelewengkan uang negara, yang notabene turut bersumber dari pajak rakyat seperti dirinya. ”Jujur, itu bikin kecewa,” kata Gabrella.
Ingin lebih ringkas
Curhat serupa disampaikan Edu (33), pekerja swasta di Jakarta, yang tahun ini mau mengurus SPT setelah bertahun-tahun tidak melapor pajak. Selama ini, ia merasa tidak ada paksaan untuk menyampaikan SPT karena perusahaan sudah jelas-jelas menyetorkan pajaknya setiap bulan.
Pengennya, kalau kita memang sudah bayar pajak, untuk apa melapor lagi.
Ia pernah satu kali melapor SPT saat baru bekerja. Saat itu ia didampingi petugas pajak setempat sehingga tinggal duduk manis dan menjawab pertanyaan. Sekarang, menjelang tenggat 31 Maret 2023, ia masih belum tahu apa yang harus disiapkan dan dilakukan untuk melapor secara mandiri.
”Pengennya, kalau kita memang sudah bayar pajak, untuk apa melapor lagi. Harusnya birokrasi itu bisa dikurangi, atau sistemnya dibuat lebih ringkes untuk pekerja,” ucapnya.
Wajib pajak seperti Gabrella dan Edu berharap ke depan sistem pelaporan SPT bisa lebih mudah bagi orang awam. Setidaknya, wajib pajak tidak perlu repot mengisi kolom data di formulir SPT yang dianggap memakai istilah rumit yang sulit dipahami.
Urusan penyampaian dan pemrosesan laporan SPT saat ini memang sudah relatif lebih mudah dengan cara daring. Namun, secara substansi, proses pengisian formulir masih dinilai sulit bagi orang yang tidak familiar dengan diksi pajak.
”Saya baca-baca katanya lagi dibangun sistem untuk mempermudah kita lapor pajak, jadi kita cukup nyocokin data saja, sudah benar atau tidak. Nah, kalau seperti itu mungkin bisa mempermudah karena sistemnya terbangun,” kata Gabrella.
Sosialisasi dan tutorial digital oleh kantor pajak juga diharapkan lebih gencar mendekati masa pelaporan SPT Tahunan. Informasi soal tutorial itu juga sebaiknya dicantumkan dalam pesan singkat atau e-mail yang diterima wajib pajak, untuk memudahkan aksesnya. ”Jadi, saya tidak perlu colek-colek orang keuangan setiap tahun,” ujarnya sembari tertawa.
Pajak saya untuk apa?
Di sisi lain, rasa enggan wajib pajak untuk melapor SPT ditambah dengan masih maraknya kasus korupsi pejabat dan penyelewengan pajak. Wajib pajak juga kerap tidak merasakan manfaat dari pajak yang sudah mereka bayarkan, seperti layanan publik yang belum memuaskan dan pembangunan yang tidak merata.
Pemerintah pun diharapkan bisa lebih transparan seputar pengelolaan dan penggunaan pajak. Edu, misalnya, berharap agar pemerintah bisa memublikasikan data penggunaan pajak rakyat setiap menjelang masa pelaporan SPT.
Kesadaran masyarakat soal akuntabilitas dan pertanggungjawaban pajak cenderung meningkat di masa pelaporan SPT.
”Misalnya, sejak Desember sudah dibuka datanya, supaya kita juga lebih semangat mau lapor pajak. Terlepas ujung-ujungnya uang itu (dipakai) ke mana, ya, kita tidak tahu, tetapi minimal saya tahu pajak yang saya bayar dialokasikan untuk apa,” kata Edu.
Hal serupa disampaikan Gabrella, yang selama ini tidak tahu uang pajaknya dipakai untuk apa. ”Secara umum saya tahu untuk pembangunan, pendidikan, infrastruktur. Tetapi lebih detailnya bagaimana? Cari datanya ke mana? Akan lebih baik kalau setiap selesai melapor SPT kita dapat e-mail terima kasih dan link untuk bisa mengecek data aliran pajak kita digunakan untuk apa,” ujarnya.
Peneliti pajak dari Center of Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar mengatakan, kesadaran masyarakat soal akuntabilitas dan pertanggungjawaban pajak cenderung meningkat di masa pelaporan SPT. Menurut dia, ini fenomena unik yang ditemukan di negara dengan sistem perpajakan self-assessment (wajib pajak mendaftar, menghitung, membayar, dan melapor sendiri).
”Di bulan lapor SPT wajib pajak akan ramai-ramai mengkritik fasilitas publik, jalan rusak. Inilah fungsi dari lapor SPT karena terus menyadarkan publik kalau mereka bagian dari negara, bahwa bansos dan macam-macam belanja pemerintah itu berasal dari uang mereka juga. Mereka bisa protes dan komplain jika pengeluaran publik tidak digunakan dengan semestinya,” kata Fajry.
Adapun pemerintah terus berupaya untuk mempermudah layanan pelaporan pajak. Melalui Pembaruan Sistem Inti Administrasi Perpajakan (PSIAP) atau Core Tax Administration System, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan akan menggunakan sistem data prepopulated lewat pelaporan e-filing SPT PPh orang pribadi secara daring.
Lewat sistem itu, ke depan, semua data pajak yang telah dipotong oleh pemberi kerja otomatis masuk ke akun atau basis data wajib pajak. Sehingga, saat melapor SPT, wajib pajak tinggal mengonfirmasi data tersebut dengan sekali klik, tidak perlu memasukkannya satu per satu. Menurut rencana, sistem ini akan berlaku pada pertengahan 2024.
Direktur Jenderal Pajak Kemenkeu Suryo Utomo mengatakan, PSIAP merupakan bagian dari langkah reformasi pajak yang ditempuh pemerintah. Di sisi lain, DJP juga terus berusaha meningkatkan rasa percaya masyarakat terhadap institusi pajak. Menurut dia, hal itu tampak dari kepatuhan masyarakat untuk melapor pajak yang trennya membaik dari tahun ke tahun.
”Selain melakukan pengawasan, kami menjaga komunikasi yang baik dengan wajib pajak. Untuk hal-hal yang dapat kita sederhanakan, kita coba sederhanakan. Ujung-ujungnya itu akan mengangkat trust terhadap institusi pajak dan menaikkan kepatuhan pajak,” katanya.